Ikut UKW: ‘Maaf, Anda Belum Kompeten sebagai Wartawan’

“MAAF, kalau data nara sumber yang Anda miliki cuma itu, Anda belum berkompeten sebagai wartawan tingkat utama,” kata Muhammad Nuh, mantan Pemimpin Redaksi Antara, yang hari itu, Sabtu 22 Desember 2012, menguji saya saat saya mengikuti uji kompetensi wartawan (UKW) di PWI Jaya.
Ada tujuh mata uji yang wajib dikuasai para wartawan tingkat utama saat mereka mengikuti UKW. Satu di antaranya adalah jejaring. Berdasarkan pengalaman, banyak wartawan yang “jatuh” di mata uji ini. 
Dalam ujian jejaring, seorang peserta wajib hukumnya untuk memiliki minimal 20 nara sumber yang bisa dihubungi sewaktu-waktu. Khusus wartawan tingkat utama, nara sumber itu – jika ia pejabat – minimal harus setingkat menteri atau ketua lembaga tinggi negara. Ada teman wartawan peserta UKW yang mengoleksi nomor kontak sejumlah bupati. Namun, penguji menganggap hal itu tidak layak. “Level Anda, bukan kelas bupati,” kata penguji.
Pada saat UKW, Jumat (21 Desember) dan Sabtu (22 Desember 2012), saya mengoleksi 23 nomor kontak nara sumber. Tidak semuanya pejabat setingkat menteri, tapi orang-orang penting di bidangnya.  Nomor telepon orang-orang itulah yang saya ajukan kepada penguji. Beberapa di antaranya ada nomor PIN BB dan nomor alternatif.
WARTAWAN anggota PWI Jaya sedang menunggu hasil Uji Kompetensi Wartawan (UKW) 
di Gedung PWI Jaya, 21-22 Desember 2012.
Tapi, penguji menganggap, data itu belum cukup, sebab sebagian besar hanya nomor HP tunggal. Data seperti inilah yang nyaris membuat saya tidak lulus UKW. ”Ini adalah mata uji jejaring. Artinya, Saudara harus memiliki banyak nomor kontak alternatif. Jika dia seorang pejabat, Saudara harus punya nomor kontak ajudan, sopir atau istrinya. Jika dimungkinkan, Saudara pun harus punya nomor telepon gundiknya. Ini yang namanya jejaring, bukan sekadar nomor telepon,” kata M. Nuh.
”Sayang, untuk mata uji yang satu ini, Anda belum kompeten. Yang lain sudah bagus. Anda mau berhenti sampai di sini atau lanjut? Saya nilai apa adanya, dan silakan Anda naik banding ke Dewan Pers, atau Anda masih mau melengkapi jejaring yang Anda miliki?” tantang Nuh.
Karena sudah terlanjur basah, saya jawab: “Saya akan lengkapi. Beri waktu 15 menit.”
Disetujui penguji, saya lalu melengkapi nomor kontak para nara sumber yang saya miliki. Beruntung, di HP saya, ada nomor istri mereka, nomor PIN BB, nomor telepon kantor, dan nomor telepon rumah.  Saya juga berhasil mengontak teman-teman mereka dan mendapatkan nomor kontak baru. Alhamdulillah, saya pun dinyatakan lulus dan kompeten sebagai wartawan tingkat utama.
Saya dan 25 teman wartawan lain yang ikut UKW dalam dua hari itu adalah angkatan ke-8 UKW yang diselenggarakan PWI Jaya. Dari 26 orang, empat peserta dinyatakan tidak lulus. Satu di antaranya gugur, karena terlambat mengikuti ujian lebih dari 15 menit.
Waktu adalah salah satu unsur yang membuat stres para peserta. Para penguji tak kompromi dengan waktu yang telah dipatok dalam sistem dan prosedur UKW. Bayangkan, untuk menulis editorial atau tajuk rencana; menyiapkan perencanaan liputan investigasi, peserta hanya diberi waktu 30 menit.
UKW juga tak mengenal KKN. Dalam UKW tempo hari, salah seorang penguji adalah Atal Depari, adik kelas kami di Sekolah Tinggi Publisistik (sekarang Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik). Hari itu, dia “tega” tidak meluluskan kakak kelasnya. 
Apa mau dikata, aturan main UKW memang seperti itu: serius tanpa kompromi. Aturan main ini diberlakukan, sebab dunia pers (cetak dan elektronik) Indonesia merindukan memiliki wartawan yang tidak saja profesional, tapi juga kompeten.
Masyarakat dan dunia pers Indonesia selama ini sudah amat lelah dengan kondisi kehidupan pers yang jauh dari apa yang diidealkan. Begitu mudahnya orang menjadi wartawan tanpa dibekali pengetahuan tentang kewartawanan. Begitu gampangnya anak kemarin sore yang tiba-tiba menjabat sebagai redaktur pelaksana atau pemimpin redaksi sebuah penerbitan hanya gara-gara dia kebetulan “anak kesayangan” sang pemilik modal, atau karena terpaksa lantaran tidak ada stok SDM yang layak menjadi pemimpin redaksi.    
Wartawan adalah profesi. Sama seperti profesi lainnya, untuk bisa menyandang profesi tersebut, yang bersangkutan harus (paling tidak) pernah mengikuti pendidikan kewartawanan, baik yang diselenggarakan organisasi profesi (Persatuan Wartawan Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen), lembaga-lembaga pelatihan kewartawanan, seperti Lembaga Pers Dr Sutomo, LP3Y, LKBN Antara), maupun perguruan tinggi komunikasi.
Mari kita jujur, berapa banyak wartawan yang kini telah menjalankan profesi kewartawanan dan telah mengikuti pendidikan kewartawanan? Menurut perkiraan saya, tidak lebih dari 50 persen. 
Dibandingkan profesi lain, syarat untuk menjadi wartawan di Indonesia, selama ini sangat longgar dan permisif. Mereka yang berniat menjalankan profesi itu, bisa masuk dari mana dan kapan saja. Ketika sudah menyandang profesi wartawan, mereka tidak pernah diuji dan teruji, layak tidak dia menjadi wartawan? 
Bandingkan dengan pilot yang setiap tiga bulan sekali menjalani ujian profesi (pilot). Jika sang pilot tidak layak saat mengikuti uji kompetensi pilot, maka yang bersangkutan tidak boleh menerbangkan pesawat alias di-grounded. 
Seperti halnya pilot, tugas dan peran pers (wartawan) sangat penting dan tidak main-main. Paling tidak, menurut Ketua Dewan Pers Bagir Manan saat memberikan kuliah umum di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta (18 Desember 2012), pers punya lima peran atau fungsi, yaitu:
1. Sebagai pranata/institusi sosial yang tugas utamanya adalah menyampaikan informasi secara benar dan bertanggung jawab kepada publik.
2. Lembaga pendidikan yang lewat pemberitaannya harus mampu mengedukasi masyarakat dan memberikan pelajaran tentang bagaimana bangsa ini bisa hidup bersama dalam keberagaman.
3. Pranata penghibur yang melalui pemberitaannya mampu memberikan hiburan yang sehat kepada masyarakat, dan karenanya pers harus punya misi yang jelas.
4. Institusi politik. Dalam hal ini pers harus mampu melaksanakan fungsinya sebagai alat kontrol dan melakukan kritik dengan baik, beretika dan benar disertai tanggung jawab.
5. Lembaga ekonomi, yang jika tidak dikelola dengan baik, sangat mungkin, pers tidak peduli lagi dengan kepentingan publik.
Menurut Bagir Manan, untuk bisa melaksanakan peran dan fungsi di atas, diperlukan wartawan yang benar-benar kompeten. Oleh sebab itulah dipandang perlu, Dewan Pers bersama mayarakat pers mengadakan UKW.
Jumlah wartawan Indonesia yang terdaftar sebagai anggota PWI, menurut Andimustmar Usman, pengurus PWI Jaya, 16.000 orang. Yang belum menjadi anggota PWI atau organisasi wartawan lainnya, tentu lebih banyak lagi. Sebab, faktanya, banyak ”wartawan” atau perusahaan pers yang menganggap organisasi wartawan tidak penting dan tidak perlu.
Lalu dari jumlah yang 16.000 itu, berapa yang telah mengikuti UKW? Ternyata baru 2.500-an wartawan. PWI cabang, Dewan Pers, PWI Pusat dan lembaga-lembaga pelatihan tentu tidak mungkin menguji kompetensi para wartawan di seluruh Indonesia dalam waktu singkat dan bersamaan. Juga tidak mungkin menjangkau semuanya, sebab jumlah penguji juga terbatas.
WARTAWAN peserta UKW menerima sertifikat setelah dinyatakan lulus dalam UKW 
di PWI Jaya, 21-22 Desember 2012.
Oleh sebab itulah, Dewan Pers merasa perlu untuk menggandeng perguruan tinggi yang memiliki fakultas atau jurusan komunikasi-jurnalistik. Dua perguruan tinggi yang telah diverifikasi dan layak mengadakan UKW adalah Universitas Indonesia dan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP).
IISIP dipilih, sebab banyak lulusan perguruan tinggi swasta yang berlokasi di Lenteng Agung, Jakarta Selatan ini yang berprofesi sebagai jurnalis, baik di media cetak, maupun media elektronik. Sebagai praktisi pers, banyak pula alumnus IISIP yang mengajar di sejumlah perguruan tinggi. Pada mulanya, IISIP juga pernah menjadi pilot projeknya PWI dan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) dalam melahirkan wartawan yang mumpuni.
Pihak IISIP juga telah menunjuk saya dan dua dosen di sini untuk menjadi penguji dalam UKW. Karenanya, UKW wajib saya ikuti. UKW di PWI Jaya tempo hari adalah ”panduan” bagi saya dalam rangka melahirkan wartawan-wartawan Indonesia yang kompeten dan profesional.***    
  
Comments (3)
Add Comment
  • Djony Herfan

    ::: Terima kasih Mas Gantyo. Saya terkesan tulisan ini pada bagian penguji yang tegas bebas kompromi ketika menyatakan wartawan berkompeten. Selain itu, pedoman "Uji Kompetensi Wartawan" dalam penerapan "Standar Kompetensi Wartawan" memperoleh masukan penting dari praktik uji kompetensi wartawan utama ini. Sip.

  • Adji Subela

    Mas Gantyo, ada yang aneh buat saya. Bukankah prestasi wartawan itu seharusnya dinilai dari kuantitas dan kualitas produk mereka? Soal lainnya bolehlah, tapi tentang jejaring, apa jaminannya seorang wartawan kenal sebegitu banyak pejabat, tapi tak pernah menulis apa-apa? Kita kan tahu seberapa banyak koneksi top teman-teman di Sekneg? Tapi justru kita amat jarang meliaht karya mereka? Saya setuju jejaring menjadi mata uji, tapi kalau itu jadi penentu, saya kok tidak setuju. Maaf Mas Gantyo, saya tetap berpegang pada karya wartawannya. makasih sharing info ini kepada publik, saya jadi tahu. Kalau saya ikut UKW sekarang jelas tak lulus di jejaring, sebab koneksi saya kan orang lama yang sekarang sudah di akhirat? Saya salut sama semangat Anda…dari dulu saya liaht orang Salatiga gigih hehehehehe. Salam