BERILAH DAN SEGERA LUPAKAN

SADARKAH bahwa kita hidup di tengah lingkungan orang yang bisanya cuma menuntut? Jika kebetulan Anda seorang karyawan, coba amati berapa banyak kawan Anda yang setiap hari menuntut supaya perusahaan menaikkan gaji setiap bulan. Dalih yang mereka kemukakan seolah-olah benar seperti inflasi yang terus melaju atau harga kebutuhan sehari-hari yang terus merangkak naik.

Masih di lingkungan tempat kerja, berapa banyak bawahan yang menuntut supaya atasan memerhatikan mereka. Sebaliknya berapa banyak atasan yang menuntut supaya bawahannya berprestasi dan kreatif namun tidak pernah memikirkan reward buat mereka. Padahal atasan yang cuma menepuk pundak bawahannya yang berprestasi sudah lebih dari cukup. Tapi celakanya hal itu tidak pernah dilakukan oleh banyak manajer di perusahaan apa pun.

Dalam kehidupan berkeluarga dan berorganisasi pun demikian. Banyak istri yang menuntut supaya suaminya jangan menyeleweng, namun sang istri tidak pernah memberikan sesuatu bagaimana supaya sang suami tidak menyeleweng. Sebaliknya, banyak suami yang menuntut agar istrinya mengerti, namun yang bersangkutan tidak pernah memberikan sesuatu bagaimana supaya sang istri penuh pengertian.

Dalam kehidupan organisasi keagamaan pun demikian. Banyak jemaah dalam sebuah tempat ibadah yang menuntut supaya pengurus masjid atau gereja memerhatikan mereka, namun repotnya mereka ogah memberikan sedekah. Lha, kalau begini kapan dunia bisa berubah?

Jika kita mengerjakan sesuatu, kita selalu bertanya, apa yang saya dapatkan dari pekerjaan yang saya telah lakukan? Seperti apa jadinya jika semua orang bertanya seperti itu? Menurut motivator Arvan Pradiansyah dalam acara Friday Spirit di Radio Ramako, Jumat (22/2), dunia akan segera berputar 180 derajat jika pertanyaan itu kita balik: “Apa yang bisa saya berikan.”

Mengajukan pertanyaan seperti itu kita perlukan, sebab kenyataannya sekarang ini orang selalu ingin diberi, dilayani, mendapat kasih sayang, disukai, diperhatikan, dan sebagainya. Sering kita menuntut seperti itu, karena pikiran bawah sadar kita sudah terpola seperti itu.

Arvan mengatakan, sudah saatnya paradigma lama seperti itu kita ubah dengan paradigma baru, yaitu: “Saya dicintai karena mencintai. Saya diberi karena memberi.” Jangan bertanya, “saya mendapatkan apa,” tapi bertanyalah, “apa yang bisa saya berikan.” Jadilah manusia “sebab” bukan manusia “akibat.”

Jika kita sudah bisa menjadi manusia “sebab”, sebaiknya apa yang sudah kita lakukan jangan sampai orang lain tahu. Dengan kata lain, kita tidak perlu gembar-gembor ke sana kemari. Setelah kita memberi, segera lupakan. Oleh sebab itu belajarlah memberi kepada orang lain di mana orang itu tidak bisa membalas apa yang sudah kita berikan. “Kalau Anda bangga karena telah mampu memberi, simpan saja di dalam hati,” kata Arvan.

Dalam kehidupan sehari-hari bukan tidak mungkin ada orang lain yang kemudian memanfaatkan sikap kita yang suka memberi. Jika kita dihadapkan pada kenyataan seperti ini, menurut Arvan, apa yang sudah kita lakukan berarti memberikan dampak positif. Kita harus senang jika pemberian kita bermanfaat atau dimanfaatkan orang lain, jangan berpikir sebaliknya. Dasar memberi adalah cinta. Pemberian tidak akan pernah sirna; setidaknya energi memberi akan tetap lestari. Cepat atau lambat kita akan merasakan dampak positif dan luar biasa dari tindakan tindakan memberi yang kita lakukan.*

Gantyo Koespradono

Comments (0)
Add Comment