CATATAN saya berjudul “Ah, Jokowi Juga Pilihan Mahasiswa Hasil Survei Iseng” di blog saya tanggal 30 April dikomentari beberapa teman saat saya publikasikan melalui Facebook. Satu di antaranya adalah Elen Lubis.
Tak jelas, dia mendukung calon presiden (capres) yang mana, dalam salah satu komentarnya, Elen mengatakan bahwa salah satu capres yang dimaksud bisa bikin sakit perut. Bergurau, saya komentari komentarnya, kalau memang begitu siapkan saja pil/tablet penangkal sakit perut. Saya kemudian bertanya memangnya siapa capres yang bisa membuat sakit perut?
Menjawab pertanyaan itu, dia mempersilakan saya membaca status terbarunya di Facebook. Setelah membuka statusnya, saya menemukan ungkapan hati Elen sebagai berikut (maaf saya edit seperlunya):
“Satu minggu sebelum peristiwa Mei 1998, saya bermimpi seperti berada di tengah situasi chaos. Api di mana-mana, begitu juga suara tembakan.
Saat itu saya pegang erat dua anak kembar saya. Kami berlindung dari tembakan yang tak tentu arah. Mimpi itu membuat saya stres dan perlu menceritakanya kepada kedua anak kembar saya itu.
Satu hari sebelum peristiwa Mei 98 adalah hari terakhir kedua anak kembar saya mengikuti UN di SMP 216 Salemba. Entah mengapa malam itu saya gelisah. Saya utarakan kepada suami bahwa besok saya harus mengantar anak-anak ke sekolah. Suami bertanya kenapa tiba-tiba kamu mau antar? Hari pertama dan kedua kamu tenang-tenang saja? Saya hanya menjawab “pokoknya besok saya harus ikut ke sekolah.”
Apa yang saya alami di mimpi terjadi. Benar-benar seperti yang ada dalam mimpi. Sebagian anak sekolah yang tidak sempat dicegah guru, berhamburan keluar. Entah apa yang terjadi pada mereka di luaran sana, saya tidak tahu. Beberapa anak pejabat dijemput oleh anggota marinir dengan membobol tembok sekolah.
Kami bertiga terjebak di lorong gelap kios jasa pengetikan di tikungan Jl Salemba. Suasana mencekam. Api dan asap keluar dari mobil dan gedung yang dibakar. Sesekali aparat mengarahkan senjatanya ke dalam lorong gelap sehingga kami saling tindih untuk bertiarap. Ada suara jeritan, mungkin tertembak atau mungkin terjatuh dari jembatan. Kami tidak sempat memikirkannya. Yang ada di benak kami adalah bagaimana menyelamatkan diri dengan memanjat tembok setinggi dua meter untuk menghindari keramaian.
Mei 98, Jakarta hancur tentu bukan oleh warganya. Mereka adalah segerembolan orang yang khusus didatangkan entah dari mana dan ditugasi untuk membakar dan menjarah.
Pemilik supermarket yang cukup besar di dekat rumah saya sampai memohon-mohon: “Boleh ambil semua barang, tapi mohon jangan bakar tempat ini.” Tapi gerombolan itu tak peduli.
Mei 98, saya tidak habis pikir mengapa sih itu harus terjadi?. Rakyat ini salah apa? Dan yang membuat saya sangat tidak habis pikir, mengapa waktu itu semua rumah menggantungkan sajadah di pagar rumahnya? Bahkan toko roti milik orang keturunan Tionghoa pun –saya tahu mereka bukan muslim – ikut-ikutan pamer sajadah. Ada apa?
Hari ini 1 Mei, ingatan peristiwa itu begitu membekas. Ah, seandainya dia tidak kembali dari pengasingannya. Seandainya dia menuruti nasihat psikiaternya. Seandainya dia tidak ikut percaturan politik. Mungkin saya bisa tenang mengharap peristiwa Mei 1998 tidak akan terulang lagi.”
ooooooo
Silakan tebak sendiri siapa yang dimaksud Elen pada kalimat “ah, sendainya dia tidak kembali dari pengasingannya.” Apakah ada hubungannya dengan tokoh yang sekarang mencalonkan diri sebagai presiden? Hanya Tuhan dan Elen yang bisa menjawab. Kita hanya bisa menerka-nerka.
Peristiwa/tragedi Mei 1998 memang masih gelap sampai sekarang. Siapa yang jadi dalang atas peristiwa itu tampaknya sekarang masih leluasa mendalang, mungkin aktif di partai politik yang tempo hari ikut pemilu.
Dari berbagai opini yang berkembang di sosial media atau berita-berita resmi – juga buku-buku sejarah – menyusul peristiwa kelabu yang terjadi 12-14 Mei 1998 itu, setidaknya ada dua mantan jenderal yang pernah saling tuding dan menganggap dirinya paling benar dan tidak bersalah apalagi harus bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.
Perasaan Elen sama dengan perasaan saya – juga yang lain – yang pada Mei 1998 menyaksikan secara langsung tragedi kelabu tersebut. Saya dan kawan-kawan waktu itu terpaksa harus bermalam di kantor, karena kerusuhan merebak di mana-mana.
Subuh 13 Mei 1998 kami memberanikan diri pulang. Masya Allah, bangkai mobil yang gosong berserakan di sepanjang Jl Daan Mogot, mulai dari Grogol Jakarta hingga Tangerang.
Esoknya 14 Mei, ekonomi lumpuh. Banyak toko dan warung yang tidak buka, sementara stok makanan seperti beras dan susu untuk anak kami yang balita sudah habis. Kami waktu itu berpikir inikah kiamat?
Siapa biang kerok atas peristiwa memilukan dan memalukan tersebut, hanya Tuhan dan si biang kerok yang tahu.
Jika Anda punya jawaban yang sama dengan Elen, silakan Anda renungkan jika kelak Anda akan memilih pemimpin. Pikirlah masak-masak. Ke depan Indonesia membutuhkan pemimpin yang dalam bahasa Jawa “lembah manah”. Setujukah Anda?[]