Jokowi Capres, Musuh pun Siapkan Amunisi

MESKIPUN baru berpredikat calon presiden (capres), Joko Widodo (Jokowi) begitu dimandatkan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati agar mau dicalonkan sebagai presiden, mayoritas masyarakat di negeri ini memperlakukannya seolah-olah dia sudah menjadi presiden terpilih.


Pemilu legislatif belum lagi dimulai, apalagi pemilihan presiden yang dijadwalkan Oktober 2014. Namun, si Jokowi sudah diasumsikan bakal memenangi pemilihan presiden. Rakyat Indonesia sepertinya sudah tidak sabar menantikan sosok pemimpin yang bersahaja, jujur dan (maaf) berwajah “ndeso”.



Gegap gempitanya pemberitaan pencapresan Jokowi sejak siang kemarin (Jumat 14 Maret 2014) hingga hari ini seolah menenggelamkan peluang capres-capres lain yang secara terang benderang telah diusung dan digadang-gadang beberapa partai politik, seperti Wiranto (Hanura), Aburizal Bakrie (Golkar), Sutiyoso (PKPI), Rohoma Irama (PKB), Prabowo Subianto (Gerindra) dan beberapa tokoh yang ikut konvensi capres (Demokrat).


Tampilnya Jokowi sebagai capres seolah bakal membuktikan peribahasa “panas setahun dihapus hujan sehari” atas dana yang telah dikeluarkan para capres selama ini yang jor-joran demi menuju RI-1. Dengan kata lain, percumalah melanjutkan perjalanan menuju RI-1, sebab Jokowi dengan pasukan relawannya pasti akan berjuang mati-matian untuk mengamankan posisinya menuju RI-1.


Negeri ini memang krisis tokoh, termasuk tokoh yang layak jadi presiden. Kecuali Prabowo, capres-capres lain yang selama ini mempromosikan diri ke ruang publik tidak dianggap pantas untuk layak dipilih dan menjadi presiden. Sebelum hari Jumat (14 Maret) kemarin, sebagian besar masyarakat Indonesia masih bertanya-tanya siapa sosok yang pantas menjadi presiden, sebab ketika Jokowi disebut-sebut layak jadi presiden, yang bersangkutan selalu menjawab, “lebih afdol mengurusi banjir dan kemacaten lalu lintas di 
Jakarta daripada ngurusi pencapresan.”


Lalu jika memang Jokowi tak sudi dicapreskan, siapa yang nanti bakal terpilih menjadi presiden? Luhut Panjaitan (mantan jenderal) dalam sebuah diskusi di Jakarta belum lama ini jelas-jelas menyebut nama Prabowo. “Kalau Jokowi tidak mau jadi capres, maka Prabowo yang akan terpilih,” katanya.


Penciuman intelijen Luhut yang berlatarbelakang intel ini rupanya lumayan tajam. Beberapa jam setelah Jokowi bersedia dinobatkan sebagai capres, Luhut bersama 21 mantan jenderal menggelar jumpa pers dan menyatakan mendukung pencalonan Jokowi. Padahal setahu saya, Luhut adalah salah seorang teman dekat Aburizal Bakrie.

Dukungan serupa juga diungkapkan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh yang selama ini sudah dekat dengan PDIP, sebab partai yang dipimpinnya punya kesamaan “platform” dengan partai yang dipimpin Megawati. “Partai NasDem mengucapkan selamat dan mudah-mudahan dapat memberikan upaya dan kinerja yang terbaik bagi bangsa,” kata Surya Paloh seperti dikutip metrotvnews.com.


Surya Paloh menegaskan partainya sedang fokus untuk pemilihan anggota legislatif, bukan pemilihan presiden. Karena punya kesamaan ideologi, menurut saya, sangat mungkin pasca-Pemilu 2014 (tentu jika mendapatkan suara signifikan), Partai NasDem akan berkoalisi dengan PDIP. Dalam berpolitik, segala sesuatu yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin. Kita lihat saja nanti. Di Jawa Tengah, para caleg NasDem bahkan memasang spanduk dan baliho bergambar Jokowi dalam rangka melahirkan Indonesia baru.


Pihak yang paling terpukul untuk sementara ini adalah Gerindra yang jauh-jauh hari telah mempromosikan Prabowo Subianto sebagai calon RI-1. Maka beralasan jika partai ini melalui sekjennya, Fadlizon, mengungkit-ungkit perjanjian Batutulis antara Gerindra-PDIP yang katanya akan mendukung Prabowo sebagai capres. Sayang sampai sebegitu jauh, seperti apa persisnya perjanjian itu, tidak semua orang tahu.


Karena sudah terlanjur basah, perjuangan Prabowo menjadi capres demi RI-1 tetap berlanjut. Tim sukses Prabowo tak terlalu peduli dengan suara sumbang tentang masa lalu dan sosoknya yang keras. Dana ratusan miliar mungkin sudah dikeluarkan untuk cita-cita menuju RI-1, kepalang tanggung jika dihentikan di tengah jalan hanya karena Jokowi. 

Banyak pihak memerkirakan, dalam pemilihan presiden Oktober mendatang, pesaing tangguh hanya ada dua, yaitu Jokowi dan Prabowo. Rekam jejak Jokowi tentu lebih baik daripada Prabowo.


“Musuh” Jokowi tentu sudah menyiapkan “peluru” untuk melumpuhkan dan menjegal mantan wali kota Solo itu menjadi presiden. Di sosial media bertebaran kabar bahwa Jokowi belum layak jadi presiden, sebab dia dan wakilnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) belum menorehkan prestasi selama memimpin Jakarta.


Ahok ikut jadi sasaran ketidaksenangan sekelompok orang pendukung intoleransi. Sebuah ormas lewat tokohnya, seperti ditulis detik.com menyatakan  akan menekan keras Jokowi agar tidak meninggalkan kursi gubernurnya.  Menurut tokoh ormas ini, Ahok tidak bisa mewakili masyarakat Jakarta. Dalam memimpin Jakarta, katanya, seharusnya ada asas proporsional yang menyesuaikan kondisi mayoritas masyarakat.

“Di Bali, gubernurnya orang Bali dan agamanya sesuai penduduk mayoritas. Begitupun Manokwari yang putra daerah dan sama dengan mayoritas. Ahok tidak bisa mewakili Jakarta,” kata tokoh ini.


Bisa dimengerti jika “musuh” Jokowi dan PDIP yang mengusung paham kebangsaan “panas hati”, sebab belakangan berembus kabar, sukses Jokowi menjadi gubernur DKI Jakarta karena mendapat dukungan dari kelompok minoritas. Benarkah? Walahualam.


Tapi yang pasti, mayoritas anak bangsa di negeri ini merindukan sosok pemimpin yang dekat dengan rakyat, jujur, lugu, antikorupsi, dan maaf (seperti diakui Jokowi) tidak tampan. Sayangnya, kriteria ringan itu untuk sementara ini hanya ada pada Jokowi.[]



Comments (0)
Add Comment