TRI Rismaharini adalah contoh langka di negeri ini bahwa ada penguasa (wali kota), tapi tidak punya kekuasaan, karena hegemoni partai politik dan uang.
Risma — begitu Tri Rismaharini biasa disapa — kini mendapat dukungan publik, karena simpatinya kepada warga kota Surabaya yang dipimpin benar-benar dikangkangi oleh mereka yang coba menukar kebijakan pelayanan publik sang walikota dengan uang demi keuntungan orang-orang tertentu.
Untuk diketahui, Risma tak punya ambisi menjadi penguasa. Jika pun akhirnya dia menjadi walikota, itu semata-mata lantaran perempuan ini dibujuk-bujuk PDI Perjuangan agar sudi dicalonkan sebagai walikota karena PDIP melihat Risma punya prestasi saat menjabat sebagai kepala Dinas Pertamanan Kota Surabaya.
Karena tidak berambisi menjadi walikota, begitu informasi yang saya baca dari laporan utama majalah Tempo, Risma tentu saja tidak menyiapkan uang untuk keperluan kampanye. Saat tim sukses dari PDIP bertanya kepada Risma berapa uang yang dia miliki, dengan jujur Risma menjawab bahwa ia hanya punya uang Rp 70 juta hasil dari penjualan tanah miliknya.
Masih menurut laporan Tempo, begitu mengetahui Risma tergolong calon pejabat dhuafa, orang pusat pun menyiapkan uang Rp 60 miliar dan diserahkan kepada Risma. Ternyata Risma tidak silau dengan uang ini. Droping uang itu ditolaknya. Alasannya sangat sederhana, “saya tidak mencari kemenangan sebagai walikota, jadi ngapain repot-repot pakai uang segala. Kalah pun tak jadi soal.”
Jika pun kemudian ia terpilih menjadi walikota Surabaya, menurut Risma, “itu adalah kehendak Allah.”
Jalan Allah, seperti dialami para nabi dahulu kala, ternyata tidak selalu mulus. Di tengah perjalanan memimpin Surabaya, ia diteror. Sejumlah hewan koleksi Kebun Binatang Surabaya mati secara tidak wajar, ada yang digantung, diracun dan dibiarkan mati perlahan-lahan karena jatah makan untuk hewan-hewan yang tak mengenal dosa itu dikorupsi.
Saat Risma mengeluarkan kebijakan menaikkan pajak iklan papan reklame kota, ia diserang pengusaha yang memanfaatkan anggota DPRD Kota Surabaya, begitu juga ketika proyek pembangunan tol dalam kota diajukan dan ditolak sang walikota.
Dikompori Whisnu Sakti Buana (waktu itu menjabat wakil ketua DPRD Surabaya), DPRD Kota Surabaya akhirnya mengeluarkan mosi tidak percaya kepada Risma. Risma terus digoyang dan diteror.
Terserah, apakah Anda menyimpulkan ini yang dimaksud bahwa politik itu kotor, PDIP tanpa sepengetahuan Risma mencalonkan Whisnu Sakti Buana sebagai wakil walikota Surabaya. Belakangan DPRD Surabaya memilih Whisnu sebagai wakil walikota. Dengan kata lain, Risma dipaksa bekerja berdampingan dengan orang yang dulu berambisi menjatuhkannya.
Dari “telenovela” Risma, siapa pun dengan mudah menganalisis dan menyimpulkan bahwa partai begitu mudah “dibeli” oleh mereka yang punya uang; dan partai kemudian minta kepada para kadernya yang duduk di DPR agar “bermain” dengan dalih yang bisa saja dicari-cari agar terkesan logis.
Dari “telenovela” Risma, masyarakat semakin diyakinkan bahwa untuk menduduki jabatan apa pun (ketua umum partai, anggota DPR/DPRD, gubernur, bupati/walikota) membutuhkan dana yang tidak kecil. Maka sah-sah saja jika kelak setelah menjabat/terpilih sebagai pejabat, mereka berupaya semaksimal mungkin agar modal yang telah dikeluarkan kembali (balik modal).
Berpolitik memang perlu ongkos tinggi. Kecuali Partai NasDem, partai-partai lain meminta uang kepada para caleg saat mereka mendaftar, tentunya juga kelak jika mereka terpilih menjadi anggota DPR yang populer dengan sebutan “wajib setor.” Jika faktanya seperti ini, pantaskah partai-partai itu kita pilih dalam pemilu 9 April nanti?
Informasi yang saya peroleh, Partai NasDem tidak memungut biaya apa pun kepada para caleg yang mencalonkan diri menjadi anggota DPR atau DPRD. Partai ini juga berjanji tidak akan menerapkan kebijakan “wajib setor” kepada para caleg yang telah terpilih menjadi anggota dewan.
Kita tunggu saja, partai ini benar-benar seia dan sekata tidak dengan perbuatannya kelak jika memenangi Pemilu 2014.[]