Caleg NasDem Ibarat David Vs Goliath, Mati Kutu?


JIKA dilihat dari kelahiran partai-partai,  pada pemilu 9 April nanti, sebenarnya hanya ada dua kontestan yang akan bertanding, yaitu partai lama (11 buah) dan 1 (satu) partai baru (NasDem). Jika NasDem dikelompokkan sebagai partai “gurem”, maka pertarungan politik dalam Pemilu 2014 ibarat David (NasDem) melawan Goliath (11 partai lama).

Bayangkan, dalam pemilu ini, para calon anggota legislatif (caleg) NasDem yang sebagian besar (75%) muka baru harus berhadapan dengan para incumbent yang sebagian besar sudah berpengalaman menjadi anggota DPR lebih dari dua periode. Berdasarkan data Daftar Caleg Tetap (DCT) yang dilansir Komisi Pemilihan Umum (KPU), lebih dari 95% anggota DPR yang kini punya kursi empuk di DPR mencalonkan kembali sebagai anggota dewan.


Dihadapkan pada realitas seperti itu, sebenarnya para caleg NasDem dalam posisi “mati kutu”. Namun, karena para caleg NasDem belum punya pengalaman menyumbang kasus-kasus korupsi yang kini marak – dan pelakunya jadi pesakitan KPK –, maka apa pun yang dihadapi, “pertarungan” harus jalan terus. Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh bahkan sangat percaya diri, NasDem mampu mendapatkan minimal 100 kursi DPR-RI. Siapa tahu “ketapel” David (NasDem) bisa melumpuhkan Goliath (11 partai lama) yang sebagian perkasa.


Benar, sebagian besar (75%) caleg NasDem adalah pendatang baru. Fakta ini membuat saya penasaran, seperti apa sosok mereka? Sejak beberapa bulan lalu, sebagai seorang akademisi, saya berusaha mencari tahu, siapa sebenarnya mereka? Apa kompetensi mereka? Seperti apa sosok mereka? 

Setelah berkenalan dengan mereka, kesimpulan saya, sebagian besar caleg NasDem sederhana, bersahaja, dan (maaf) sebenarnya mereka tidak punya uang dalam jumlah besar untuk berkampanye meskipun beberapa di antaranya kaya raya dan sudah punya nama karena menyandang profesi sebagai artis atau atlet. Selain itu, mereka juga cerdas.

Partai yang dipimpin Surya Paloh ini memang tampak flamboyan dan tampil prima jika dibandingkan “partai gurem” lainnya. Kantor DPP partai ini di Jl RP Suroso (dulu Gondangdia Lama) berdiri begitu mentereng, dilengkapi fasilitas yang serba wah. 

Keanggotaan partai ini didukung dengan sistem teknologi dan informasi (TI) yang sangat canggih, sehingga memungkinkan setiap caleg mengetahui siapa calon pemilih potensial di daerah pemilihannya masing-masing. Program keanggotaan partai pengusung reformasi ini populer dengan sebutan Operasi 250 (O250). Sampai hari ini total anggota partai ini 14.500.000 orang.

Apakah para calegnya sementereng kantor DPP NasDem dan fasilitas yang dimiliki partai yang usianya masih “balita” itu? Berikut sebagian sosok mereka setelah saya dan beberapa kawan berbincang-bincang dengan mereka di Jakarta.

1. Mellyana Manuhutu


Masyarakat Indonesia selama ini mengenal Melly – begitu ia biasa disapa – sebagai penyanyi. Namun tidak banyak yang tahu bahwa ia juga aktivis organik dan dekat dengan petani. Ia anggota Masyarakat Organik Indonesia. Partai NasDem mempercayakan Melly sebagai caleg DPR-RI di daerah pemilihan Jawa Barat 3 dengan nomor urut 1.

Pertama kali bertemu dengannya beberapa bulan yang lalu, saya bertanya apa yang akan dilakukan sebagai caleg di Jabar 3, Melly tampak masih bingung. Tapi sekarang dia tampaknya sudah fasih berkomunikasi dengan kontituennya di daerah Cianjur dan sekitarnya.

Saat saya menulis catatan ini, ia mengirim kabar melalui BlackBerry Messenger (BBM) bahwa ia baru saja mengunjungi korban bencana tanah longsor di daerah Cianjur yang mengungsi di bangunan SD. Dia menggambarkan suasananya begitu muram. Para pengungsi tidak sempat membawa alat masak. “Akhirnya ke sana saya bawa makanan dan dimakan bersama-sama,” tulisnya.

Saat akan pamitan pulang, para pengungsi minta Melly menyanyi untuk mereka. Dengan tulus Melly menyanyi bersama mereka, dan lagu Tokecang pun berkumandang. Para pengungsi pun tertawa riang dan mengucapkan terimakasih kepada Melly. “Ya, ampun Pak Gantyo, mereka mengucapkan terimakasih sebab aku telah membuat mereka tertawa, aku bingung mau ngomong apa lagi,” kata perempuan kelahiran 5 Juli 1975 ini.

Yang pasti, Melly “buta” politik. Jika pun ia menjadi caleg, ia punya tanggung jawab bagaimana memajukan petani Indonesia dan terus menyosialisasikan tanaman-tanaman organik.
2. Lathifa Marina Al Anshori


Perempuan kelahiran Samarinda 20 Agustus 1991 ini juga belum punya pengalaman berpolitik. Jika pun ia tahu politik, itu ia peroleh saat ia menjadi kontributor Metro TV di Timur Tengah.

Dalam Pemilu 2014 yang baru pertama kali diikuti Partai NasDem, Lathifa dipercaya partai pembawa perubahan melalui gerakan restorasi itu untuk mewakili di daerah pemilihan Jakarta 2 dengan nomor urut 2.

Gelar sarjananya diperoleh dari Universitas Cairo, Mesir pada tahun lalu. Pada 2007, ia pernah mengikuti kursus jurnalistik yang membuatnya terampil berkomunikasi dengan siapa pun. Inilah antara lain modal Lathifa.  

Modal Lathifa lainnya adalah berorganisasi. Sejak SMA hingga kuliah di Mesir, ia sudah aktif berorganisasi. Pada 2005-2013, ia menjadi anggota Keluarga Mahasiswa Jawa Timur Mesir. Tahun 2009-2013, ia pernah dipercaya sebagai koordinator Mahasiswa Indonesia di Universitas Cairo. Sedangkan di DPP Partai NasDem, Lathifa adalah anggota Departemen Hubungan Luar Negeri.

3. Sarwana


Bermodalkan suara emas, Sarwana Thamrin kini kerap tampil di pesta-pesta pernikahan meskipun tidak diundang. Kedatangan Sarwana tentu membuat senang mereka yang punya hajat. “Di pesta itu, saya biasanya menyanyikan satu-dua buah lagu,” katanya.

Apakah harus berkampanye berapi-api di pesta perkawinan? Tentu saja tidak. Sarwana cukup menginformasikan melalui pembawa acara (MC) bahwa Sarwana yang penyanyi ini adalah caleg Partai NasDem. Cukup, tak lebih dari itu.

Cara itu dilakukan, sebab ia tidak punya uang berlimpah. Partai NasDem mempercayakan Sarwana yang lahir di Pare-Pare, 17 Mei 1973 ini sebagai caleg DPRRI di daerah pemilihan Sulawesi Barat dengan nomor urut 1.

Modalnya untuk maju sebagai caleg adalah kemampuannya bernyanyi. Sejak kecil Sarwana telah menunjukkan bakat menyanyi. Bahkan anak kedua dari tujuh bersaudara ini seringkali memenangkan perlombaan yang akhirnya berhasil membawa Sarwana ke Jakarta. Kemampuan vokalnya jugalah yang telah mempertemukan Sarwana dengan grup vokal Warna. Semoga setelah terpilih jadi anggota dewan, ia bisa memberikan warna di Senayan.

4. Hermawi F Taslim


Berbeda dengan caleg lain, ia lumayan punya modal, karena berlatar belakang pengusaha. Selain itu dia juga berprofesi sebagai advokat. Di DPP Partai NasDem ia duduk sebagai Wakil Ketua Badan Advokasi dan Hukum (BAHU).

Sebelum bergabung ke Partai NasDem, ia pernah menjadi salah seorang ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) rezim Abdurrahman Wahid, padahal ia seorang penganut Katolik. Namun, karena PKB mengusung semangat pluralisme, ia sudi bergabung ke partai yang kini menggadang-gadang Rhoma Irama sebagai calon presiden.

Ia pandai berbicara dan memiliki selera humor yang tinggi. Bergurau, ia mengatakan, “saya pindah ke NasDem, karena PKB Gus Dur sudah bubar dan PKB sekarang mencalonkan Rhoma Irama jadi presiden. Celaka saya, kalau Rhoma jadi presiden, saya dilarang bergadang.”

Partai NasDem menempatkan Taslim yang keturunan Tionghoa ini di daerah pemilihan Banten 3 dengan nomor urut 3. Sejak menjadi caleg, ia dan kawan-kawannya juga sesama caleg rajin blusukan bersilaturahmi dengan para warga. Dalam setiap pertemuan, ia menegaskan bahwa Partai NasDem pantang hukumnya untuk melakukan politik transaksional. Sebagai gantinya, ya silaturahmi dan menyosialisasikan agenda perubahan yang diusung Partai NasDem.

Di Banten, khususnya di dapil Banten 3 (Tangerang dan sekitarnya), ia termasuk caleg NasDem yang memiliki predikat “media darling”. Ke mana pun ia melakukan kegiatan sebagai caleg, wartawan selalu mengikutinya.

5. Sarwoto Atmosutarno


Orang-orang yang bergerak di dunia teknologi informasi komunikasi tak asing dengan sosok laki-laki berkumis ini. Harap maklum, sebab sebelum pensiun, ia menduduki jabatan penting di PT Telkomsel sebagai direktur utama.

Untuk kali yang pertama begitu berkiprah di dunia politik, ia dipercaya Partai NasDem menjadi caleg untuk daerah pemilihan (Dapil) Jawa Tengah 5 yang antara lain meliputi wilayah Solo dan sekitarnya. Di dapil ini pulalah ia dipercaya partai modern dan pembawa perubahan melalui Restorasi Indonesia itu sebagai koordinator wilayah (korwil).

Banyak orang menyebut untuk meraih kursi di dapil ini – apalagi buat partai baru seperti NasDem – tidak mudah. Pasalnya, di dapil itu ada caleg dari PDIP Puan Maharani. Secara bergurau, Sarwoto mengatakan, “oleh partai, saya ditargetkan dapat satu setengah kursi di dapil.”

Banyak langkah dan strategi yang disiapkan laki-laki kelahiran Solo 2 Oktober 1957 itu. Selain terus menjalin komunikasi dengan konstituen di dapilnya bersama dengan caleg NasDem lainnya, ia juga memaksimalkan program Operasi 250 yang dimiliki Partai NasDem. Belakangan ia juga menggagas munculnya aplikasi saksi (APSI).

APSI memungkinkan para saksi melaporkan secara real time setiap peristiwa yang terjadi di TPS, termasuk penghitungan akhir suara dan penandatanganan formulir C-1.

Meskipun secara finansial cukup dan pernah menduduki jabatan penting di PT Telkomsel, Sarwoto tidak sombong. Ia hampir selalu mengumbar senyum kepada siapa pun. Kalau bicara ia tidak berapi-api, tapi berisi, apalagi kalau materi yang dibicarakan tentang telekomunikasi dan IT. 

Dia selalu memanggil saya dengan sebutan “Mas”. Bukti bahwa dia tidak gila pangkat atau kekuasaan. Cukup mengejutkan, suatu kali ia pernah mengatakan, jika kelak dia mendapat kursi di DPR, ia tidak ingin selamanya duduk di Senayan. “Saya minta partai mengganti saya dengan pergantian antarwaktu, biar yang lain saja yang duduk di sana,” katanya.

6. Nonny Chirilda


Partai NasDem menempatkan Nonny sebagai caleg nomor urut 4 di dapil Kalimantan Barat. Meskipun berada di posisi nomor 4 tak membuat Nonny berdiam diri. Sampai sekarang ia masih aktif menggelar berbagai acara yang melibatkan massa di dapilnya.

Masyarakat Kalimantan Barat memang tidak salah ketika menjadikan Nonny Chirilda sebagai Putri Ayu terbaik untuk di kirim ke pemilihan Putri Ayu tingkat Nasional di Jakarta.  Itu terbukti dengan terpilihnya Nonny sebagai Putri Ayu Indonesia tahun 1993.  Penobatan sebagai Putri Ayu Indonesia ini dengan sendirinya mengharumkan nama Kalimantan Barat karena putri yang mewakilinya mampu meraiih trophy bergengsi berkelas nasional.

Sejak saat itu, Nonny Chirilda malang melintang di dunia modeling.  Bukan hanya menjadi modeling kelas atas di Indonesia, Nonny yang hitam manis itu bahkan membawa nama Indonesia dan Kalimantan Barat ke tingkat internasional.  Nonny yang dilahirkan di Pontianak 14 November 1975 itu pun akhirnya mampu mengenyam dunia modeling dari Paris hingga Los Angeles. 

Sejak menjejakkan kakinya di dunia modeling, Nonny mulai menjajahi dunia entertainment, mulai dari MC, presenter televisi hingga sinetron pernah dia lakoni.  Namun demikian, perempuan ayu yang rendah hati ini pun tidak meninggalkan begitu saja dunia modeling.  Setidaknya, Nonny ikut mendirikan lembaga pendidikan Runway Modelling & Acting School. Berlanjut dengan NC Management Model & Talent, sebuah agensi model.

Nonny memang orang yang tidak bisa diam.  Rasa ingin tahunya begitu tinggi. Sekarang ini, Nonny yang sempat bermukim di Kota Aleppo, Suriah dan Humburg Jerman itu pun justru disibukkan di Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). 

Itulah modal Nonny berlaga sebagai caleg. Modal uang tak punya. “Yang penting kita terus melakukan pendekatan kepada masyarakat dengan berbagai cara,” katanya.

7. Ulung Rusman


Saya mengenal caleg yang satu ini belum lama. Namun, ketika kami berbincang-bincang dengannya, saya menangkap laki-laki ini tidak sombong dan sederhana. Ulung anak kedua dari empat bersaudara yang semuanya laki-laki, lahir di Jambi, 8 Desember 1976. 

Ayahnya bernama Rusman asal Sidikalang, Sumatera Utara sedangkan ibunya, Yuliantitan lahir dan besar di Jambi. Meskipun  dilahirkan di tengah-tengah keluarga Tionghoa, sejak kecil ayahnya mendidik Ulung untuk menjadi pribadi yang egaliter dan demokratis.

Sebagai mantan aktivis 98, Ulung dianggap mampu menjembatani kaum muda keturunan Tionghoa. Ia kini menjabat sebagai Sekjen Perhimpunan Tionghoa Indonesia. 

Menurut dia, selama ini stereotip bahwa warga keturunan Tionghoa kurang peduli terhadap politik adalah keliru. Cita-cita leluhur Tionghoa yang berjuang dalam merebut kemerdekaan inilah yang ingin dilanjutkan Ulung Rusman.

Organisasi sudah ia akrabi sejak usia muda. Di SMP, Ulung aktif di OSIS, jabatan wakil ketua hingga ketua OSIS SMP pernah dia rasakan. Saat berkuliah di Jakarta (Universitas Tarumanegara) jiwa solidaritas Ulung yang tinggi mendorong  dirinya membantu anak-anak jalanan di sekitar kampus. Karena prihatin pada minimnya pendidikan juga perhatian dan kasih sayang yang didapatkan anak-anak jalan tersebut, Ulung bersama kawan-kawannya pun memfasilitasi anak-anak jalanan tersebut dengan pendidikan gratis dan rumah singgah.

Kerusuhan tahun 1998, tidak menyurutkan kecintaannya pada Indonesia. Bahkan Ulung rela mengesampingkan keselamatannya sendiri. Huru-hara serta penjarahan yang terjadi di hampir penjuru Jakarta serta perlakuan anarkis terhadap warga keturunan Tionghoa tidak membuat Ulung Rusman gentar dan pergi meninggalkan tanah air seperti kebanyakan warga keturunan Tionghoa lainnya. Bahkan sebaliknya, Ulung justru memilih memperjuangkan reformasi bersama para mahasiswa lainnya. Kini ia berjuang untuk restorasi Indonesia lewat NasDem.


8. Elman Saragih


Sebenarnya kawan saya yang satu ini tidak berminat menjadi caleg. Namun Surya Paloh memintanya dengan sangat agar Elman berkenan menjadi caleg DPRRI di daerah pemilihan Sumut 3 dengan nomor urut 2. Alasan ia tidak mau menjadi caleg, “saya tidak punya uang,” katanya kepada Surya Paloh.

Apa mau dikata, tugas mulia pun dilakukan. Meski tidak punya modal dalam jumlah besar, ia punya modal, yaitu tampang. Maklum seminggu sekali setiap pukul 07.05 ia tampil di Metro TV menjadi nara sumber tetap untuk program Bedah Editorial Media Indonesia.

Sebelum pensiun sebagai pemimpin redaksi Metro TV, ia malang melintang di dunia kewartawanan. Pada era tahun 1970-an, ia pernah menjadi wartawan Sinar Pagi dan Suara Karya. Tahun 1980-an ia menjadi wartawan Prioritas dan Media Indonesia.

Ia sendiri berasal dari Tapanuli Utara, daerah pemilihannya. Ia anak seorang buruh perkebunan. Karenanya ia biasa hidup sederhana, bahkan cenderung berkekurangan. Setelah menamatkan SMA di Medan, ia melanjutkan studi di Universitas Kristen Satya Wacana.

Baginya dunia politik tidak lagi asing. Saat menjadi wartawan, ia sering melakukan liputan di dunia politik. Sejarah pemilu pasti diketahuinya. Inilah modal utama Elman Saragih.

9. Legiman Misdiyono


Caleg yang satu ini juga berlatarbelakang wartawan. Ia pemilik tabloid Pulsa. Namun, ia mengaku hobi berpolitik. Sebelum mencalegkan diri di Partai NasDem, ia pernah menjadi caleg dan berpayung di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), partai yang disebutnya sudah “sepuh” (tua).

Daerah pemilihannya waktu itu adalah Jawa Tengah, persisnya meliputi Kabupaten Purworejo. Meskipun sudah “all out” dan mengeluarkan biaya banyak melalui money politics yang kini populer dengan sebutan “wani piro” (berani bayar berapa), Legiman tak juga melenggang ke Senayan.

Kegagalan itu tak membuatnya kapok berpolitik dan ikut kegiatan “memilih dan dipilih”. Pada 2010 lalu ia ikut pemilu kepada daerah dan mencalonkan diri jadi bupati Purworejo lewat jalur independen. Untuk mewujudkan ambisinya ini, ia mengeluarkan dana hingga miliaran rupiah untuk menjawab tantangan “wani piro”. Hasilnya? Kalah.

“Saya mencoba itu semua, karena bagi saya berpolitik adalah hobi,” katanya.

Saat ia dicalonkan jadi caleg DPR-RI NasDem mewakili dapil Jateng 6 dengan nomor urut 2, Legiman mengaku sudah kehabisan amunisi. Namun demi meraih kemenangan, Legiman kini terus bergumul, akan terus lewat jalur bersih (normal) atau menghadapi tantangan dan menjawab pertanyaan “wani piro”. Ia menyatakan sedang berada di “perempatan jalan”.

Mendengar itu, saya sarankan agar dia tetap berada di jalur yang benar dan tidak melakukan politik transaksional sebagaimana sudah menjadi komitmen Partai NasDem.

Saya senang mendengar penjelasannya ternyata ia sudah punya strategi jitu untuk meraih kursi di DPR, antara lain dia terus menjalin komunikasi dengan para pemilihnya saat mencalegkan diri pada Pemilu 2009 dan pemilihan bupati 2010. 

Sedangkan untuk melipatgandakan konstituen menghadapi Pemilu 2014 ini dia telah menyiapkan database nama-nama warga yang berdomisili di dapilnya. Total ada sekitar 250.000 orang. Mereka akan disapa satu per satu oleh Legiman. Bagaimana caranya? Untuk sementara ini hanya dia dan saya yang tahu. Pasalnya, kalau saya ungkap di catatan ini, boleh jadi akan ditiru oleh caleg dari partai lain.

Saya sendiri yakin apa yang akan dilakukan Legiman, bisa seperti batu ketapel David yang mampu menumbangkan Goliath. Kita lihat saja nanti 9 April.

10. Banta Umar Alwy



Ia adalah caleg DPR-RI yang dipercaya NasDem masuk ke daerah pemilihan Jabar 6 dengan nomor urut 4. Bercita-cita dapat kursi di DPR, Alwy praktis berjuang sendirian. 

Ia begitu rajin memasang tanda gambar partai dan sosoknya di daerah pemilihannya, antara lain Bekasi. Dengan naik sepeda motor, ia keliling kota Bekasi, masuk ke kompleks perumahan untuk memasang sendiri tanda gambarnya.

Ia juga rajin mencatat setiap kegiatan yang dilakukan jam demi jam. Aktivitas yang sering dilakukan adalah mengunjungi kegiatan pengajian yang dilakukan ibu-ibu. Sebuah aktivitas yang sangat konvensional, namun caleg kelahiran Aceh ini sangat yakin, hadir di pengajian merupakan cara yang sangat efektif untuk menaikkan elektabilitas dirinya.

Karena tahu saya seorang wartawan, ia sangat rajin mengirim informasi kegiatannya berikut foto kepada saya lewat email dan whatsapp. Siapa tahu bisa nyangkut di koran atau web, sehingga namanya semakin dikenal publik.

11. Edison Hasurungan Hutahaean 



Sebelum bergabung ke Partai NasDem, ia dulunya adalah aktivis PDI Perjuangan. Namanya masih tercatat sebagai anggota DPRD Kabupaten Bogor 2009-2014. Ia sangat kritis, bicaranya meledak-ledak. Pergaulannya sangat luas. Ia lebih senang disebut sebagai orang lapangan daripada pejabat negara. Berpakaian juga apa adanya.

Setelah bergabung ke NasDem, partai barunya ini mempercakan Edison sebagai caleg dengan nomor urut 5 di dapil Jabawa Barat 5. Ia senang berorganisasi, terutama di dunia olahraga. Pada 2009 ia pernah menduduki jabatan sebagai ketua KONI Bogor. Pada tahun yang sama ia juga pernah menjadi manajer teknik Persatuan Sebak Bola Bogor. 

Terjun menjadi caleg NasDem, ia mengaku tidak punya uang banyak. “Rata-rata caleg NasDem di Bogor kaum duafa,” katanya berseloroh. Andalannya adalah turun ke lapangan menemui para konstituen dan bersilaturahmi dengan orang-orang penting yang menjadi penentu. 

Karena terbiasa turun ke “medan perang”, ia sangat paham situasi di lapangan. Menurut dia, 434 kecamatan di Kabupaten Bogor, sudah ia “kuasai”. Ia mengatakan dalam ajang Pemilu 9 April nanti, lebih baik hampir kalah daripada hampir menang. “Kalau hampir menang, kan berarti kalah. Oleh sebab itu saya lebih senang menggunakan hampir kalah alias menang,” katanya.

12. Fitriati Rangkuti


Meskipun Partai NasDem menempatkannya di dapil Sumatera Utara 2 dengan nomor urut 6, tidak membuat Fitriati Rangkuti berdiam diri. Ia aktif mengunjungi dapilnya, terutama di Tapanuli bagian Selatan.

Berbincang-bincang dengannya, ia sangat antusias membicarakan dapilnya. Ia cerdas dan kreatif untuk memajukan daerahnya. “Saya ingin mengabdi kepada masyarakat dan memperbaiki kesejahteraan rakyat, termasuk memperjuangkan hak dan kepentingan kaum perempuan. Saya yakin Partai NasDem  bisa mewujudkan tekad saya untuk bersama-sama melakukan perubahan membangun bangsa,” katanya.

Kata-kata itu dilontarkan Fitriati Rangkuti saat ditanya apa yang melatarbelakangi ia mau menjadi  calon anggota legislatif (caleg) di Dapil Sumatera Utara 2 mewakili Partai NasDem dan menempati nomor urut 6.

Fitriati mengungkapkan, Partai NasDem memiliki sejumlah kelebihan dibanding partai lain. Sebagai partai baru dengan kader-kader muda yang bersih dari tindak korupsi, menurut dia, NasDem dan para kadernya, terutama caleg akan lebih mudah merangkul masyarakat.

Dia juga merasa mantap di NasDem, karena partai ini membawa misi antara lain menggalang kesadaran dan kekuatan masyarakat untuk melakukan gerakan perubahan melalui Restorasi Indonesia, yaitu memulihkan, mengembalikan, dan memajukan fungsi pemerintahan Indonesia kepada cita-cita Proklamasi 1945 (melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia).

Fitriati lahir di Tapanuli Selatan 24 September 1977 dari pasangan   Karimullah Rangkuti (almarhum) dan  Nursiti Lubis. “Saya besar dan bersekolah di Sumatera Utara sampai akhirnya tahun 2000 mendapat gelar sarjana ekonomi di Universitas Muhammadiah Sumatera Utara (UMSU),” ungkapnya.

Di dalam intern Partai NasDem, Fitriati Rangkuti mesti berhadapan dengan caleg lain yang punya nama dan modal. Tapi kalau pun tidak terpilih menjadi anggota DPR, “melihat kecerdasanmu, kamu layak jadi bupati atau wali kota,” kata saya kepada perempuan yang masih single ini.

Fitriati aktif di banyak organisasi. Sampai sekarang ia masih aktif duduk DPP Garda Pemuda NasDem  Bidang Kesehatan, pengurus ormas Nasional Demokrat Jakarta Selatan, pengurus DPP Karang Taruna Desa Nusantara, dan pengurus DPP KNPI Bidang Kesehatan dan Kelayakan Hidup Masyarakat.

13. Sahat Silaban


Caleg NasDem yang satu ini juga tidak punya pengalaman berpolitik. Partai NasDem menempatkannya di dapil Sumatera Utara 2 dengan nomor urut 2. Ia masuk menjadi anggota NasDem karena terkesan dengan Surya Paloh yang meskipun orang Aceh dan beragama Islam, namun pluralis. “Tak ada tokoh politik di Indonesia yang sangat pluralis seperti dia,” kata Sahat kepada saya suatu hari di kawasan bisnis Sudirman, Jakarta.

Berlatar belakang sebagai pengusaha, ia mengaku, sudah menghabiskan dana lumayan besar untuk menuju Senayan sebagai anggota DPR. Ia mengaku berutang budi pada tempat kelahiran di Tapanuli Utara, terutama kepada marga Silaban.

Lewat perhelatan Pemilu 2014, ia juga ingin membuktikan bahwa dialah satu-satunya orang Batak dengan marga Silaban yang sukses menjadi anggota DPR. Ia berprinsip kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau bukan dia, siapa lagi?

14. Ahmad Sahroni


Boleh jadi dari sekian banyak caleg NasDem, anak muda ini yang punya modal kuat untuk menjadi caleg. Meskipun begitu, ia tidak melakukan politik transaksional kepada para calon pemilihnya. Modal yang ia bangun adalah kepercayaan. Begitu calon pemilih percaya, kata dia, “mereka akan memilih kita.”

Oleh sebab itu, ia sangat optimistis bisa mendapatkan satu kursi di DPR untuknya. “Hanya dengan merem (memejamkan mata), saya pasti dapat satu kursi,” katanya.

Ahmad Sahroni adalah caleg DPRRI yang dipercaya partai pembawa perubahan melalui gerakan restorasi untuk meraih kemenangan sebagai anggota DPR di  daerah pemilihan DKI Jakarta 3 dengan nomor urut 1.

“Alhamudillah, Tuhan memberikan kelebihan kepada saya. Kini saatnya saya berjuang untuk menyejahterakan rakyat dan memberikan kemenangan buat Partai NasDem yang pasti akan membawa perubahan untuk bangsa ini,” katanya ketika berbincang-bincang dengan para caleg lain di kantor DPP Partai NasDem, Selasa (21/1).

Mengapa Sahroni begitu yakin bakal menang? Harap maklum, dia tahu betul kondisi riil di dapilnya yang antara lain meliputi kawasan Tanjung Priok. Sejak kecil, mengalami hidup susah dan meraih sukses seperti sekarang, ia selalu berada di Tanjung Priok yang dikenal sebagai daerah keras itu. Ia bahkan sangat bangga dikenal sebagai “anak Priok” daripada sebagai ketua Klub Ferrari Indonesia.

Ahmad Sahroni lahir di Priok (Jakarta) 8 Agustus 1977.  Memperistri Feby Belinda, ia  kini dikaruniai satu orang anak. Sahroni tinggal di  Jalan Swasembada Timur XXII No 52 Kelurahan Kebon Bawang, Kecamatan Tanjung Priok Jakarta Utara.

Di rumah itulah ia kerap bersilaturahmi dengan warga Tanjung Priok. Meskipun berkecukupan, Sahroni tidak pernah mengobral janji kepada warga Tanjung Priok dengan memberikan sembako atau uang agar memilihnya dalam pemilu nanti. “Saya akan konsekuen dan konsisten membantu mereka jika memang saya benar-benar terpilih menjadi anggota DPR. Mereka ternyata bisa memahami dan rela tan da tangan berkomitmen untuk memilih saya,” katanya.

15. Sri Unggul Azul Sjafrie


Bagaimana dengan caleg tingkat provinsi? Setali tiga uang, belum banyak masyarakat yang tahu, seperti halnya Sri Unggul Azul Sjafrie. Dia menjadi caleg untuk DPRD DKI Jakarta 4 dengan nomor urut bontot (8).

Ia mengaku tidak punya uang untuk bertarung bersama kandidat caleg dari partai-partai lain. Modal yang ia miliki hanyalah rajin bersilaturahmi dengan para ibu yang tergabung dalam majelis taklim. Ia rajin menyambangi mereka seraya memperkenalkan program-programnya. Tak lebih dari itu.

16. Eka Hartaty


Perempuan single ini bukan caleg untuk DPRRI, tapi caleg DPRD Kota Tangerang dengan nomor urut 5. Ia aktif berorganisasi di KNPI, Pemuda Pancasila dan FKPPI. Ia anak seorang seorang perwira polisi, namun mandiri. Ia cucu mantan Lurah Karang Tengah, Tangerang.

Modal yang digunakan untuk meraih kemenangan adalah melakukan karya nyata di lapangan. Saat Tangerang diterpa banjir, ia dan beberapa caleg NasDem lainnya berjibaku membantu warga yang tertimpa musibah. Dia tak segan-segan membersihkan selokan atau memasak di dapur umum.

Dia mengaku mudah terharu jika melihat ada anak-anak yang menderita. Maka dengan ringan tangan dan kaki, ia rela mengunjungi Yayasan Sayap Ibu di kawasan Bintaro bersama caleg NasDem lainnya. 

“Semoga tangan kanan ini akan terus bergerak membantu masyarakat yang membutuhkan, bukan hanya saat ini, tapi juga seterusnya meskipun saya tidak terpilih. Insya Allah,” kata Hartaty. 


Bangun Kepercayaan Publik

Sekali lagi, jika dibandingkan dengan para incumbent dari partai-partai lain, para caleg NasDem bukan mungkin bukan apa-apanya, baik dalam hal dana maupun pengalaman. Namun, menurut Managing Partner Power PR Christovita Wiloto, sukses tidaknya seorang caleg atau calon presiden agar dipilih rakyat, bukan disebabkan oleh uang atau iklan yang menggebu-gebu di media massa, terutama televisi, tapi kepercayaan publik.

“Jika seorang caleg mampu mendapatkan kepercayaan publik, maka kemungkinan besar dia akan terpilih dan memenangkan persaingan,” katanya dalam acara Coffee  Morning di Radio Heratline, Tangerang, Rabu (29/1).

Dalam pemilu, menurut Christov, ada dua pendekatan yang lazim dilakukan para kandidat presiden atau caleg, yaitu pertama membangun citra dan public trust. Jika membangun citra yang ditempuh, maka akan melahirkan sosok superman atau orang hebat dengan biaya politik yang sangat mahal, sedangkan public trust akan melahirkan solidaritas dan biaya politiknya sangat murah. “Jika sudah ada public trust, orang lain/pemilih bahkan rela menyumbang uang, bukan caleg yang memberikan uang kepada pemilih seperti selama ini,” katanya.

Jika tidak ada trust, menurut Christov, hubungan antara caleg dan konstituen menjadi semu, tidak ada rasa kasih sayang. Orang yang ingin dikenal, terutama citranya, bisa saja memasang iklan di televisi berkali-kali. “Tapi jangan salah kira, iklan itu justru malah bisa membuat muak penonton, apalagi jika masyarakat tahu track record orang tersebut selama ini tidak baik,” tegasnya.

Christov mengatakan para caleg yang beriklan biasanya pemalas. Ia malas bertemu dengan konstituen, malas bersilaturahmi, lalu bagaimana bisa dipercaya publik? Jika seorang caleg rajin bersilaturahmi dan menyapa calon pemilihnya, maka sang pemilih bisa memberikan referensi kepada orang lain agar memilih caleg tersebut.

Menurut Christov, jika hubungan komunikasi publik  sudah terjalin seperti itu, maka kemenangan hanya tinggal menunggu waktu. Sang tokoh pun disukai pers (media darling), seperti halnya Jokowi. Banyak relawan yang siap membantu meskipun tidak diminta, apalagi dibayar.[]
Comments (0)
Add Comment