SUDAH enam bulan pemerintahan Jokowi bekerja. Namun, Kabinet Kerja yang dipimpinnya ternyata masih dinilai “belum bekerja” oleh sebagian anggota masyarakat, sehingga memunculkan ketidakpuasan di sana sini.
Ketidakpuasan masyarakat itu terlihat dari hasil survei yang dilakukan Poltracking Indonesia. Lembaga survei yang dipimpin Hanta Yudha itu Minggu (19 April) merilis sebanyak 48,5 persen publik tidak puas kepada pemerintahan Jokowi.
Maxi Gunawan |
Angka sebesar 48,5 persen itu, menurut Hanta, gabungan dari penilaian publik yang sangat tidak puas (5,8%) dan kurang puas (42,7%). Sementara penilaian masyarakat yang puas sebesar 44 persen, yaitu gabungan cukup puas (40,5%), dan sangat puas (3,5%). Tidak tahu/tidak menjawab (7,5%).
Berapa pun prosentase ketidakpuasan masyarakat (katakanlah cuma 20%), angka tetap berbicara. Pemerintahan Jokowi dan para menteri yang ada di Kabinet Kerja tetap harus introspeksi. Suara dan keluhan rakyat mesti didengar.
Belum lama berselang, seorang ibu rumah tangga di Semarang mengirimkan pesan lewat BBM kepada saya. Isinya keluh kesah seperti ini: “Gimana toh pemerintahan Jokowi, kok semuanya naik, mulai listrik, gas, bensin sampai kebutuhan sehari-hari? Ke mana-mana Jokowi nyebut-nyebut investasi terus, tapi investornya kok nggak datang-datang?”
Apa pun suara rakyat, begitu Jokowi dilantik menjadi presiden dan Kabinet Kerja mulai bekerja, situasi di dalam dan luar negeri memang “tak mendukung” Jokowi. Harga minyak di pasar internasional naik turun dan berkonsekuensi pemerintah harus menurunkan dan menaikkan harga BBM dengan tambahan konsekuensi pemerintahan Jokowi dinilai plin-plan.
Ekonomi negeri Paman Sam (AS) pun tiba-tiba menggeliat dan memberikan dampak tak enak buat rupiah. Nilai dolar pun mengikuti hukum alam dan terus “mengemplang” rupiah hingga nyaris tembus Rp 13.000 per dolar.
Dalam suasana seperti itu, di pengujung April ini, Indonesia menggelar hajatan akbar dan menjadi tuan rumah peringatan ke-60 Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung dan Jakarta.
Menoleh ke belakang, saat KAA digelar untuk kali yang pertama pada 1955, anggota KAA hanya 29 negara. Dua negara di antaranya, China dan India telah melesat menjadi negara maju, sementara (maaf), Indonesia masih “belum apa-apa” dibanding kedua negara tersebut.
Saya tidak tahu persis, momentum peringatan 60 tahun KAA, telah dimanfaatkan Indonesia untuk apa saja? Selayaknya peringatan 60 tahun KAA yang menjadi cikal bakal Gerakan Nonblok itu dijadikan ajang untuk berjualan. Bukankah Jokowi sering mengatakan bahwa ke depan Indonesia harus banyak promosi dan jualan?
Tampaknya, peringatan 60 tahun KAA belum diarahkan secara maksimal ke sana. Lagi-lagi, peringatan 60 tahun KAA, hanya dijadikan momentum untuk memamerkan kepada dunia bahwa Indonesia masih eksis di percaturan politik internasional. Maaf, bukannya tidak penting, masalah yang dihadapi Palestina malah dijadikan agenda permanen dalam event akbar tersebut.
Di luar panggung utama, saya berharap para menteri yang membawahkan bidang ekonomi tetap berkonsentrasi bagaimana menjadikan Indonesia ke depan hebat di bidang ekonomi. Saya juga tidak tahu, sampai sejauh mana pemerintah mengajak para pengusaha yang tergabung asosiasi atau Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dalam hajatan peringatan ke-60 KAA tersebut.
Diakui atau tidak, peran Kadin sangat penting bagi kemajuan ekonomi Indonesia ke depan. Seperti halnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kadin juga harus diperkuat. Kadin harus bisa menjadi jembatan yang mampu menghubungkan antara pengusaha dan pemerintah.
Belum lama berselang, saya berbincang-bincang dengan Maxi Gunawan, Ketua Komite Tetap Hubungan Kerjasama Lembaga Internasional Kadin Indonesia. Berbincang dengannya dalam beberapa kali pertemuan, saya banyak menimba ilmu bagaimana Kadin (di dalamnya ada pengusaha) harus berkiprah agar bisa menjadi mitra pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat dan menjadikan Indonesia hebat.
Para pengusaha tersebar di seluruh provinsi yang total ada 34 buah. Para pengusaha dan perusahaan mereka di daerah, selain tergabung dalam asosiasi, juga bergabung dalam Kadinda.
Ke depan, menurut Maxi, Kadin di pusat tidak boleh terlalu elitis hanya mementingkan pengusaha dan perusahaan yang berada di dekat pusat kekuasaan (Jakarta). Para Kandida, kata Maxi Gunawan, harus diberdayakan dan diperdekat dengan pusat kekuasaan, sehingga mereka juga bisa berkiprah membangun negeri dan mensejahterakan masyarakat. “Potensi bisnis yang bisa mensejahterakan rakyat di daerah harus dikelola dengan baik. Jangan sampai peluang di daerah sama sekali tidak disentuh,” katanya.
Kadin Indonesia ke depan, masih menurut Maxi, harus mampu mengelola dan memberikan nilai tambah terhadap kekayaan alam negeri ini, seperti sektor perikanan, kelautan, pertanian dan perkebunan.
Jika perlu, Kadin di era pemerintahan Jokowi sekarang ini, demikian Maxi, harus juga peduli dengan pendidikan kejuruan yang berorientasi pemberdayaan ekonomi warga.
Konkretnya? Saya penasaran dengan gagasan Maxi. Dia mengungkapkan, pesisir pantai kita kaya dengan rumput laut. Selama ini belum dibudidayakan secara maksimal, sebab tidak ada sekolah yang mengajarkan ilmu rumput laut. “Apa salahnya Kadin ke depan mendirikan sekolah kejuruan rumput laut?” katanya.
Banyak gagasan baru yang diungkapkan Maxi Gunawan dalam bincang-bincang dengan saya dan beberapa kawan. Intinya, harus ada orang di Kadin yang peduli dan mampu menjadikan semua kawan. Kalau para pengusaha yang tergabung dalam Kadin tetap egoistis (egosentris), ya wassalam. []