Melatih Penggiat Antikorupsi Menulis Berita

MENULIS berita ternyata “pekerjaan” yang lumayan sulit bagi para  aktivis antikorupsi dan penggiat clean governance. Setidaknya itu  kesimpulan  saya setelah selama dua hari memberikan pelatihan  jurnalistik  kepada 25 peserta anggota Lembaga Clean Governance di gedung Pusat Pemberdayaan Pemuda dan Olahraga Nasional  (PP-PON),  Cibubur, Jakarta Timur, 4-5 September 2012 lalu.

Melalui seorang teman, Ketua Lembaga Clean Governance, Maksum Zuber meminta saya agar melatih “anak buahnya” yang ada di Jakarta  dan daerah supaya terampil menulis berita dan memahami tata krama (etika dan hukum) dunia jurnalistik.

penggiat clean governance dan antikorupsi yang tergabung  dalam Lembaga Clean Governance (LCG) tersebut setahun yang lalu  sudah punya wadah media online untuk menyalurkan informasi soal-soal clean governance di kabarnasional.com. Singkat cerita,  situs berita inilah yang jadi “koran” mereka.

Tema yang diusung dalam pelatihan jurnalistik sekaligus rapat kerja nasional LCG adalah “Menyejahterakan Masyarakat tanpa Korupsi”.  Sebuah tema, yang menurut saya gampang diucapkan, namun sulit diwujudkan. Tapi, kata saya kepada peserta, jika memang semua  anggota memiliki komitmen tinggi untuk peduli kepada terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa (clean governance) dan antikorupsi (sekecil apa pun), sesuatu yang sulit itu, pasti akan terlaksana, meskipun hasilnya tidak bisa dirasakan sekarang, apalagi secara instan.
Saya juga mengingatkan, jika tidak hati-hati dan bijak, anggota LCG bisa terjerumus dan tergoda untuk melakukan hal-hal yang justru ingin dibasmi (korupsi dan pemerintahan yang kotor). Pasalnya, LCG dan anggotanya berdiri di dua “kaki” yang sama-sama “disegani”,  yaitu sebagai anggoa LSM dan pers. Namun, saya mengingatkan agar para peserta tetap konsekuen dan konsisten untuk tetap berdiri sebagai penggiat antikorupsi dan “pejuang” bagi tegaknya pemerintahan yang bersih.

Jika pun kemudian di lapangan, mereka menemukan penyelewengan yang  dilakukan aparat dan berkehendak memberitakan di kabarnasional.com, sebaiknya “tindak penyelewengan” itu ditulis dengan mengedepankan prinsip-prinsip jurnalistik yang dipagari dengan berbagai peraturan  perundangan dan kode etik jurnalistik. Juga yang tak kalah penting, mereka menuliskannya dengan bahasa Indonesia jurnalistik yang baik dan benar.

Nah, ini persoalannya, belajar menulis berita dengan bahasa jurnalistik yang baik dan benar, ternyata — sebagaimana saya ungkap di awal catatan ini — tidak mudah bagi mereka. Dalam pelatihan, saya harus mengevaluasi tugas menulis berita yang saya berikan satu demi satu, sehinga peserta mengetahui di mana letak kekurangannya dan bagaimana seharusnya fakta ditulis.

Seperti para pemula lainnya, para anggota LCG tetap mengalami kesulitan dalam merangkai fakta. Banyak pula kalimat yang mereka tulis melanggar logika. Jika logika dilanggar, maka jika kalimat itu telah menjadi produk jurnalistik, sangat mungkin, karya jurnalistik itu juga akan melanggar hukum. Ini tentu sangat berbahaya, apalagi temuan-temuan (fakta) di lapangan berkait dengan hukum berikut efeknya (pencemaran nama baik, praduga tak bersalah, dan sebagainya).

Saya senang, sebab para peserta begitu antusias mengikuti pelatihan yang saya berikan. Meskipun sebagian besar anggota telah berumur (rata-rata di atas 40 tahun), mereka saya perlakukan sebagai mahasiswa.

Pak Banu misalnya. Peserta dari Buol, Sulawesi Tengah ini paling getol bicara dan bertanya. Dia tetap ceria meskipun berita yang ditulisnya saya kritik mirip dengan pidato Pak RT. Sebagai aktivitis LCG, bersama LSM lainnya di Buol, ia “sukses” membantu Densus 88 menangkap seorang bupati di daerahnya yang terlibat korupsi. Di akhir pelatihan, dia mengharapkan saya agar berkenan memberikan pelatihan jurnalistik kepada teman-temannya di daerah.  

LCG lahir lima tahun lalu. Salah seorang pendirinya antara lain Ahmad Gufron, tokoh Nahdlatul Ulama yang sejak lama peduli dengan gerakan antikorupsi. LCG memang tidak sepopuler ICW, namun lembaga ini cukup punya “gigi” di daerah.  

Dilatarbelakangi kenyataan itulah Ahmad Gufron saat menutup pelatihan mengingatkan kepada anggotanya agar berhati-hati dan tidak menjadikan kasus yang ditemukan di lapangan sebagai alat untuk tawar-tawaran harga dengan aparat di daerah.

Memberikan pelatihan selama dua hari, saya juga belajar dan mendapatkan informasi dari para peserta bagaimana praktik korupsi di daerah yang ternyata lebih parah daripada di pusat kekuasaan (Jakarta).

Gufron menjelaskan, semua proyek di daerah sudah dikavling-kavling oleh para anggota dewan. Bahasa agama pun dipakai untuk melegalkan tindak korupsi. Dia memberikan contoh, gratifikasi telah berganti sosok menjadi infaq. “Lha, kalau agama telah dipakai untuk hal-hal begini, kita mau apa lagi,” katanya.

Dari peserta lain, saya juga mendapatkan informasi tentang praktik jual beli pasal di lingkungan Pengadilan Negeri Tangerang. “Tawar menawar harga antara keluarga terdakwa dan jaksa serta hakim bisa kita lakukan di pinggir jalan,” kata Iskandar, salah seorang peserta. Pikir saya, jual beli pasal (hukum), kok layaknya jual beli ala pedagang kaki lima.

Rupanya, selain memberikan materi pembelajaran kepada para peserta, ternyata saya juga mendapatkan pembelajaran bagaimana praktik-praktik korupsi di negeri ini. Semoga LCG konsisten untuk tetap peduli kepada terciptanya clean governance. ***  

Comments (1)
Add Comment