Pak Made adalah teman saya yang lama tidak berjumpa. Kami pernah bersama ke Bengkulu lebih dari 8 tahun silam dalam rangka pencarian dana bagi kelangsungan proses belajar mengajar sebuah sekolah SD di sana. Sekolah itu nyaris bangkrut, sebab para gurunya tidak bergaji, karena para orang tua murid tidak berpunya.
Di tengah arus lalu lintas yang agak tersendat, saya membuka kaca jendela untuk memastikan apakah benar lelaki tunanetra itu Pak Made. Saya coba amati wajahnya. Tetap samar-samar.
Kalau Pak Made, saya akan berhenti dan bantu (tuntun) dia. Kalau bukan….? Itulah ”perang batin” dalam hati saya. Pikiran positif dan negatif berperang dalam kurun waktu satu-dua menit. Pikiran positif dan suara hati saya mengatakan: ”Berhenti, turun dari mobil dan bantulah.” Pikiran negatif menimbang-nimbang untung rugi. ”Ngapain repot-repot bantu orang. Sudah malam, langsung saja pulang.
Suara-suara itu mengganggu saya. Diam-diam saya berharap tidak ada badan jalan yang kosong, sehingga saya tidak perlu berhenti dan memarkirkan mobil di sana. Dengan begitu ada alasan bagi saya untuk melanjutkan perjalanan dan melupakan laki-laki itu.
Saya lalu teringat pendapat mind provokator Prasetya M Brata dalam talk show di radio, kalau hati sudah berbicara dan menyuruh kita berbuat baik kepada orang lain, jangan tunda, lakukanlah dengan segera. Menurut Prasetya, kalau suara hati itu dibawa ke pikiran, yang muncul adalah pertimbangan untung rugi.
Ingat omongan Prasetya, tak peduli laki-laki tunanetra itu siapa, saya memutuskan tetap menolongnya. Secara kebetulan, begitu saya akan belok ke kompleks Puri Indah, ada areal kosong di tepi jalan, sehingga saya bisa menghentikan mobil dan parkir.
Saya kemudian turun. Lelaki tunanetra berada lumayan jauh dari tempat saya parkir mobil. Saya lalu berjalan ke belakang sambil mencegat lelaki tadi. Setelah berjalan sekitar lima menit, saya akhirnya bertemu dengan lelaki itu.
Benar. Laki-laki itu adalah Pak Made. Dia tampak gembira setelah mengetahui orang yang mencegatnya adalah saya. Saya kemudian ingat lebih dari 8 tahun silam ketika kami sama-sama ke Bengkulu. Saya juga ingat sosok laki-laki asal Bali itu yang mengalami kebutaan ketika usianya 8 tahun.
Menikah dengan perempuan Betawi, Pak Made dikaruniai tiga orang anak. Dua laki-laki dan seorang perempuan. Di Jakarta dia mengontrak sebuah rumah petak di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Sebelumnya dia pernah mengontrak rumah di kasawan Cileduk bersama dengan para tunanetra lainnya. Rumah kontrakannya itu juga digunakan untuk kantor yayasan yang didirikannya, sekaligus tempat praktek pijat.
Saya terkadang tidak habis pikir, mengapa Tuhan menghadirkan manusia dengan aneka pengalaman, menyedihkan pula dan itu menimpa Pak Made. Dulu, ke mana-mana dia selalu dipandu oleh anak pertamanya bernama Nyoman. Tapi tak lama kemudian Nyoman meninggal dunia. Saya bisa merasakan bagaimana sedihnya Pak Made. Setelah menunggu beberapa tahun, anak keduanya menggantikan posisi Nyoman.
Tapi belakangan, pak Made ke mana-mana sendirian menjajakan kerupuk Palembang. Andalannya hanya tongkat aluminium. ”Wah, Pak, kalau tidak ada Bapak, saya ke lokasi memerlukan waktu 20 menit,” kata Pak Made bercanda setelah saya tuntun.
Jarak antara tempat saya bertemu Pak Made dan lokasi yang dimaksudan pak Made hanya 200 meter. Lokasi yang disebut Pak Made adalah sebuah restoran yang terletak di kompleks pertokoan Pasar Puri. ”Setiap hari jam delapan malam saya mangkal di depan restoran itu,” kata Pak Made.
Ya, di depan restoran itulah setiap malam Pak Made berdiri dengan lilitan kerupuk di lehernya. Punggung dan dadanya dijadikan sebagai etalase kerupuk berwarna putih tersebut.
Saya kemudian mempersilakan Pak Made masuk ke mobil saya. Saya memborong sebagian kerupuknya. ”Biar saya antar Pak Made sampai ke depan restoran,” kata saya setelah membayar kerupuk yang saya beli.
Sebelum saya menghidupkan mesin mobil, Pak Made minta waktu sebentar. Dia kemudian berdoa untuk saya.
Setibanya di dekat restoran, mobil saya hentikan. Saya kemudian menuntun Pak Made ke depan restoran. ”Cukup, Pak, tempat saya di sini,” kata Pak Made ”menunjukkan” tempat di mana dia mencari nafkah untuk menghidupi istri dan anak-anaknya.
Dalam perjalanan pulang, saya mengucapkan terimakasih kepada Tuhan yang telah menyapa saya, sehingga saya memutuskan untuk menemui Pak Made.
Hari telah berganti. Saya kembali ingat Pak Made ketika seorang teman mengirim pesan melalui BlackBerry. Disebutkan bahwa sesungguhnya manusia itu seperti teh celup. Keistimewaannya baru terlihat setelah dimasukkan ke dalam air panas.
Terkadang Allah memang harus mendorong kita untuk masuk dalam berbagai situasi yang tidak kita sukai dan menyakitkan. Semua itu diskenariokan Tuhan bukan untuk melukai atau merancangkan hal-hal yang buruk kepada manusia. Melalui berbagai peristiwa itu, Tuhan justru akan semakin menyempurnakan dan menunjukkan kekuatan yang tersembunyi dalam diri manusia.
Ibarat teh celup, Pak Made telah dimasukkan ke dalam air panas. Dia telah menjadi laki-laki yang kuat. Tanpa penglihatan, Pak Made begitu setia melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang suami dan ayah bagi kedua anaknya.***
Foto: telegraph.co.uk