CATATAN saya berjudul “Pendeta Itu Bilang: Yesus pun Memikirkan Politik” di blog ini (11/2) direspons beberapa kawan, satu di antaranya adalah Purnawan Kristanto, penulis buku, yang tinggal di Yogyakarta.
“Dalam blog Bapak ditulis pendapat PGI dan KWI soal golput. Mereka tidak menganjurkan golput karena itu berarti kita menyerahkan nasib kita kepada orang lain. Padahal di bagian akhir blog disebutkan bahwa 95% caleg adalah muka lama yang mencalonkan lagi. Itu artinya kita menyerahkan nasib kita pada parlemen yang sudah terbukti “busuk” pada saat ini kan? Atau jangan-jangan mereka sudah bertobat dan layak dipilih lagi? Mohon pencerahan, Pak,” begitu komentarnya.
Bingung juga saya menjawabnya, sebab faktanya 95% anggota DPR hasil Pemilu 2009 yang kini duduk di Senayan, dalam Pemilu 2014 mencalonkan kembali dan namanya tercantum dalam Daftar Calon Tetap (DCT). Itu artinya mereka berhak dan sah dipilih kembali.
Benar, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) memang menganjurkan agar umat Kristen jangan golput dalam Pemilu 2014. Pasalnya, demikian PGI dalam pesan pastoralnya yang dirilis Senin (10 Februari) – saya menerimanya saat menghadiri seminar gereja dan politik di GBI Mawar Saron Jakarta –, pemilu bukan sekadar bahwa setiap warga negara akan secara langsung menyalurkan hak politiknya untuk menentukan para pimpinan negara, tapi juga menjadi momentum di mana rakyat menaruh harapan akan adanya perubahan dan perbaikan kehidupannya ke arah yang lebih baik. Bahkan pemilu bisa menjadi alat kontrol dan kritik rakyat secara langsung bagi jalannya kekuasaan pemerintahan.
PGI berpendapat ikut berpartisipasi dalam pemilu menjadi semakin penting di tengah apatisme rakyat yang semakin tinggi. Karena itu, Sidang MPL PGI 2014 di Merauke, Papua, menganjurkan agar warga gereja ikut secara aktif berpartisipasi dalam Pemilu 2014 dan tidak “golput.”
Setidaknya ada 4 (empat) alasan mengapa PGI minta kepada umat Kristyen agar tidak golput:
1. Gereja harus memasuki seluruh bidang kehidupan, termasuk bidang politik.” Gereja meyakini bahwa partisipasi warga gereja dalam pemilu merupakan wujud nyata tanggung jawab politik dalam pembangunan demokrasi bangsa. Ikut memilih adalah bagian dari upaya untuk menyampaikan Kabar Baik bagi bangsa ini. Karena itu, ikut memilih tak hanya merupakan upaya untuk melaksanakan hak konstitusional sebagai warga negara, tapi lebih daripada itu merupakan tanggung jawab iman sebagai warga gereja yang hidup di tengah-tengah bangsa ini.
2. Pemilu adalah alat kontrol dan kritik terhadap kekuasaan. Karena itu, di dalam pemilu terjadi apa yang disebut sebagai reward and punishment. Rakyat akan menghargai dan mengapresiasi partai atau penguasa yang dinilai sungguh-sungguh bekerja untuk mereka, dengan cara memilihnya. Sebaliknya, rakyat akan menghukum partai atau penguasa yang tidak bekerja secara baik bagi, oleh dan untuk mereka, dengan cara tidak memilihnya. Karena itu, dengan memilih kita akan ikut menentukan arah perubahan bangsa ini ke depan.
3. Partisipasi rakyat dalam pemilu cenderung menurun. Fenomena ini dapat dimaknai sebagai kritik atau ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap hasil pemilu yang ternyata tidak membawa akibat terhadap perbaikan kehidupan dan kesejahteran rakyat serta terciptanya keadilan. Namun demikian, jika kecenderungan seperti ini terus berlangsung, maka akan mengurangi derajat legitimasi substansial pemilu yang secara langsung akan berimplikasi terhadap kurangnya legitimasi moral dari pemimpin yang akan terpilih.
4. Pemilu di Indonesia menggunakan sistem yang rumit, yaitu: proporsional terbuka dengan suara terbanyak. Semakin rumit sebuah sistem pemilu, maka semakin besar kemungkinan untuk melakukan kecurangan atau manipulasi suara. Berdasarkan pengalaman pelaksanaan pemilu di era reformasi, tingginya angka golput sering menjadi modus kecurangan dan manipulasi suara. Dalam hal ini, ikut memilih dimaknai PGI sebagai upaya untuk semakin menutup ruang kecurangan dan manipulasi suara.
Berdasarkan keempat alasan tersebut, PGI berpendapat bahwa menjadi golput adalah sikap yang tidak tepat saat ini! Kalaupun saat ini dirasakan bahwa belum atau tidak ada partai (atau calon) yang baik dan benar-benar dapat mewakili aspirasi masyarakat, perlulah disadari bahwa rakyat Indonesia sekarang berada dalam situasi “minus malum”, yaitu situasi di mana kita sulit menemukan atau bahkan tidak ada “figur” yang baik dan bermutu.
Karena itu, yang kita lakukan sekarang adalah memilih “yang kurang buruk dari yang buruk’, sambil terus berdoa agar terjadi “pertobatan politik” sehingga hasil Pemilu 2014 dapat membawa kebaikan bagi bangsa ini.
Setelah berpikir sejenak, saya kemudian menjawab pertanyaan teman saya di atas dengan gurauan seperti ini: “Logikanya memang begitu. Makanya PGI juga minta agar umat meneliti para caleg dan memilih dengan hati nuran. Masa sih semuanya harus memilih NasDem (dikira kampanye dong) yang calegnya belum punya pengalaman korupsi, kan nggak mungkin.”
Purnawan Kristanto kemudian menimpali: “Hati nuraniku belum rela dan ikhlas untuk menyerahkan nasibku pada caleg sekarang.”
Bagaimana dengan Anda? []