WRITENOW (Selasa 16 September 2008): Untuk kesekian kalinya, bagi-bagi sedekah berbuah petaka. Sedikitnya 21 orang kemarin (Senin 15 September) meninggal dunia di Kota Pasuruan, Jawa Timur, karena terinjak-injak saat mereka antre mendapatkan zakat dari juragan kulit sapi bernama Syaikhon.
Bukan untuk kali yang pertama sang juragan Syaikhon bagi-bagi zakat seperti itu. Kebiasaan mulia ini sudah dia lakukan sejak tahun 1990. Namun tindakan positif itu berubah atau berdampak negatif (tragedi) ya baru kemarin (Senin 15 September).
Namun peristiwa sejenis itu di negeri ini sudah berkali-kali terjadi. Peristiwa sukacita (berkah) sering berubah menjadi dukacita (resah). Saat pemerintah membagi-bagi bantuan langsung tunai (BLT) di banyak daerah, hampir selalu berbuntut dengan tragedi, ada penerima BLT yang meninggal dunia di tempat karena berdesak-desakan, ada pula yang pingsan.
Peristiwa seperti itu pulalah yang terjadi di Pasuruan saat panitia zakat Haji Syaikhon bag-bagi zakat. Para calon penerima zakat memperebutkan uang Rp 20.000. Jumlah yang sangat tidak berarti bagi kita yang tinggal di kota besar, sebab uang sebanyak itu habis terpakai untuk sekali makan siang.
Semula panitia zakat Syaikhon berencana membagi-bagikan amplop yang berisi zakat senilai Rp 30.000. Total nilai zakat Syaikhon Rp 50 juta. Namun karena jumlah zakat tidak berbanding lurus dengan peminat, panitia memutuskan memotong zakat yang Rp 30.000 sebesar Rp 10.000, sehingga yang dibagi-bagikan hanya Rp 20.000 per amplop.
Amplop berisi uang Rp 20.000 itulah yang diburu warga Pasuruan. Sebagaimana kita saksikan lewat tayangan televisi, sebagian besar pemburu zakat Haji Syaikhon adalah perempuan, banyak pula yang berstatus janda. Demi Rp 20.000, mereka mengajak sanak saudara (anak-anak, menantu, bahkan nenek). Mereka berharap siapa tahu dapat Rp 20.000 kali sekian orang.
Mereka berdesak-desakan ingin mendapatkan zakat lebih dulu. Untuk ini, mereka pun saling sikut, saling dorong dan saling injak. Dari tayangan televisi, kita bisa saksikan bagaimana calon penerima zakat begitu sulit bergerak, bahkan untuk bernapas pun membutuhkan perjuangan ekstra keras. Ujung-ujungnya 21 orang tewas.
Seperti biasa, tragedi itu memunculkan ‘kambing hitam’ yang diharapkan siap untuk dijadikan tersangka dan terdakwa. Koran Media Indonesia dalam edisi Selasa (16 September) langsung menurunkan berita di halaman pertama berjudul: “Arogansi Orang Kaya terhadap Kaum Miskin.”
Harian itu menurunkan berita tersebut setelah mewawancarai Quraish Shihab (ulama), Soetandyo Wingnjosubroto (sosiolog), dan Ali Haedar (pakar/pengamat sosial).
Sementara itu Menteri Agama Maftuh Basyuni sebagaimana diberitakan Kompas menyayangkan banyak anggota masyarakat, terutama orang kaya, yang tidak percaya kepada Badan Amil Zakat, sehingga menyalurkan zakat sendiri-sendiri. Dengan kata lain, Basyuni hendak mengatakan kepada juragan Syaikhon, “Itulah risikonya kalau kamu nggak percaya Badan Amil Zakat.”
Sedangkan aparat keamanan menuding Syaikhon sebagai biang kerok lantaran pembagian zakat itu tidak ada izinnya.
Saya sendiri memandang tragedi Pasuruan Senin kemarin sebagai “Tuhan sedang memberi materi pembelajaran bagi bangsa Indonesia” bahwa ternyata masih banyak anak bangsa di negeri ini yang begitu haus untuk mendapatkan uang Rp 20.000. Tragedi di Pasuruan kemarin ibarat orang yang kehausan di padang gurun di bawah terik matahari yang merindukan mendapatkan setetes air.
Tuhan ingin mencelikkan hati kita bahwa sesungguhnya kita mesti bersyukur, sebab Dia mengaruniakan Indonesia berupa alam raya yang subur. Namun kita tidak mensyukuri itu semua, sehingga banyak di antara saudara kita yang papa.
Lewat peristiwa Pasuruan juga saat bagi-bagi BLT, Tuhan berkata: “Lihatlah begitu banyak saudaramu yang tidak seberuntung kamu. Wahai penguasa, lihatlah ada kewajibanmu yang belum engkau lakukan, yaitu mengayakan mereka, memandaikan mereka dan memberikan mereka pengetahuan.”
Bukan maksud saya untuk menyamakan atau mengidentikkan kekayaan dengan materi (uang), atau kemiskinan dengan kekurangan uang. Sama sekali tidak. Sebab sesungguhnya Tuhan menciptakan manusia sangat kaya dan super. Bagaimana tidak super, bayi yang baru saja keluar dari rahim sang bunda merupakan produk dari satu buah sperma super yang telah memenangi pertandingan atas jutaan sperma yang juga tak kalah tangguh untuk menemui sel telur. Oleh sebab itu kita sesungguhnya adalah manusia super.
Oleh sebab itu saudara-saudara kita yang berduyun-duyun memburu zakat Rp 20.000 Haji Syaikhon bukanlah orang miskin, tapi manusia super yang kaya, karena dari sananya memang sudah kaya.
Seperti yang pernah saya ungkapkan di banyak milis, sebagian besar masyarakat Indonesia miskin motivasi. Kemiskinan jenis inilah yang menyebabkan mereka miskin harta.
Kita mesti bersyukur bahwa Tuhan masih memberikan kesempatan kepada kita untuk sadar belajar dan mendengar. Belajar dan mendengar nasihat-nasihat dari orang-orang super, seperti Mario Teguh. Kita mesti bersyukur, ada media massa cetak dan elektronik yang memberi tempat kepada para motivator — juga Mario Teguh — untuk berbagi pengalaman.
Sayang memang, banyak di antara kita yang sengaja mengabaikan peluang-peluang super seperti itu, sehingga kita lebih asyik menonton tayangan-tayangan sinetron yang mengumbar kekayaan dan kemiskinan semu. Banyak di antara kita yang gemar menonton tontonan yang belum menuntun daripada mendengar sesuatu yang super.
Saya berdoa dan berharap, petuah-petuah para motivator seperti Mario Teguh (Mario Teguh Golden Ways/MTGW di Metro TV) dapat menginspirasi dan memotivasi banyak masyarakat Indonesia. Saya yakin motivasilah yang akan mengayakan kita dalam segala hal.
Gantyo Koespradono