“YA Tuhan berikanlah aku masalah, dan beri aku kekuatan untuk menyelesaikan masalah tersebut.”
Pernahkah kita berdoa seperti itu? Lazimnya kita berdoa agar Tuhan membebaskah kita dari masalah. Jika perlu — bahkan ini yang sering — kita minta dan memaksa Tuhan agar diri kita dihindarkan dari masalah. Pokoknya jangan sampai masalah datang pada diri, organisasi, atau perusahaan kita.
Kalau kita mau menjadi manusia yang berjiwa besar, menurut motivator Arvan Pradiansyah dalam acara Friday Spirit di Radio Ramako, Jumat (30 November 2007) pukul 07.00-08.00, mulai sekarang kita harus berani mengganti paradigma doa kita kepada Tuhan.
Menurut dia, manusia tidak mungkin membebaskan diri dari masalah, sebab kalau kita tidak lagi memiliki masalah, itu sama saja kita sudah mati. Berbahagialah kita yang memiliki masalah besar, sebab di situlah sebenarnya kunci bahwa diri kita besar.
“Oleh sebab itu ubahlah doa kita. Jangan kita minta kepada Tuhan agar Dia menyelesaikan masalah yang kita hadapi. Sebab kalau memang ini yang dikabulkan, maka itu berarti kita kecil di mata Tuhan. Oh, kemampuanmu cuma segitu to,” ungkap Pradiansyah.
Mulai sekarang, masih menurut Pradiansyah, dalam doa, “Kita harus berani berkata kepada-Nya, Tuhan berikanlah aku masalah dan kekuatan untuk menanganinya.” Kepada Tuhan, kita layak minta kekuatan besar, jangan dibalik agar Dia memperkecil masalah kita.
Masalah menjadi sesuatu yang besar manakala diri kita kecil. Sebaliknya masalah besar akan menjadi kecil, karena kita berjiwa besar lantaran kita sanggup mengatasinya setelah kita minta kekuatan yang besar dari-Nya.
Ingat, Tuhan itu tahu kekuatan masing-masing manusia. Tuhan sekali pun tidak pernah memberikan cobaan atau masalah yang melebihi kemampuan kita.
Agung, seorang pendengar dalam acara yang bertopik “Bila Anda Punya Masalah Berbahagialah” itu bertanya mengapa manusia selalu dihadapkan pada masalah-masalah baru?
Pradiansyah menjawab, pada dasarnya hidup identik dengan masalah. Namun kita harus bahagia menghadapinya, sebab sesungguhnya kehidupan akan terasa lebih indah jika yang menjalaninya menghadapi masalah. Dengan begini, kualitas hidup kita akan lebih meningkat.
Diri dan kehidupan kita harus selalu naik kelas. Kita harus tahu dan sadar, kita sekarang berada di level apa. Seseorang dapat diketahui masuk dalam level dan kelas berapa dari cara dia mengatasi masalah.
Memberikan contoh, Pradiansyah mengatakan, apa yang dirasakan anak SMA jika diminta mengerjakan soal-soal SD, menjemukan bukan? Begitu pula kita, kalau kita sekarang berada di level SMA tetapi tetap ingin mengerjakan soal-soal pelajaran SD, bukankah sesungguhnya kualitas kita selevel dengan anak SD?
Selayaknya kita harus tertantang untuk menyelesaikan masalah-masalah besar. “Kalau kita hanya berkutat hanya pada masalah-masalah kecil, maka kita selamanya akan menjadi orang kecil?” kata Pradiansyah. Apakah itu yang kita ingini?
Pendengar lain, Tata, melalui SMS bertanya bagaimana caranya untuk mengatakan dan meyakini bahwa diri kita lebih besar dari masalah yang kita hadapi? Masih lewat SMS, pendengar lainnya Nadim minta petunjuk, sebab dia kerap pesimistis tatkala menghadapi masalah.
Pradiansyah mengatakan, katakanlah dengan keyakinan sungguh-sungguh bahwa saya lebih besar daripada masalah, sebab saya punya backup, yaitu Tuhan yang jauh punya kekuatan dan kekuatan yang Dia miliki akan diberikan kepada saya untuk menyelesaikan setiap masalah yang saya hadapi.
Awalnya Ragu-ragu
Anda ragu? Tidak percaya bahwa Tuhan bakal memberikan kekuatan kepada Anda? Pradiansyah mengungkapkan, jangan khawatir, sebab apa pun yang ada di dunia ini, termasuk penyelesaian masalah, pada mulanya diawali dengan keraguan.
Memberikan contoh, dia mengatakan, banyak orang yang ragu-ragu saat akan mencoba sesuatu, bisa nggak ya? Karena keraguan itu begitu menghantui kita, akhirnya kita tidak berbuat apa-apa. Namun begitu keraguan yang kita pikirkan dipraktekkan oleh orang dan berhasil, kita baru kemudian tersadar: “Eh, kok bisa ya.”
Mengapa masalah selalu ditafsirkan berbeda oleh mereka yang menghadapi masalah? Hal itu dimungkinkan, sebab kita memiliki kesalahan cara pandang (paradigma) saat kita minta sesuatu kepada Tuhan untuk menyelesaikan masalah yang kita hadapi.
Dalam bukunya Life is Beautiful, Pradiansyah mengungkapkan kisah seorang ibu yang setiap hari mengangis. Bila hujan turun, dia menangis. Bila panas terik, dia pun menangis. Hal itu mengundang iba seorang lelaki yang kemudian bertanya: “Mengapa Ibu menangis?”
Sambil tersedu-sedu, wanita itu menjawab: “Aku punya dua orang putri, yang sulung menjual sepatu kain dan yang bungsu menjual payung. Bila hujan turun aku sedih memikirkan putri sulungku yang sepatu kainnya tak laku. Sebaliknya bila cuaca bagus, aku sedih memikirkan putri bungsuku yang payungnya tidak laku.”
Mendengar hal itu, lelaki tadi berkata: “Agar bisa berbahagia, cobalah Ibu pikirkan yang sebaliknya. Kalau hujan turun pikirkanlah putri bungsumu, pasti payungnya akan banyak terjual. Sebaliknya kalau cuaca bagus pikirkanlah putri sulungmu, bukankah sepatu kainnya akan laku keras?”
Setelah mendengar apa yang dikatakan laki-laki tadi, sang Ibu tertegun dan berpikir, benar juga. Dia tidak lagi menangis dan malah banyak bersyukur. Dia tersenyum setiap saat.
Perubahan besar terjadi hanya karena perubahan dalam cara melihat. Semua peristiwa yang terjadi — termasuk masalah –yang kita hadapi yang pasti tidak akan kita respon begitu saja. Ia selalu disaring terlebih dulu oleh “jendela” yang kita miliki. Persoalannya, kaca jendela kita bening atau buram.*
Gantyo Koespradono
Berarti cara menyelesaikan masalah itu, dimulai dari masalah itu sendiri ya?
1. dari inti masalah itu sendiri
2. dari sudut pandang positif kita meminimalisir masalah itu sendiri.
Bila keduanya sudah ada jawabannya, diharapkan masalah itu sendiri akan tunduk dengan cara penyelesaian kita, dan kitalah yang menguasainya. Bukan masalah yang menguasai kita.