Oleh sebab itu, menurut Arvan Pradiansyah, penulis buku Life is Beautiful dalam acara Friday Spirit di Radio Ramako, Jumat (8/2), mengucapkan selamat ulang tahun kepada seseorang yang usianya bertambah, tidaklah tepat, sebab pertambahan usia datang dengan sendirinya. Tanpa harus berprestasi, siapa pun dia, usianya pasti bertambah.
Ucapan selamat, kata Arvan, akan lebih pas jika ditujukan kepada mereka yang merayakan ulang tahun pernikahan, karena berhasil atau sukses memertahankan kehidupan berumahtangganya. Melanggengkan sebuah perkawinan adalah sebuah prestasi. Oleh sebab itu layak kalau kita mengucapkan selamat kepada orang yang merayakannya.
Kita pasti menua. Namun dengan bertambahnya usia tidak otomatis kita menjadi manusia dewasa. Untuk menjadi dewasa diperlukan sebuah perjuangan. Oleh sebab itu kita punya andil dalam proses menjadi dewasa, sebab dewasa adalah pilihan. Usia kita secara fisik bertambah, namun kita diberi kebebasan untuk memilih, menjadi dewasa seiring bertambahnya usia atau mau tetap menjadi anak-anak.
Persoalannya bagaimana kita mengetahui bahwa diri kita telah menjadi dewasa atau masih anak-anak? Arvan mengungkapkan ciri manusia yang belum dewasa adalah apabila dia selalu menunjuk keluar. Seperti halnya anak-anak, jika mereka berbuat salah, selalu berusaha menyalahkan orang lain.
Jika kita bermental seperti anak-anak, maka sebenarnya kita tidak berdaya atas diri kita, sebab kita terlalu dikuasai oleh pihak luar. Tanpa kita sadari tatkala kita menunjuk orang lain (luar) manakala kita berbuat salah, maka ketergantungan kita kepada orang luar menjadi besar. Padahal karakter seorang dewasa adalah apabila dia bisa menunjuk dirinya sendiri jika berbuat salah.
Ciri manusia dewasa lainnya adalah apabila dia mampu memberikan manfaat buat orang lain. Bandingkan dengan anak-anak yang selalu mengambil manfaat. Oleh sebab itu jika ingin menjadi dewasa, saran Arvan, banyaklah memberi sesuatu yang terbaik sehingga bermanfaat buat orang lain. Konsekuensi dari memberi adalah mendapatkan. Lihatlah anak-anak, mereka lebih banyak meminta daripada memberi.
Bagaimana dengan hak yang sering dimaknai bahwa ini sudah menjadi bagian yang melekat pada seseorang. Arvan mengatakan, hak tidak bisa diminta, tapi diperjuangkan. Konsekuensi logisnya, jika kita berhasil memperjuangkan hak, maka kita akan menerimanya.
Sebagai makhluk sosial, kita punya banyak peran. Di tempat pekerjaan, kita berperan sebagai bawahan atau atasan (pimpinan). Di rumah, kita punya peran sebagai orangtua, suami atau istri. Sebagai orang dewasa, kita harus bisa menempatkan diri kita sedang berperan sebagai apa. Kalau kita seorang bawahan, maka kita harus bisa menempatkan diri kita sebagai bawahan. Sebagai atasan, kita harus bisa menempatkan diri kita sebagai atasan. Diri kita belum bisa dikatakan dewasa apabila kita belum mampu mengendalikan dan mau memerankan diri kita sebagai apa. “Kita harus punya switch on-off dalam diri kita, sehingga bisa dengan cepat menyesuaikan diri,” kata Arvan.
Sebagai orang dewasa, seharusnya kita juga sadar bahwa kita mempunyai area. Area itu adalah:
1. Kita tahu siapa kita karena orang tahu kita.
2. Kita tidak tahu siapa kita, namun orang lain tahu siapa sesungguhnya kita. Oleh sebab itu agar kita dapat mengenali diri kita, sering-seringlah minta feedback kepada orang lain.
3. Kita tahu siapa sebenarnya diri kita, namun orang lain tidak tahu.
4. Kita tidak tahu siapa sebenarnya diri kita, juga orang lain; yang tahu hanya Tuhan.
Agar kita mengetahui siapa sesungguhnya diri kita, tidak ada salahnya kalau kita sering-sering sharing dengan orang lain. Tujuannya bukan semata-mata untuk mengetahui siapa sesungguhnya diri kita, tapi juga untuk mengetahui apa yang bisa kita kerjakan dan bermanfaat buat orang lain. Karakter orang dewasa adalah selalu memberikan manfaat buat orang lain.
Karakter lain, orang dewasa harus bisa mengendalikan diri. Bandingkan dengan anak-anak yang biasanya cuma bisa ‘nyamber’. Mengapa anak-anak bersikap seperti ini, karena mereka sepenuhnya dikendalikan oleh orang lain. Sifat anak-anak suka ngeles/berdalih, selalu ingin menang namun tidak siap jika kalah. Mereka berprinsip, “pokoknya.”
Orang yang belum dewasa apabila dia tidak bisa membedakan masalah dengan orang yang membuat masalah. Orang dewasa lebih fokus pada masalah, bukan orangnya. Orang dewasa tidak pernah berpikir untuk menguasai dan mengubah orang lain, tapi lebih fokus untuk menguasai dan mengubah diri sendiri. Orang dewasa senang membicarakan hal-hal yang baik dan menjauhi pembicaraan yang tidak baik dan tidak memberikan manfaat.*
Gantyo Koespradono