Catatan: Gantyo Koespradono
LIBUR Lebaran tempo hari, saya melahap habis buku Chairul Tanjung Si Anak Singkong, autobiografi Chairul Tanjung (CT) yang disusun wartawan Kompas Tjahja Gunawan Diredja.
Meskipun susunan bab demi babnya (kandungan meterinya) melompat-lompat, kisah tentang CT yang dimuat di dalam buku tersebut tetap menarik untuk disimak dan direnungkan. Di dalam buku tersebut, CT mengungkapkan pengalaman batinnya sejak masih menjadi anak singkong (miskin) menjadi pengusaha ternama (anak keju-istilah saya).
Nama CT baru terdengar ketika era reformasi bergulir. Dia seolah “bayi” dalam kandungan era reformasi dan tumbuh demikian cepat setelah dilahirkan karena menikmati asupan gizi yang tinggi di era keterbukaan ini.
Di dunia media, namanya dijadikan bahan gunjingan alias kasak-kusuk setelah diam-diam mendirikan stasiun televisi Trans TV, lalu mengambil alih manajemen TV-7 dan sekarang menjadi Trans-7. Belakangan dia juga membeli saham situs berita Detikcom.
Masyarakat awam semakin penasaran dengannya, sebab “pendatang baru” ini seolah “menenggelamkan” tokoh media yang sebelumnya telah eksis di jagad media, seperti Jakob Oetama (Kompas Gramedia), Surya Paloh (Media Indonesia-Metro TV), Harry Tanoesudibyo (MNC Group) atau Aburizal Bakrie yang belakangan ikut “nimbrung” di industri media dengan mendirikan TV One dan merengkuh media cetak dan online.
Wajar memang jika banyak orang bertanya-tanya siapa sebenarnya CT, seperti apa kekuatan finansialnya, siapa tokoh di balik kesuksesannya, sebab sampai sedemikian jauh, CT memang tidak pernah memanfaatkan media untuk numpang popularitas dengan sorotan kamera. “Secara pribadi, saya sebenarnya tidak terlalu suka dengan publikasi,” katanya.
Ketika grup usahanya, Para Group sukses mengambil alih Bank Mega dan merambah ke bisnis yang lain, bahkan ketika dipercaya menjadi ketua umum PBSI, dia juga jarang tampil di media. Maka, beralasan jika berbagai opini minor dan rumor menerpa dirinya, karena orang tidak tahu siapa sebenarnya dia.
Berbagai rumor itu, di antaranya adalah CT memanfaatkan era reformasi dengan menjalin hubungan khusus dengan penguasa. Nama grupnya “Para” juga dikaitkan dengan CT mendompleng TNI untuk memuluskan urusan bisnisnya. Singkat cerita, bisnis CT mulus karena dia ber-KKN dengan penguasa di era reformasi.
Buku Chairul Tanjung Si Anak Singkong tampaknya sengaja disiapkan CT untuk menjelaskan kepada publik, siapa sebenarnya dia dan bagaimana lika-liku usaha dan bisnisnya hingga sukses — dia menyebut selalu menjadi nomor satu — seperti sekarang.
Menarik apa yang diungkapkan CT dalam bab 40 (halaman 347) yang diberi tajuk “Saya Sekarang adalah Akumulasi Masa Lalu.” Bab ini merupakan kesimpulan dari perjalanan hidup CT sejak kanak-kanak hingga sekarang.
Masa lalu CT adalah serba kelam. Dia terlahir dari orang tua yang miskin dan tinggal di sebuah perkampungan kumuh di Jakarta yang menurut CT, “mandi pun harus antre dengan tetangga.” Selepas lulus dari SMA, CT melanjutkan kuliah di fakultas kedokteran gigi Universitas Indonesia yang biaya awalnya berasal dari uang hasil gadaian kain halus milik sang bunda.
CT mengaku sebagai sosok yang memiliki disiplin tinggi, tekun dan pekerja keras. Menurut dia, hal ini semata-mata karena didikan para guru ketika dia bersekolah di SD dan SMP Van Lith, Jakarta.
“Kalau saja dulu nenek tidak menyekolahkan saya di sekolah itu yang sangat disiplin, barangkali saya belum tentu seperti sekarang. Di sekolah Katolik itu pula saya diajarkan untuk pertama kalinya tentang bisnis, kejujuran, kedisiplinan, dan tanggung jawab,” ungkap CT.
Dia melanjutkan: “Ketika SD, saya diajarkan berjualan es mambo, kacang dan kue-kue. Kelihatannya sepele, hanya jualan kudapan, tetapi saya harus menghitung sekaligus mempertanggungjawabkan hasil penjualan kudapan itu kepada guru secara jujur dan apa adanya. Sejak itu saya mengenal nilai uang dan prinsip ekonomi.”
Beberapa kali, CT menegaskan didikan di sekolah Katolik itulah yang mengukuhkan dirinya sebagai sosok yang tegar dan lurus dalam berbisnis. Dia mengaku usahanya besar seperti sekarang — Carrefour juga miliknya — dimulai dari bawah (susah payah) dan tidak memanfaatkan atau berkolusi dengan pejabat atau main suap.
Layaknya sebuah autobiografi, dalam bukunya setebal 384 halaman itu, CT juga (maaf) narsis dengan mengetengahkan keberhasilannya dalam melakukan aksi sosial, baik pada saat awal berusaha, maupun setelah sukses menjadi pengusaha besar seerti sekarang.
Menurut saya, narsis sepeti ini sah-sah saja, bahkan sangat baik manakala info yang disampaikan memotivasi dan menginspirasi siapa pun, terutama orang-orang sukses (baca: kaya) untuk berderma kepada saudara-saudaranya yang tidak beruntung.
Buat CT, memberi adalah kewajiban bagi siapa pun sebagai ungkapan syukur atas apa yang sudah diperolehnya dari Sang Pemilik berkat (Tuhan).***
apik, mas.