Ada Dusta di Balik Derita

“PAK, tolong, rumah saya kebanjiran. Saya terpaksa pindah dan akan mengontrak rumah, perlu Rp 300 ribu, tapi saya tidak punya uang,” kata Lina, perempuan keturunan Tionghoa yang pada Minggu (20 Januari 2013) datang beribadah ke gereja kami di Tangerang.

Hari itu, sudah kali yang ketiga, ia dan anak laki-lakinya (10 tahun), “beribadah” di gereja kami. Ke ruang ibadah, ia selalu membawa Alkitab, tapi tidak tahu di mana letak Injil Matius, Markus, Yohanes dan Lukas – apalagi nama-nama kitab yang sulit dihapal di Perjanjian Lama – saat pembacaan Alkitab akan dimulai. Alasannya kepada jemaat yang duduk di sebelahnya, “saya lupa membawa kacamata,” katanya. Saat ibadah, ia malah kerap meminjamkan Alkitab ke jemaat lain. Mungkin dia berpikir, daripada mubazir itu Alkitab, lebih baik serahkan saja kepada orang lain yang lebih mengerti, sekaligus mengumbar “citra” agar orang lain punya  kesan ia adalah perempuan Kristen yang “baik hati”.   

Seusai kebaktian, ia menjumpai siapa pun, dan mengungkapkan “betapa sengsaranya” menjadi korban banjir dan mengharapkan orang Kristen yang selama ini dikesankan ”murah hati” mau menolongnya tanpa syarat. Ujung-ujungnya, ia minta uang Rp 300.000.

Karena gereja menunjuk saya sebagai ketua satgas tanggap darurat banjir, maka kasus Lina pun diserahkan ke saya. Buat saya, Lina dan anak laki-lakinya yang dipanggil Alvin itu, bukan orang baru.

Dua pekan sebelumnya, juga seusai kebaktian, dia menemui saya dan beberapa anggota majelis. Dia bercerita, suaminya telah meninggal dunia, karena kecelakaan lalu lintas beberapa tahu silam. Dia mengungkapkan tidak lagi bekerja sebagai pekerja malam (wanita penghibur), karena sudah bertobat, dan akan berjualan agar anaknya bisa melanjutkan sekolah. Untuk keperluan ini, dia butuh uang modal Rp 300.000.

Karena kasihan, kami mengumpulkan uang,  total Rp 200.000, dan langsung kami serahkan kepadanya. Rupanya, uang itu baginya belum cukup. ”Bagaimana dengan anak saya, Pak, besok dia mau masuk sekolah, belum beli seragam,” katanya yang tetap berharap kami memberikan uang tambahan.

Kebetulan gereja kami masih menyimpan pakaian layak pakai sumbangan jemaat.  Beberapa helai pakaian kami berikan kepada Lina dan Alvin. Beberapa di antaranya seragam sekolah. Setelah menerima ”berkat” dari kami, keduanya meninggalkan gereja.

Namun, sebelumnya, saya menginterogasi Lina untuk mengetahui siapa sebenarnya dia. Jawaban darinya, saya konfirmasi ke anaknya. Siapa tahu, dia tidak jujur. Juga soal alamat rumah terakhir, sebab Lina mengaku tidak punya tempat tinggal tetap. Singkat cerita, dia tinggal di kawasan Kalideres, Jakarta Barat.

”Kalau dia menipu, minggu depan, dia pasti tidak akan ke gereja kita lagi,” kata salah seorang majelis yang menemani saya berdialog dengan Lina.

Lina ternyata benar-benar jujur dan memang layak dibantu. Itu kesimpulan saya setelah pada Minggu (20 Januari 2013) lalu, ia dan anaknya kembali beribadah ke gereja kami, dan mengungkapkan rumahnya kebanjiran, lalu membutuhkan dana Rp 300.000 untuk mengontrak rumah baru. Kepada saya, dia juga membutuhkan uang Rp 300.000 lagi, yang katanya, untuk modal membuat kue dalam rangka menyambut Imlek.

So, Minggu hari itu, dia berharap gereja kami menggelontorkan uang Rp 600.000 kepadanya. Ia tetap menunggu sebelum kami memberikan uang, bahkan hingga siang menjelang saat kami melakukan rapat majelis. Sepertinya, ia benar-benar korban banjir yang layak segera mendapatkan pertolongan, begitu kesimpulan sebagian jemaat dan mengharapkan saya segera turun tangan memberikan solusi.

Oke! Saya pun izin tak meneruskan mengikuti rapat pleno majelis, dan mengambil waktu untuk mengurus Lina dan anaknya, Alvin. ”Ayo, saya mau lihat rumah Ibu yang kebanjiran, sekarang!” kata saya. ”Ibu dan Alvin kami antar pulang.”

”Tapi, saya sudah tidak di sana lagi, Pak,” jawab Lina yang saya minta dia segera membonceng sepeda motor Joko Susilo, salah seorang anggota majelis, sementara anaknya agar membonceng sepeda motor saya.

”Nggak, apa-apa. Saya hanya mau melihat, ketinggian airnya seberapa,” kata saya lagi.

”Sudah surut, Pak. Takut kebanjiran lagi, saya mau kontrak rumah saja,” kata Lina yang sepertinya keberatan kami mengantar pulang ke ”tempat asal”.

”Sebelum kami membantu, kami perlu tahu dulu kondisi rumah Ibu. Oke, silakan naik ke motor Pak Joko, biar Alvin yang saya bonceng,” kata saya.

Dengan dua sepeda motor, kami meluncur ke kawasan Kalideres. Menjelang Terminal Kalideres, saya bertanya kepada Alvin, ”belok atau lurus?” Alvin menjawab: ”Nggak tahu, mama yang tahu.”

Sepeda motor saya hentikan. Pak Joko yang memboncengkan Lina belok ke kiri. Saya ikuti, masuk kompleks keluar kompleks. Masuk ke jalan raya, masuk ke kampung.

Setibanya di sebuah perkampungan, Lina menunjuk ke kompleks rumah-rumah petak. Belakangan saya tahu, rumah-rumah itu ada di Rawa Lele, Jakarta Barat. Sepeda motor saya hentikan di depan rumah-rumah petak itu. ”Mana rumahmu?” saya bertanya kepada Alvin. Saya bertanya seperti itu, Alvin tampak bingung dan menoleh ke ibunya. Kembali saya bertanya: ”Mana, rumahmu?” Alvin tetap tak menjawab.

Lina lalu menunjuk ke sebuah rumah kumuh. Di depan rumah ada seorang pria berjongkok. ”Bapak kenal dengan ibu ini?” tanya saya kepada pria berusia 45-an tahun itu.

”Nggak kenal,” kata pria itu sambil menggelengkan kepala.

”Benar, Bapak tidak kenal dengan ibu ini?” saya menegaskan. Laki-laki itu kembali menggeleng dan mengatakan, ”nggak kenal.” Tak lama kemudian muncul anak perempuan seusia Alvin. Segera saya bertanya: ”Apakah kamu kenal dengan Alvin, anak ini?” Anak perempuan itu kebingungan dan menjawab, ”tidak kenal.”

Mendengar dialog seperti itu, Lina buru-buru menimpali, ”Iya, Pak, saya tinggal di sini dua bulan yang lalu. Bapak ini tidak kenal saya, karena saya kerja, pulangnya malam terus.”

”Siapa, ya? Saya, bener nggak kenal ibu ini,” tegas lelaki tersebut.

Kecurigaan saya muncul, Lina berbohong dan pandai memainkan sandiwara dengan anaknya yang masih berusia 10 tahun itu. ”Ibu tadi berangkat ke gereja dari mana?” kata saya masih memberikan kesempatan kepada Lina untuk bersandiwara melakonkan korban banjir.

Dia kemudian menunjuk rumah temannya di Pos Menceng. Saya tidak tahu, apakah alamat ini benar-benar ada atau fiktif. ”Ayo, kita ke sana,” ajak saya.

Kembali kami berkonvoi dengan sepeda motor, masuk dan keluar kompleks, masuk ke perkampungan kumuh, melewati genangan air, dan tibalah kami di sebuah perkampungan yang masih dilanda banjir dengan ketinggian air sepinggang orang dewasa. Sepeda motor tak bisa melintas. Kami berhenti di jalan sempit.

”Ibu dan Alvin tadi pergi ke gereja lewat jalan ini?” tanya saya.

”Iya, tapi lewat depan, memutar agak jauh?” jawab Lina.

Kurang ajar, pikir saya. Masih saja dia bisa menjawab dan mendapatkan alibi.

”Baik kalau begitu. Saya tetap bertanggung jawab kepada Ibu dan Alvin. Bagaimana kalau Ibu dan Alvin saya titipkan di Pos Polisi, sehingga polisi bisa mengamankan Ibu. Saya pun bisa mengontak polisi kalau ada apa-apa dan Ibu memerlukan bantuan,” kata saya.

Mendengar solusi yang saya berikan seperti itu, Lina mulai kelimpungan, grogi. ”Sudah, Pak, nggak apa-apa. Tinggalin saja saya di sini,” jawab Lina yang punggung tangan kanannya ada bekas jahitan lumayan panjang dan besar itu.

Lina rupanya selama ini berbohong, memanfaatkan momentum banjir untuk mendapatkan sesuatu dengan cara yang tidak baik. Sebelum meninggalkannya, saya menasihati Lina agar jangan melakukan perbuatan tidak terpuji itu.

Saya menduga, Minggu (27 Januari 2013), dia dan anaknya tidak lagi ikut ”kebaktian” di gereja kami. Benar, ibu-anak itu tak lagi muncul, mungkin sedang bersandiwara di gereja lain.

Banjir rupanya telah dijadikan ”kambing hitam” bagi orang-orang tak bertanggung jawab untuk menipu dan memerankan diri sebagai orang nestapa yang layak dibantu.

Tahun 2013 merupakan kali kedua saya dipercaya gereja mengurusi soal-soal banjir dan dampaknya. Tahun 2007 lalu, saya bersama pendeta dan warga gereja bersatu padu membantu para korban banjir di Tangerang. Gereja kami bahkan mendapat bantuan beberapa unit peralatan penyaring air dari Kanada, dan kami salurkan kepada yang berhak menerimanya. Satu di antaranya dipasang di kawasan Kampung Melayu, Tebet, Jakarta Selatan. Saya tidak tahu, apakah alat yang harganya puluhan juta rupiah itu masih ada dan difungsikan ketika banjir besar kembali melanda Jakarta beberapa pekan lalu.


Tahun 2013, untuk sementara ini, kami hanya memberikan makanan (dua peti telur) kepada pengungsi di kawasan Total Persada, Tangerang yang tahun ini kembali diterjang air bah. Pada Minggu 27 Januari 2013, tim medis gereja kami juga membantu Gereja Kristen Jawa (GKJ) Grogol yang mengadakan bakti sosial bagi para korban banjir di kawasan Pesing, Jakarta Barat, dengan membuka posko pengobatan gratis. Untuk keperluan ini, selain tenaga medis, gereja kami juga mengirimkan obat-obatan.


Bersama dengan tim medis dari gereja Kristen Jawa lain yang tergabung dalam GKJ Klasis Jakarta Bagian Barat, hari itu, kami memberikan pelayanan pengobatan kepada sedikitnya 120 warga yang berdiam di kawasan Pesing, Grogol, Jakarta Barat. Dokter yang dibantu beberapa perawat bahkan melakukan ”jemput bola”, mendatangi warga yang karena kondisinya, tidak bisa datang ke posko yang dibuka di halaman gereja.

Mendung sesekali masih memayungi kota Jakarta dan sekitarnya. Rintik hujan sesekali masih turun. Kalau pun hujan, saya beharap tidak sampai berjam-jam, sehingga banjir tidak lagi datang dan membuat panik warga Jakarta, juga Tangerang.***

Comments (0)
Add Comment