KELOLA KEMARAHAN ANDA

ANDA sering marah? Hati-hati, jika kemarahan (anger) tidak Anda kendalikan, bisa berubah menjadi danger (bahaya) dan menghambat karier dan sukses Anda. Nah, kalau situasi seperti ini yang terjadi, siapa yang rugi? Siapa lagi kalau bukan Anda sendiri.

Lalu kalau begitu, kita tidak boleh marah? Boleh sih, asal Anda tahu tempat dan siapa yang harus Anda marahi. “Yang pasti, Anda harus mampu mengendalikan kemarahan Anda jangan sampai merugikan dan membahayakan Anda sendiri,” kata Arvan Pradiansyah, penulis buku Life is Beautiful dalam acara Friday Spirit di Radio Ramako, Jakarta, Jumat pekan lalu.

Lazimnya, menurut Arvan, saat seseorang marah, ia biasanya gelap mata dan akal sehatnya menurun atau melemah. Mengapa seseorang bisa marah? Marah tidaknya seseorang ditentukan oleh otak saat otak menangkap informasi. Otak di kepala kita, menurut Arvan, ada dua yang masing-masing memiliki fungsi berbeda. Kedua otak itu, masing-masing bernama neokorteks dan amikdala (pusat emosi).

Neokorteks bertugas menerima semua informasi yang kemudian diolah dalam tempo enam detik dan menghasilkan respon positif. Namun dalam praktek, sebelum masuk ke neokorteks, informasi itu sering “dibajak” amikdala yang kemudian menghasilkan respon negatif yang wujudnya berupa marah.

Kemarahan sendiri, menurut Arvan, ada tingkatannya. Kemarahan yang paling ringan adalah bila yang mengalaminya merasa tidak nyaman. Yang bersangkutan sebenarnya marah, namun dia mampu mengendalikannya dengan cara dipendam atau diam. Tingkatan marah berikutnya adalah kesal, jengkel, lalu mengomel.

Masih ada tingkatan lainnya, yaitu yang bersangkutan menaikkan volume suara; bersikap ketus, berteriak dan memaki-maki. Jika seseorang sudah mencapai tingkat ini, menurut Arvan, kadar marahnya sudah mencapai 80%.

Tingkatan marah yang lebih parah adalah apabila seseorang melakukan aktivitas fisik, seperti membanting pintu, menggebrak meja atau melempar apa pun yang bisa dilempar. Jika ada orang marah dan sudah melakukan hal-hal negatif seperti ini, maka tingkat kemarahannya sudah 90%. Sedangkan seseorang bisa dikatakan memiliki tingkat kemarahan 100% jika yang bersangkutan sudah melakukan tindakan tercela seperti memukul lawan bicaranya.

Agar kita tidak terjerumus pada jenis-jenis kemarahan seperti di atas, ada baiknya kita membuat skala atau termometer untuk mengetahui kemarahan kita sudah sampai tingkat mana.

Tuhan begitu baik kepada kita. Dia selalu memberikan sinyal yang ada di dalam tubuh kita manakala kemarahan datang menghampiri kita. Tangan atau bagian tubuh lain yang gemetar, napas tersengal-sengal (pendek), jantung berdebar, otot menegang, kepala terasa pusing, atau perut terasa mual saat kita marah adalah sinyal yang Tuhan kirimkan kepada kita. Kalau kita sudah merasakan hal-hal seperti itu, maka kita harus berani untuk mengatakan: “Stop marah.” Setidaknya semua itu mengingatkan bahwa Tuhan minta kita untuk mawas diri, introspeksi.

Anda barangkali punya dalih lain, lho kalau marah tidak dikeluarkan, kan bisa memunculkan penyakit? Kalau mau marah ya marah saja, ngapain harus dipendam. Silakan saja jika Anda punya pendapat dan prinsip seperti itu. Namun Anda tetap harus ingat, kemarahan yang Anda keluarkan bakal menyelesaikan masalah atau malah memunculkan masalah baru.

Arvan mengatakan, kita boleh marah, tapi jangan sampai kemarahan yang justru menguasai kita. Betul, marah itu memang sehat, tapi harus dilakukan secara benar, pada masalah yang benar, waktu yang tepat, dan kepada orang yang tepat. Jangan sampai terjadi, Anda marah kepada atasan atau bawahan di kantor, namun setibanya di rumah, orang rumah pun Anda maki-maki.

Kita harus pandai-pandai memisahkan antara orang yang harus kita marahi atau masalahnya yang membuat kita marah. Terhadap sebuah masalah yang tidak beres, kita memang harus keras. Tapi kepada orang yang memunculkan masalah tersebut, kita harus lembut. “Kita harus mampu mengelola kemarahan kita dan mengekspresikannya pada orang yang tepat dan masalah yang juga tepat,” kata Arvan.

Banyak pemicu mengapa seseorang marah atau jengkel. Sikap orang yang tidak pernah mengungkapkan rasa terimakasih kepada kita meskipun orang tersebut sering kita beri sesuatu juga bisa memunculkan perasaan jengkel. Arvan mengingatkan dihadapkan pada kenyataan seperti ini, jangan sampai kejengkelan itu terus kita pelihara. Sebaliknya kenyataan itu harus kita jadikan pembelajaran bahwa itu merupakan sarana bagi kita untuk memberikan sesuatu dengan ikhlas tanpa sedikitnya minta imbalan, termasuk ucapan terimakasih dari orang yang kita beri.

Bagaimana supaya kita mampu mengelola kemarahan? Arvan menyarankan, sebaiknya kita tidur yang cukup, olahraga teratur dan jangan biasakan hidup serba tergesa-gesa; hindari stress dan lelah yang berlebihan.

Tidak ada salahnya jika Anda juga menciptakan magic words (kata-kata sakti), seperti: “Marah tidak menyelesaikan masalah”. “Marah merugikan diri sendiri”, “Marah nggak ada untungnya.”

Nah, selamat menikmati hidup yang penuh damai, karena Anda sukses menaklukkan emosi.

Gantyo Koespradono

Comments (0)
Add Comment