Catatan Gantyo

WRITENOW: SAAT KARTINI BICARA TENTANG SANG SUAMI, SJAHRIR

0 259
WRITENOW (Kamis 4 September 2008): MENGENANG 40 hari kematian sang suami, Kartini Sjahrir, Rabu 3 September 2008 menulis di Kompas yang sangat menyentuh hati. Sang suami, Dr Sjahrir yang biasa disapa Ciil diibaratkan sebagai air yang mengalir tiada henti. Dia tidak memandang di mana berada, dan tak mempermasalahkan dengan siapa dia berhadapan.

Bagi Sjahrir, semua orang adalah sama. Status sosial tak terlalu dipedulikan. Ia bergaul dengan siapa saja dan dari berbagai kalangan. Seperti air, ia pun tidak terkotak-kotak dan mengotakkan diri pada satu atau beberapa aliran pemikiran dalam ilmu pengetahuan.

Apa yang diungkapkan Kartini Sjahrir benar adanya. Sjahrir begitu terbuka dan tidak pernah memasalahkan dengan siapa dia berhadapan, termasuk dengan saya yang beberapa kali terlibat dalam acara talk show di Radio Trijaya dan Radio Ramako.

Di kedua radio itu saya bertindak sebagai pemandu acara (moderator) dan Sjahrir sebagai nara sumber bersanding dengan nara sumber lain. Banyak topik yang kami bahas, terutama berkaitan dengan ekonomi bangsa.

Sekali saja saya berbicara dengan dia dengan topik politik saat dia ingin maju sebagai presiden dan memimpin sebagai ketua umum Partai Perjuangan Indonesia Baru (PIB) menyongsong Pemilu 2004. Selebihnya topik bahasan kami adalah ekonomi, meskipun dalam kenyataannya kalau berbicara dengan Sjahrir, selalu menyinggung masalah politik.

Seperti biasa, dia kalau bicara ceplas-ceplos tanpa basa basi. Untuk meramaikan suasana di acara talk show, saya kerap nyindir dia yang partainya sulit memenangi pemilu, karena tidak begitu populer. Menanggapi sindiran saya, dia marah, dan dengan lantang dia beberkan bagaimana kiprah Partai PIB yang sangat kuat di daerah, karena didominasi anak-anak muda yang sangat peduli kepada bangsa. “Saudara moderator jangan begitu dong,” kata Sjahrir serius yang selalu diakhiri dengan tawa.

Kalau ada sesuatu yang menurut dia penting dan ingin diungkapkan, sementara saya akan mengalihkan ke nara sumber lain, dia biasanya segera menukas, “sebentar saya belum selesai.” Sambil tetap bicara dan memegang mike, tangan satunya lagi memagang lengan saya.

Kali lain di Radio Ramako, talk show yang menghadirkannya sebagai nara sumber membahas topik mengenai korupsi dan kinerja Kabinet Indonesia Bersatu. Dia kami undang sebagai pembicara karena kapasitasnya sebagai salah seorang penasihat di tim penasihat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Membahas topik ini, Sjahrir juga bicara apa adanya, termasuk hal-hal yang terjadi di sekitar istana yang menurutnya harus diluruskan. “Apakah tidak takut kepada Presiden,” saya bertanya. Dengan enteng, dia menjawab: “Saya diminta jadi penasihat presiden, kan memang untuk mengungkapkan kejujuran. Kalau beliau tidak suka kepada saya, saya juga siap kok tidak duduk di sana,” katanya.

Rupanya kesan saya terhadap Sjahrir sama dengan Kartini, sang istri. Ibarat air mengalir, Ciil adalah sebuah mosaik. Bermacam ide, pikiran, dan aktivitas menjadi satu dalam tubuhnya yang subur. Ia memiliki karakter yang oleh Kartini disebut ‘pluralistik’.

Dari ucapan dan tindakannya, Sjahrir memang anak bangsa yang memegang teguh prinsip pluralistik. Menurut Ciil, sebagaimana diakui Kartini, semua orang adalah sama dan perbedaan bukan untuk dipertentangkan, tapi harus dikelola secara saksama. Perbedaan itu indah karena membentuk berbagai corak dan warna dalam suatu sinergi yang serasi. Ia sering mengutip istilah dari sahabatnya, Rocky Gerung, yang mengatakan, orang diukur berdasarkan ‘ayat konstitusi’ dalam suatu negara demokratis. Bukan dari ‘ayat-ayat suci’.

Bagi Ciil, agama adalah sesuatu yang teramat suci yang tidak boleh ditransaksikan secara politik. Hubungan seseorang dengan pencipta-Nya adalah sesuatu yang amat pribadi dan sakral. Hal ini juga pernah dilontarkannya dalam acara talk show yang saya pandu.

Sikapnya yang amat mendukung kemajemukan inilah yang kemudian mendorong Sjahrir membangun Partai Perjuangan Indonesia Baru pada tahun 2002. Dengan mesin politik ini, Sjahrir dan teman-teman yang sepaham mau dan bersedia keluar dari ‘sarang nyaman’ (comfort zone) untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik dan berkeadilan. Pada Pemilu 2004, ia memberikan kesempatan bagi kaum perempuan dan minoritas Tionghoa untuk menduduki kursi nomor 1 dan 2. Hingga tak mengherankan, anggota-anggota DPRD 1 dan 2 Partai PIB banyak yang perempuan dan Tionghoa.

Yang menarik — dan ini baru saya ketahui setelah membaca tulisan Kartini di Kompas — ternyata Sjahrir tidak bisa mengetik, padahal tulisannya banyak muncul di koran. Beberapa buku bahkan pernah ditulisnya.

Sjahrir menurut Kartini, menyukai peran sebagai dosen dan penulis. Setiap kali ada ide menarik, ia ingin segera melukiskannya. Ide itu dapat datang kapan saja dan di mana saja. Biasanya ia mendikte ide itu langsung dari tempat dia berada: dari mobil, restoran, atau dari Bakoel Coffee, tempat favoritnya untuk minum kopi pada sore hari.

Begitu ide muncul, Sjahrir segera mengontak sekretarisnya untuk mengetik ide-idenya, dan Sjahrir pun mendiktekan buah pikirannya kepada sang sekretaris.***

Gantyo Koespradono

Leave A Reply

Your email address will not be published.