JANGAN BUAT RESOLUSI TAHUN BARU

MENJELANG akhir tahun dan memasuki tahun yang baru, banyak di antara kita yang hampir selalu membuat resolusi tahun baru. Resolusi semacam itu dimaksudkan agar di tahun yang baru, kita bisa melakukan hal-hal yang diharapkan bisa menjadikan hidup kita lebih baik.

Tapi tahukah Anda bahwa fakta di lapangan, resolusi tahun baru itu, sebagian besar tidak pernah direalisasikan oleh si pembuat resolusi. Oleh sebab itulah dalam acara Friday Spirit Radio Ramako, Jumat (4/12), motivator Arvan Pradiansyah tegas-tegas mengatakan, “jangan membuat resolusi tahun baru.”

Alasannya, ya itu tadi, resolusi-resolusi semacam itu tidak pernah diwujudkan atau terwujud. Mengutip hasil survei di Amerika Serikat yang dilakukan 10 tahun lalu, Arvan mengungkapkan, 88% masyarakat AS membuat janji tahun baru untuk melakukan ini dan itu.

Namun setelah diteliti dua tahun yang lalu, dari 88% itu, tinggal 45% yang masih membuat resolusi tahun baru. Lalu dari yang 45% itu, berapa banyak yang merealisasikan resolusinya? “Pasti kurang dari 45%,” kata Arvan.

Harap maklum, sebab ketika seseorang begitu mudah membuat janji atau resolusi, maka begitu mudah pula orang tersebut melupakannya. Resolusi akhirnya cuma basa-basi, doa-doa yang dipanjatkan untuk memasuki tahun yang baru agar kehidupan kita lebih baik hanya formalitas.

Banyak sebab mengapa resolusi tahun baru gampang berlalu begitu saja. Arvan mengungkapkan, pertama, resolusi yang dibuat terlalu general/luas/umum. Idealnya, menurut penulis buku Life is Beautiful itu, resolusi harus spesifik.

Kedua, resolusi tahun baru terlalu besar, sehingga kita sulit menjangkaunya. Ibarat kita mau makan gajah, resolusi itu harus kita pecah-pecah menjadi kecil-kecil. “Daging gajah itu harus kita buat rendang dulu, sehingga mudah memakannya,” kata Arvan.

Ketiga, resolusi tahun baru yang bertenggang waktu selama satu tahun terlalu lama. Arvan menyarankan, sebaiknya jangka waktu itu diperpendek menjadi bulanan, sehingga bukan resolusi, tapi target. Dengan begitu kita mudah mengontrol dan mengevaluasinya.

Karena berkurun waktu setahun, masih menurut Arvan, sering pembuat resolusi tidak memikirkan secara matang apa yang akan dilakukan. Lebih parah lagi, resolusi tidak pernah ditulis, sehingga tidak ada evaluasi di akhir tahun. Ujung-ujungnya resolusi hanya manis di bibir, cuma janji-janji sorga.

Keempat, resolusi tahun baru tidak ada sanksinya. Karena tidak bersanksi, maka penanggungjawabnya siapa, juga tidak jelas. Karena tidak ada sanksi, resolusi sering dilanggar, dan ketika kita melanggarnya, kita tidak merasa bersalah.

Arvan mengungkapkan, resolusi sebenarnya identik dengan komitmen pada diri sendiri. Namun sebelum berkomitmen pada diri sendiri sebaiknya didahului dengan berkomitmen pada orang lain lebih dulu.

Dalam membuat komitmen, lazimnya kita membuat to do list-nya, apa yang akan kita lakukan. Namun dalam soal itu, sebaiknya kita jangan berorientasi dulu pada hasil (result), tapi berfokuslah pada proses.

Selain membuat to do list, kata Arvan, sebaiknya kita juga membuat stop doing list, apa-apa yang tidak akan kita lakukan, terutama hal-hal atau kebiasaan buruk yang selama ini membuat diri kita tidak berkembang atau menjadi lebih baik.

Memberikan contoh, Arvan mengungkapkan, jika kita ingin sehat, maka saya harus berolahraga (to do list). Ini belum cukup dan akan menjadi sia-sia jika yang bersangkutan tidak melakukan stop doing list (kebiasaan keluar malam, ngemil, makan makanan berlemak, merokok, dan kebiasaan buruk lainnya).

Sering kita sulit berkomitmen kepada diri sendiri, sehingga kita sulit untuk menyusun daftar kebiasaan buruk apa yang harus kita hentikan, padahal stop doing list tidak kalah penting dengan to do list.

Agar to do list dan stop doing list efektif, Arvan menyarankan, sebaiknya diinformasikan ke orang lain, sehingga teman, sahabat kita bisa mengingatkan manakala kita belum melaksanakan komitmen-komitmen yang kita buat.

Arvan mengingatkan, dalam kehidupan kita sehari-hari, termasuk dalam menggapai impian, kita sering terlalu lunak pada diri sendiri. Padahal, manakala kita lunak terhadap diri sendiri, alam semesta akan membuat kehidupan yang kita jalani sangat keras. Sebaliknya, kalau kita keras terhadap diri kita sendiri, alam semesta akan menjadikan hidup yang kita jalani menjadi lunak. Nah, silakan Anda mau pilih yang mana.

Gantyo Koespradono

Comments (0)
Add Comment