Catatan Gantyo

Kapasitas Diri agar Tidak Bangga dengan Kekayaan Semu

0 277

LEBIH dari 10 tahun lalu, saya pernah mengajukan gagasan perlunya “sekolah pernikahan” kepada rekan saya, Heru  Wibawa. Beberapa hari lalu, dia menemui saya mengajukan konsep-konsep bagaimana kita menjadi manusia bebas seutuhnya dengan mengedepankan potensi yang dimiliki, sehingga kita punya kapasitas.

Jika manusia memiliki kapasitas, menurut Heru, maka kita tidak akan terbelenggu dan larut dalam “permainan” sistem ekonomi yang diakui atau tidak telah dimainkan atau dalam kekuasaan orang-orang tertentu, baik dalam skala lokal, maupun global.

Lantas apa hubungannya dengan sekolah pernikahan atau sekolah rumah tangga? Ceritanya begini, hampir semua orang yang telah menikah tak pernah bersekolah untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan bagaimana mengelola keuangan rumah tangga, mendidik anak, mempertahankan rumah tangga, dan sebagainya.

Banyak orang, termasuk saya yang memutuskan menikah, karena ingin mengikuti jejak orangtua: punya keturunan, menghidupi anak dan istri, menyekolahkan anak-anak, dan setelah anak besar lantas menikah, kita merasa selesai sudah tugas dan kewajiban sebagai suami dan orangtua.

Saat kita berumah tangga, tak sebersit pun pikiran untuk belajar ekonomi, keuangan dan semacamnya. Maka jangan heran kalau kita kerap mendengar kabar begitu banyak pasangan baru yang putus di tengah jalan karena faktor ekonomi.

Tanpa pula disadari, banyak rumah tangga baru yang berantakan di tengah jalan, karena para pelakunya hanya berpikir bahwa modal utama untuk mencapai kebahagiaan adalah kekayaan yang hanya diukur dengan uang. Karena memegang prinsip ini, akhirnya mamon-lah (uang) yang dikejar dan menjadi fokus utama pasangan suami istri. Padahal begitu banyak orang akhirnya jatuh miskin karena yang dikejar hanya uang. Korupsi (melahirkan banyak koruptor), perilaku curang dan tidak jujur dalam upaya mendapatkan uang adalah beberapa contoh betapa mudahnya orang terjerembab dalam kemiskinan.

Mengapa begitu banyak orang jatuh miskin dan tidak pernah menyadari bahwa di dalam dirinya menyimpan kapasitas untuk menjadi “kaya” dan akhirnya hidupnya “hanya begini-begini saja”?

Heru Wibawa pun membeberkan latar belakang disertai konsep-konsep yang sangat masuk akal mengapa manusia mengabaikan kapasitas yang dimiliki dan akhirnya hanya puas berada dalam pusaran permainan orang-orang yang menguasai sistem ekonomi lokal dan global.

Dilatarbelakangi realitas seperti itulah, Heru terpanggil untuk memberikan pembelajaran kepada pasangan muda melalui training (pelatihan) bertajuk  (kesimpulan saya) “The Power of Your Own Capacity for Financial Freedom.”

Ya, sesungguhnya kapasitas diri itu memberikan kemerdekaan, termasuk kebebasan finansial. Namun, kebebasan finansial di sini jangan diartikan secara sempit atau dimaknai semata-mata sebagai “uang”. Heru menekankan kita akan menjadi kaya jika kita punya kapasitas. Kapasitas inilah yang harus diisi secara terus menerus.

Kalau kita tidak memiliki kapasitas dan sadar bahwa kapasitas itu penting dan perlu, maka sampai kapan pun kita akan menjadi manusia-manusia yang selalu kalah, karena tanpa sadar kita menjadi “hamba” atas sekelompok orang yang menguasai sistem ekonomi.

Tahukah Anda bahwa sekelompok orang – bahkan individu – sekarang ini yang menguasai negara? Mereka inilah yang akhirnya menjadi penentu nilai sebuah mata uang. Sebaliknya sebuah negara – atas keputusan seorang presiden – juga bisa menjungkirbalikkan nilai mata uang dalam sekejap. Rakyat Indonesia pernah mengalami bahwa nilai mata uang Rp 1.000 dipotong hanya bernilai Rp 1 (satu rupiah) pada tahun 1960 saat negeri ini dipimpin Presiden Soekarno.

Namun, sistem ekonomi pulalah yang membuat Indonesia tidak ambruk. Mari kita lihat nilai APBN kita yang lebih dari Rp 4 ribu triliun. Apakah uang itu bisa dilihat secara kasat mata lewat lembaran-lembaran rupiah? Tentu saja tidak. Namun, sistem dan kesepakatanlah yang “mengkonkretkan” bahwa negara kita punya uang sebanyak Rp 4 ribu triliun.

Begitu pula posisi uang kita di bank. Sebuah bank bisa “mengubah” uang kita yang katakanlah Rp 1.000 menjadi Rp 10.000 lewat sistem pinjam meminjam.

Contoh paling aktual terjadi dalam sistem keuangan negara kita. Fakta membuktikan APBN kita Rp 4 ribu triliun. Namun, fakta lain membuktikan uang milik orang-orang Indonesia yang ada di Singapura dan dibelanjakan di negara tetangga itu jumlahnya mencapai lebih dari Rp 10 ribu triliun.

Uang sebanyak itu milik sebagian kecil orang Indonesia yang selama ini berkuasa atas sistem keuangan di Indonesia dan didukung habis-habisan oleh Singapura agar jangan sampai uang sebanyak itu diboyong kembali ke Indonesia.

Gara-gara penguasaan atas uang itu, Indonesia tak berdaya dan statusnya lebih miskin daripada Singapura, padahal luas wilayah Singapura tidak lebih dari Kota Jakarta, sementara Indonesia adalah negeri yang superkaya, baik sumber daya alam, maupun SDM (penduduknya).

Namun, negara kita terus mengalami kekurangan uang. Solusinya adalah berutang untuk membayar utang. Indonesia tidak bisa berkutik. Bunga utang dan sistem pembayarannya ditentukan oleh yang punya uang. Kita ibarat kerbau yang dicucuk hidungnya, tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak pernah menjadi siapa-siapa.

Indonesia baru sadar setelah dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi). Lewat UU Pengamunan Pajak (Tax Amnesty), Indonesia berharap uang yang ada di Singapura kembali ke Indonesia. UU itu lumayan ampuh untuk menjadikan Indonesia sedikit demi sedikit eksis. Uang ribuan triliun rupiah itu sedikit demi sedikit kembali ke Indonesia.

Banyak orang membayangkan, kembalinya uang milik para pengusaha itu dengan cara ditransfer antarbank dari Singapura ke Indonesia atau sedikit demi sedikit dibawa secara cash ke Indonesia. Sistem lalu lintas keuangan telah diatur sedemikian rupa, sehingga kita tidak pernah melihat secara kasat mata uang-uang itu berikut nilainya.

Namun, uang-uang itu telah kembali ke Indonesia dalam bentuk saham-saham yang diperdagangkan di Indonesia dan mengakibatkan ekonomi Indonesia bergairah dan nilai rupiah menguat atas mata uang asing lainnya, terutama dolar Amerika.

Amankah posisi Indonesia untuk jangka pendek, menengah atau panjang? Tidak juga. Pasalnya, uang dengan sistem yang mengaturnya dan orang yang berkuasa atas uang-uang tersebut  sewaktu-waktu bisa menarik uang tersebut dengan cara menjual kembali saham yang telah mereka beli, mungkin dengan harga yang telah berkali lipat.

Indonesia dan kita di dalamnya hanya bisa menjadi penonton karena lagi-lagi tidak punya kapasitas untuk masuk ke sistem yang telah dibangun selama berabad-abad.

Coba perhatikan, krisis ekonomi atau finansial selalu berulang dalam siklus waktu yang telah diatur sedemikian rupa, kalau tidak 10, ya 15 tahunan. Di kurun waktu tertentu, industri properti booming. Banyak orang kemudian latah dan beramai-ramai membeli rumah, apartemen atau ruko. Namun, dalam kurun waktu yang telah ditentukan pemilik uang, industri ini tiba-tiba lesu dan harga properti jatuh. Daya beli masyarakat tak lagi bergairah.

Seiring dengan itu, ekonomi lokal dan global melesu. Pembeli properti tidak sanggup melunasi kredit propertinya. Kita pun rela dijebak dengan membiarkan properti kita disita bank dengan patokan harga tak wajar. Diatur sedemikian rupa, properti itu ujung-ujungnya kembali ke sang pemilik awal (industri properti) karena mereka punya jaringan kuat dengan industri perbankan.

Kita pun tak sadar telah menjadi orang bodoh dalam sistem yang telah diatur sedemikian canggih oleh sekelompok orang-orang “pandai” tadi. Orang-orang seperti ini pulalah, yang menurut Heru Wibawa, mengatur dan mengendalikan plafon gaji pekerja (buruh) lewat ketentuan UMR (Upah Minimum Regional) atau UMP (Upah Minimum Provinsi). Ini juga bagian dari sistem, sebab jika tidak disistemkan, posisi ekonomi dan keuangan orang-orang “pandai” itu akan terancam. Mereka menganut prinsip daripada terancam lebih baik mengancam.

Fakta-fakta itulah yang membuat Heru Wibawa galau dan terpanggil untuk membuka wacana dan pemahaman masyarakat Indonesia agar kita tidak bangga dengan kekayaan kita yang sebenarnya adalah semu atau artifisial.

Oleh sebab itu saatnya kita tidak hanya berwacana, tapi mengaplikasikan potensi dan kapasitas yang kita miliki dengan mengikuti training soal itu yang akan dibuka Heru Wibawa. Ini sekolah bagus dan penting bagi para orangtua.  []

Leave A Reply

Your email address will not be published.