JAWABAN MENGAPA ANAK MUDA SULIT MENULIS

“SAYA sudah berbusa-busa menjelaskan bagaimana menulis berita menggunakan bahasa yang baik dan benar, tetapi mengapa ya, mahasiswa kok nggak bisa-bisa?”

Kata-kata itu dilontarkan rekan saya, dosen penulisan berita sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta.

Kalau kata-kata di atas kita simpulkan sebagai keluhan, saya sebenarnya juga mempunyai keluhan yang sama saat menghadapi para mahasiswa yang tampaknya mengalami kesulitan hebat saat saya tugasi menulis.

Berkali-kali saya menjelaskan bahwa wartawan yang baik adalah wartawan yang mampu menunjukkan sesuatu, bukan mengatakan sesuatu. Tapi saat mahasiswa saya minta menulis berita, yang mereka tulis selalu opini tanpa didukung fakta.

Terus terang, saat saya ditanya rekan di atas, pada saat itu saya belum menemukan jawaban tepat. Jawaban “masuk akal” dan mendekati benar justru saya peroleh setelah saya membaca berita yang dimuat situs kompas.com.

Kompas.com pada Rabu (23 November 2011) memberitakan pernyataan Kepala Balai Bahasa Bandung Abdul Khak bahwa tradisi menulis di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan tradisi membaca, terlebih di kalangan generasi muda. Rendahnya tradisi menulis, menurut Abdul, akibat rendahnya minat membaca.

Menurut Abdul Khak, kedua kegiatan (membaca dan menulis) saling memengaruhi. “Membaca itu referensi untuk menulis. Bagaimana bisa seseorang menulis jika tidak suka membaca,” ujarnya.

Selain itu, faktor lain yang memengaruhi keduanya juga terletak dari proses kegiatannya. Abdul menuturkan, membaca termasuk kegiatan yang pasif dan bisa dilakukan di mana saja. Berbeda dengan menulis yang termasuk kegiatan aktif.

Saat ini, menurut Abdul, banyak dosen di sejumlah perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri yang mengeluhkan kualitas tulisan mahasiswa. Kualitas dan kemampuan menulis mahasiswa saat ini cenderung rendah. Ini juga membuktikan bahwa minat membaca mahasiswa rendah.

Masih menurut Abdul, mustahil seseorang bisa menulis kalau yang bersangkutan tidak suka membaca, karena kedua kegiatan ini saling beriringan. Sejauh ini, kata dia, pihaknya memang belum mengantongi data pasti terkait rendahnya minat membaca. Namun, kecenderungan tersebut sudah dapat diidentifikasi dari jumlah pengunjung perpustakaan per hari dan frekuensi kunjungan.

“Perpustakaan menjadi indikator kecenderungan tersebut, selain toko buku tentunya. Karena itu tidak ada alasan bagi yang haus membaca, sekalipun tidak ada uang. Dia bisa datang ke perpustakaan,” katanya.

Teman saya, Purnawan Kristanto — dia penulis buku — menambahkan informasi mengapa anak-anak muda sekarang alergi jika diminta harus membaca, apalagi menulis. Satu di antaranya para orang tua sekarang tidak lagi mendongeng di depan anak-anak saat mereka berusia balita.

Purnawan di Facebook menulis: “Sejak kecil, kami sudah iming-imingi Kirana (anaknya) dengan buku-buku. Meski tidak setiap malam, jika ada kesempatan kami bergantian membacakan dongeng yang diambil dari buku. Manfaat telah kelihatan. Kirana mengalami perkembangan verbal yang pesat. Dia juga mulai mengenal nilai-nilai moral. Sekarang giliran mengenalkan buku kepada Kyrea, anak kedua kami. Tampaknya dia menyukai warna-warni dalam buku dongeng.”

Manfaat mendongeng, menurut Purnawan adalah meningkatkan keterampilan bicara anak, karena bayi atau balita akan kenal banyak kosa kata. Dongeng juga dapat mengembangkan kemampuan berbahasa anak, dengan mendengarkan struktur kalimat. Dongeng dapat meningkatkan minat baca, mengembangkan keterampilan berpikir, meningkatkan keterampilan problem solving, merangsang imajinasi dan kreativitas.

Jika memang dongeng dijadikan salah satu unsur penyebab seseorang gemar membaca dan menulis, saya harus mengaku ikut memberikan andil mengapa anak-anak muda sekarang tidak gemar membaca, apalagi menulis. Saat anak-anak saya masih balita, saya jarang mendongeng kepada mereka.***

Comments (0)
Add Comment