“ENTAH, apa yang merasuki pikiran Mirza Nurzaman, hingga tega menghabisi nyawa kekasihnya, Aswara Indah Sari. Kepolisian masih belum menemukan motif di balik dugaan pembunuhan itu. Kendalanya, Mirza pun mengakhiri hidupnya.”
“Sebelumnya, Mirza ditemukan tewas tertabrak kereta api di rel kereta jurusan Depok-Jakarta yang terletak tak jauh dari apartemen. Ia lalu menghubungi orangtua Aswara, dan mengakui perbuatannya sembari menangis.”
Dua paragraf kalimat di atas adalah naskah asli berita yang ditulis wartawan sebuah kabar nasional. Saya mendapatkannya dari salah seorang redaktur kabar itu ketika saya sedang memberikan kuliah penulisan berita di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta Selatan.
Sebuah contoh yang juga menarik untuk didiskusikan bersama mahasiswa tatkala saya mendampingi mereka belajar bahasa Indonesia jurnalistik (BIJ) di kampus Universitas Esa Unggul.
Lemah dalam berlogika dialami banyak pewarta muda – tentunya juga para mahasiswa – yang sedang belajar menulis berita menggunakan bahasa Indonesia jurnalistik, apalagi mahasiswa semester pertama Universitas Esa Unggul. Mereka baru pertama kali mengikuti kuliah bahasa Indonesia jurnalistik pada minggu lalu. Bahasa Indonesia jurnalistik di mata mereka masih dianggap sebagai “makhluk” yang langka, mungkin juga aneh.
Saya sengaja mengangkat kasus berita di atas agar mahasiswa mengetahui proses berpikir yang pasti mengandalkan logika. Coba perhatikan kalimat ini: “Entah, apa yang merasuki pikiran Mirza Nurzaman, hingga tega menghabisi nyawa kekasihnya, Aswara Indah Sari.”
Siapa yang menghabisi nyawa kekasihnya, Aswara Indah Sari? Mirza Nurzaman? Tidak jelas. Kalimat itu akan mudah dicerna jika ditulis seperti ini: “Entah, apa yang merasuki pikiran Mirza Nurzaman, sehingga ia tega menghabisi nyawa sang kekasih, Aswara Indah Sari.”
Perhatikan kalimat berikutnya: “Kepolisian masih belum menemukan motif di balik dugaan pembunuhan itu. Kendalanya, Mirza pun mengakhiri hidupnya.” Logikanya, bagaimana mungkin polisi menemukan motif kasus tersebut, sebab Mirza dan Aswara telah meninggal dunia? Supaya tidak melanggar logika, dan kalimat mudah dipahami pembaca, akan lebih baik jika kalimat itu disempurnakan menjadi seperti ini: “Polisi masih terus mengusut kasus tersebut. Polisi menghadapi kendala, sebab Mirza (diduga) bunuh diri.”
Nah, ini contoh kalimat yang sangat mengusik logika: “Sebelumnya, Mirza ditemukan tewas tertabrak kereta api di rel kereta jurusan Depok-Jakarta yang terletak tak jauh dari apartemen. Ia lalu menghubungi orangtua Aswara, dan mengakui perbuatannya sembari menangis.”
Bagaimana mungkin Mirza yang dalam kalimat itu disebut tewas, tapi pada kalimat berikut “Ia lalu menghubungi orangtua Aswara, dan mengakui perbuatannya sembari menangis.”
Mungkinkah Mirza yang sudah tewas hidup lagi (menjadi hantu?), lalu berinisiatif menghubungi orang tua Aswara, sambil menangis pula. Cengeng banget nih hantu.
Satu pelajaran bisa dipetik para mahasiswa bahwa salah satu syarat atau karakter bahasa Indonesia jurnalistik adalah logis.
Lalu, sampai sejauh mana pemahaman mahasiswa tentang bahasa Indonesia jurnalistik? Saya kemudian minta mereka menulis hal ihwal kawan-kawan mereka. Salah seorang mahasiswa menulis seperti ini:
“Chandra Egina, dilahirkan di pada tanggal 08-Januari-1990, beliau bertempat tinggal di alamat Grogol makaliwe I, Chandra adalah anak pertama (1) dari 2 bersaudara. Orang tua Chandra bekerja sebagai dokter disalah satu rumah sakit yaitu RS Budi Kemuliaan, ayahnya sebagai dokter melahirkan. Sejak kecil Chandra sangat menggemari mengoleks stick billiard, hingga sekarang beliau mempunyai hobby bermain billiard. Saat ini beliau berkuliah di universitas Trisakti jurusan tehnik informatika dan ia mengikuti salah satu kegiatan estrakurikuler kampusnya yaitu taekowondo. Chandra mempunyai sifat yg ceria dan sedikit emosian.”
Saya maklum jika mahasiswa menulis kalimat seperti di atas, sebab dia memang belum mengenal bahasa Indonesia jurnalistik yang selain logis, juga harus: 1. sederhana,2. singkat, 3. jelas, 4. padat (keempatnya bisa disederhanakan menjadi satu kata: efisien), dan juga demokratis.
Membaca kalimat yang ditulis mahasiswa di atas, kita menemukan:
- Tidak efisien: ”Dilahirkan di kota Jakarta pada tanggal 08-Januari-1990” à cukup ditulis: ”lahir di Jakarta, 8 Januari 1990.”
- Tidak demokratis, tidak jelas dan boros kata: ”beliau bertempat tinggal di alamat Grogol Makaliwe I. Seharusnya cukup ditulis seperti ini: ”Ia tinggal di Jl Makaliwe I Grogol.”
- Tida jelas: ”Orang tua Chandra bekerja sebagai dokter disalah satu rumah sakit Jakarta yaitu RS Budi Kemuliaan, ayahnya sebagai dokter melahirkan.” Lebih bagus jika kalimat itu ditulis demikian: ”Ayah Chandra bekerja sebagai dokter kandungan di RS Budi Kemuliaan, Jakarta.” Apa itu ”sebagai dokter melahirkan?”
Di kelas yang berbeda, saya minta mahasiswa menulis ”laporan” atau ”liputan” kuliah pertama bahasa Indonesia jurnalistik. Saya menemukan fakta, ada mahasiswa yang menulis kalimat multi tafsir, padahal bahasa Indonesia harus mempunyai atau beralamat jelas. Ibarat amplop surat, jangan sampai alamat yang tertera di sana mengakibatkan tukang pos bingung.
Coba perhatikan kalimat yang ditulis salah seorang mahasiswa berikut ini: ”Panasnya terik matahari siang ini menghantarkan saya menuju ruang kelas bahasa Indonesia jurnalis, tepatnya berada di ruang 807 UNIVERSITAS ESA UNGGUL. Yang mana dosen telah berada di ruangan ketika saya memasuki kelas Pak Gantyo. Ruangan yang ternyata didalamnya berisi teman-teman yang sama. Suasana yang panas terik matahari yang tembus melalui kaca jendela dan kondisi AC yg tdk menyala membuat saya merasa tak nyaman dikelas ini. Bagaimana bisa saya berfikir jikalau situasi dan kondisi kelas yang seperti ini?”
Ada beberapa kalimat di atas yang tidak beralamat jelas sebagaimana saya maksud di atas, dan ditemukan pada kalimat ini:
- ”Panasnya terik matahari siang ini menghantarkan saya menuju ruang kelas bahasa Indonesia jurnalis, tepatnya berada di ruang 807 UNIVERSITAS ESA UNGGUL. Yang mana dosen telah berada di ruangan ketika saya memasuki kelas Pak Gantyo.
Pertanyaan: Pada kalimat pertama, sang mahasiswa sudah masuk kelas belum sih? Sepertinya belum deh, sebab panasnya terik matahari siang cuma mengantarkan ia menuju ruang kelas bahasa Indonesia jurnalistik (bukan jurnalis). Siapa dosen yang telah berada di ruangan? Pak Gantyo? Logikanya tidak deh, sebab bisa jadi ada dosen lain di kelas berbeda saat si mahasiswa masuk ke kelas Pak Gantyo.
- Ruangan yang ternyata didalamnya berisi teman-teman yang sama.
Pertanyaan: Teman-teman yang sama itu, persisnya seperti apa? Apanya yang sama? Wajah, jenis kelaminnya atau apa?
- Suasana yang panas terik matahari yang tembus melalui kaca jendela dan kondisi AC yg tdk menyala membuat saya merasa tak nyaman dikelas ini.
Pertanyaan: Seperti apa itu wujud ”Suasana yang panas terik matahari yang tembus melalui kaca jendela dan kondisi AC yang tidak menyala membuat saya merasa tak nyaman di kelas ini.” Alamat kalimat di atas tidak jelas, bukan?
Mahasiswa di atas mungkin bermaksud menulis seperti ini: ”Sinar matahari siang itu menembus kaca jendela ruang kuliah. Udara di kelas semakin panas, sebab AC tidak berfungsi, membuat saya tidak nyaman belajar di kelas ini.”
Halo para mahasiswa di mana pun Anda berada. Semoga catatan kuliah di atas semakin menambah wawasan Anda tentang apa itu bahasa Indonesia dan bagaimana menggunakannya saat Anda menulis produk jurnalistik (antara lain berita). Secara tidak langsung, Anda juga sudah mengetahui, apa itu syarat bahasa Indonesia jurnalistik, bukan? Selamat belajar.***