TEPAT satu bulan menjabat sebagai presiden, Joko Widodo (Jokowi), hari ini, Kamis (20 November 2014) melantik HM Prasetyo sebagai jaksa agung yang baru, menggantikan Basrief. Banyak pihak berharap Prasetyo tidak kompromistis dalam menegakkan hukum, sebab diakui atau tidak, penegakan hukum di negeri ini, ibarat koreng, bau busuknya “nggak ketulungan.”
Tugas yang diemban Prasetyo tentu tidak mudah, sebab menegakkan hukum di Indonesia tak ubahnya menegakkan benang basah, selalu loyo, apalagi Prasetyo pernah jadi “orang dalam” kejaksaan.
Sebelum terjun ke dunia politik – ia anggota DPR periode 2014-2019 dari Partai NasDem –- Prasetyo pernah menjabat sebagai jaksa agung muda tindak pidana umum (jampidum). Ia pasti sangat tahu bagaimana permainan orang dalam manakala demi kantong harus menelikung pasal UU yang ujung-ujungnya duit (UUD).
Omongan yang keluar dari mulutnya seusai dilantik menjadi jaksa agung mesti kita jadikan prasasti. Dia berjanji akan independen dalam menangani kasus-kasus hukum yang hulunya adalah tindak pidana korupsi. “Saya akan menjalankan tugas memimpin Kejaksaan Agung dengan independensi dan penuh tanggung jawab. “Ya lihat saja nanti. Saya akan bertugas sebaik-baiknya, menanggalkan kepentingan pribadi dan golongan demi kepentingan bangsa,” katanya.
Masyarakat menunggu janji Prasetyo bahwa ia akan menanggalkan kepentingan pribadi dan golongan demi kepentingan bangsa. Dia tidak perlu mencari-cari kasus baru, sebab kasus korupsi lama yang masih menggantung (senggaja digantung oleh jaksa agung periode lama) sudah ada di depan mata. Beberapa di antaranya adalah:
1. Nggak usah jauh-jauh, di dalam rumah sendiri, Prasetyo mesti berbenah diri dan tegas menyangkut kasus korupsi di dua proyek: pembangunan kawasan Pusat Kegiatan Pengembangan dan Pembinaan terpadu SDM (Adhyaksa Loka) di Kelurahan Ceger, Jakarta Timur; dan proyek pembangunan gedung parkir Kejaksaan Agung.
Kedua proyek itu melibatkan mantan Bendahara Partai Demokrat Nazaruddin yang spesialis menggarap proyek-proyek pemerintah/negara, karena dibiayai APBN. Nilai kedua proyek itu lebih dari Rp 500 miliar.
Saat proyek itu ditender, yang menang adalah PT Perumahan Pembangunan. Tahu-tahu perusahaan ini mensubkontrakkan ke PT Duta Graha Indah dan Grup Permai milik Nazaruddin. Saat pratender, ada 12 perusahaan yang ikut. Eh, begitu proyek itu berjalan, perusahaan milik Nazaruddin yang menggarap, padahal PT-nya Nazaruddin sama sekali tidak pernah ikut tender.
Siapa pun dengan mudah menabak, ini pasti ada kongkalikong, apalagi kedua proyek itu dibiayai APBN dan pintu masuknya pasti lewat DPR. Setelah ditangkap dan diadili, Nazaruddin pun “menyanyi” dan menyebut nama Wakil Ketua Komisi III DPR (ketika itu) Aziz Syamsuddin dari Golkar. Sejumlah nama anggota DPR juga terlibat dalam kasus ini.
2. Meskipun sudah diputuskan secara inkraacht oleh Mahkamah Agung, ada baiknya Prasetyo menelisik kembali kasus impor ilegal 30 kontainer BlackBerry. Kasus ini pernah ramai di DPR, karena melibatkan orang-orang penting, tapi kasusnya diselesaikan ala “tahu sama tahu.”
Saat kasus itu dibahas di DPR, ada anggota DPR yang tersinggung. Salah satunya adalah Muhammad Hatta dari Fraksi PAN. “Saya kaget, kok ada usulan pembahasan impor 30 kontainer BlackBerry, kemungkinan ada pihak yang `bermain`,” katanya.
Karena diributkan banyak pihak, dengan berbagai alasan, 30 kontainer berisi BB itu direekspor ke Singapura. Hatta mengatakan, penanganan kasus pengirim kembali (reekspor) 30 kontainer berisi BlackBerry ke Singapura itu, telah memiliki kekuatan hukum tetap dari hakim Mahkamah Agung. Pasti ada udang di balik statement.
3. Kasus Cessie Bank Bali yang merugikan negara Rp 546 miliar. Kasus ini menyeret Direktur Utama PT Era Giat Prima Joko Tjandra (telah dihukum), bekas Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, dan beberapa tokoh lain, beberapa di antaranya adalah Setya Novanto, Tanri Abeng dan mantan menteri keuangan Bambang Subianto.
Setya Novanto yang kini menjadi ketua DPR pada awal 2000 ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Tapi di tengah perjalanan, tiba-tiba keluar surat perintah penghentian penyidikan dari kejaksaan. PT Era Giat Pratama merupakan perusahaan pemenang penagihan piutang dari Bank Bali. Kasus ini akhirnya dipetieskan, karena ada intervensi politik terhadap kejaksaan. Semoga saja Prasetyo anti terhadap permainan model seperti ini.
4. Proyek e-KTP senilai Rp 6 triliun. Meskipun sudah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tidak ada salahnya Kejagung di bawah kepemimpinan Prasetyo ikut ambil bagian untuk membongkar kasus ini. Pasalnya, kasus yang sebenarnya terang benderang ini, ada pihak-pihak tertentu yang membuat kasus ini remang-remang dan akhirnya menghilang.
Kabar terakhir, pejabat dari Kementerian Dalam Negeri Sugiharto harus berurusan dengan KPK, karena diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan atau penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara terkait pengadaan proyek tersebut. Menurut perhitungan sementara KPK, dugaan nilai kerugian negara dalam kasus e-KTP ini sekitar Rp 1,12 triliun.
Nilai proyek pengadaan e-KTP 2011-2012 ini mencapai Rp 6 triliun. Konsorsium Perum Percetakan Negara RI merupakan pemenang tender proyek e-KTP. Lagi-lagi Nazaruddin menjadi tersangka dalam kasus proyek ini dan “bernyanyi” bahwa Setya Novanto terlibat. Kabar tak sedap berembus, Setya tetap tegar, lantaran ia punya “peliharaan” yang berprofesi sebagai penyidik di lembaga antikorupsi.
5. Kasus dugaan manipulasi pajak pada 2007 sebesar Rp 2,1 triliun yang dilakukan tiga perusahaan grup Bakrie: PT Bumi Resources Tbk, PT Kaltim Prima Coal (KPC), dan PT Arutmin Indonesia.
KPC telah mengajukan upaya praperadilan kepada Ditjen Pajak di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Namun harapan KPC untuk ‘melawan’ Ditjen Pajak pupus. PN Jakarta Selatan menyatakan permohonan KPC tidak dapat diterima alias Niet Ontvankelijkverklaard (NO). Hal ini berbeda dengan putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan permohonan KPC yang menggugat Ditjen Pajak sebelumnya.
Prasetyo bisa menelisik kasus ini dari awal. Nilai Rp 2,1 trilun bukan kecil!
6. Kasus hibah dan pengadaan kereta api. Persisnya adalah penggelembungan biaya pengiriman KRL dari Jepang ke Indonesia yang merugikan negara hingga Rp 11 miliar.
Hatta Rajasa yang waktu itu (tahun 2006) menjabat menteri perhubungan disebut-sebut terkait dalam kasus tersebut. Proyek pengangkutan kereta api listrik dari Jepang itu dilakukan dengan menunjuk langsung perusahaan Jepang (Sumitomo Corporation) sebagai rekanan dengan biaya jasa angkut Rp 475 juta/unit.
Ketika itu Dirjen Perkeretaapian Soemino Eko Saputro mengaku mendampingi Menhub Hatta Rajasa untuk urusan itu. Sampai sedemikian jauh, KPK tidak begitu mendalami kasus ini, padahal Soemino sudah divonis 3 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Tidak ada salahnya Prasetyo proaktif mengungkap kasus tersebut.
7. Kasus Century yang sampai sekarang dibuat remang-remang, padahal siapa yang bermain jelas-jelas telah nyata di depan mata. Kerugian negara yang Rp 5,6 triliun dengan dalih “menyelamatkan” perekonomian negara, siapa yang harus menanggung. Prasetyo harus bisa memerankan diri sebagai “raja tega” dalam kasus Century, jangan lagi berbasa-basi.
8. Kasus Hambalang. Untuk sementara, kasus korupsi proyek ini hanya menyeret Nazaruddin dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, padahal berdasarkan pengakuan kedua orang ini, putra mahkota SBY, Ibas, juga terlibat. Sampai sekarang, Ibas tenang-tenang saja, sementara itu konconya, Marzuki Ali yang pernah menjadi ketua Dewan Perwakilan Rakyat, juga kecipratan dana Hambalang.
Pemerintahan Jokowi berjanji akan menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi (meskipun mustahil). Ibarat rumah, Kejaksaan Agung adalah beranda dalam memberantas kasus-kasus korupsi. Citra bersih dan kemilau penegakan hukum pemerintahan Jokowi (sukses atau gagal) ditentukan oleh Kejaksaan Agung. Jika lembaga ini tak juga mampu merestorasi diri, maka sia-sialah apa yang dilakukan Jokowi.
Prasetyo tak boleh hanya bangga, karena telah dipercaya menjadi jaksa agung. Kebanggaan sesungguhnya adalah jika ia mampu menuntaskan kasus-kasus di atas, juga kasus-kasus lain yang membuat keuangan negara tekor. Jika Prasetyo tak mampu menghilangkan bau busuk upaya penegakan hukum, lebih baik ia mundur, jangan menunggu dipecat Jokowi.[]