REKTOR Universitas Islam Negeri Jakarta Komaruddin Hidayat dalam bukunya Psikologi Kematian menulis: “Secara psikologis jika ditelusuri lebih dalam, sesungguhnya kita semua menolak kematian. Sakit dan celaka adalah jembatan ke arah kematian, sehingga setiap orang selalu dibayangi rasa takut terhadap situasi yang tidak nyaman.”
Jauh-jauh hari sebelum peluru dimuntahkan dari bedil regu tembak menembus jantung, perasaan seperti itu pulalah yang dirasakan para terpidana mati kasus narkoba. Setelah memunculkan pro dan kontra yang mengkristal dalam opini publik, delapan terpidana mati (tujuh warga asing dan satu warga Indonesia) akhirnya tereksekusi mati pada Rabu (29 April) dini hari.
Sebagian besar orang pasti takut mati, tidak terkecuali kedelapan orang terpidana mati, meskipun mereka – juga anggota komunitas yang menolak hukuman mati – berharap sajak Khairil Anwar “Aku ingin hidup seribu tahun lagi” menjadi kenyataan.
Sampai sekarang banyak orang menganggap kematian sebagai sesuatu yang menyeramkan, meskipun banyak agama (terutama Islam dan Kristen) mengajarkan bahwa kematian sebagai sebuah keberuntungan sebab lewat kematianlah kita bisa bertemu dengan Sang Pemberi Kehidupan.
Oleh sebab itulah dalam bukunya, Komaruddin Hidayat dengan santai menulis saat kita hendak “pulang” (mati) ke rumah Allah, sebaiknya kita datang dalam kondisi paripurna. Potensi diri dikembangkan semaksimal mungkin, kekurangan diri diperbaiki dan warna-warni hidup dinikmati dengan tawa, senyum, juga tangis.
Sangat mungkin “persiapan” seperti itulah yang dilakukan para terpidana mati kasus narkoba. Ritual perjumpaan mereka dengan Tuhan-nya melalui cara yang tidak lazim karena harus meregang nyawa di depan regu tembak, rohaniwan dan para eksekutor (Kejaksaan).
Sebagai manusia biasa, mereka bisa saja memberontak bahwa apa yang dilakukannya tempo hari (bermain-main dengan narkoba) sebagai sesuatu yang biasa dan halal, lalu dengan beragam dalih mengatakan: “Aku tidak bersalah”. Atau bisa saja mereka menuding hakim bertindak tidak adil hingga berujung kepada kematian mereka.
Semoga sebelum kematian itu datang, mereka paham bahwa hakim dalam memutus perkara di dunia sebenarnya merupakan wakil Tuhan. Andai saja hakim tidak adil, maka sesungguhnya Bapak Hakim telah mencoreng wajah Tuhan. Terserah kalau Anda menyimpulkan dalam kasus ini “dosa” hakim lebih besar daripada para terpidana mati narkoba.
Sebelum para terpidana mati digiring ke tempat eksekusi, mereka tampaknya sudah siap menyongsong kematian yang oleh Komaruddin Hidayat disebut “kemenangan di akhirat sudah menunggu.”
Sebagaimana diberitakan harian Kompas, delapan terpidana mati kasus narkoba menyanyikan lagu dan menolak untuk menutup mata saat dieksekusi di Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah, Rabu (29/4/2015).
Dalam embusan angin malam, mereka bersama-sama menyanyikan lagu Amazing Grace sesaat setelah tengah malam. Mereka juga menyanyikan lagu Bless The Lord O My Soul sebelum suara nyanyian mereka berakhir oleh suara tembakan senjata.
Lagu Amazing Grace telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara bebas dengan syair seperti ini (ada di dalam Kidung Jemaat No 40):
1. Ajaib benar anugerah pembaru hidupku!
‘Kuhilang, buta, bercela; oleh-Nya ‘kusembuh.
2. Ketika insaf, ‘ku cemas, sekarang, ‘ku lega!
Syukur, bebanku t’lah lepas berkat anugerah!
3. Di jurang yang penuh jerat terancam jiwaku;
anug’rah kupegang erat dan aman pulangku.
4. Kudapat janji yang teguh, kuharap sabdaNya
dan Tuhanlah perisaiku tetap selamanya.
5. Kendati nanti ragaku terkubur dan lenyap,
padaNya aku berteduh bahagia tetap.
6. Meski selaksa tahun lenyap di sorga mulia,
rasanya baru sekejap memuji namaNya!
Silakan Anda dengar lagunya DI SINI. Lagu aslinya dalam bahasa Inggris seperti ini. Jika Anda penasaran dengan lagu Bless The Lord O My Soul, silakan dengar lagu tersebut di Youtube yang lantunannya seperti ini.
Makna yang terkandung dalam lagu Bless The Lord O My Soul, intinya adalah bahwa dalam kondisi dan situasi apa pun, mereka akan terus menyembah Tuhan yang kudus. Tuhan itu teramat baik dan kasih-Nya tak ternilai.
Lagu tersebut sekaligus bermakna sebagai pengakuan dosa. Sebagai manusia, mereka bisa saja gagal dan tak punya kekuatan lagi. Namun ketika ajal datang dan sesudahnya, mereka akan memuji Tuhan tidak saja sepuluh ribu tahun, tapi selama-lamanya.
Para terpidana mati di saat-saat terakhir rupanya sudah siap menyambut kematian. Media Australia, The Sydney Morning Herald, mengutip keterangan para pendamping rohani yang hadir, melaporkan bahwa kedelapan orang itu menolak tawaran penutup mata. Mereka semua memilih untuk menatap para algojonya sambil terus bernyanyi.
Karina de Vega, pendeta yang hadir di lokasi, mengatakan, suara nyanyian delapan narapidana membahana di udara. “Mereka memuji Tuhan mereka,” kata De Vega. “Menakjubkan. Ini kali pertama saya menyaksikan orang yang begitu bersemangat untuk bertemu Tuhan mereka.”
Pater Charles Burrows, yang memberikan bimbingan rohani bagi terpidana mati asal Brasil, Rodrigo Gularte, mengatakan, orang-orang itu menemui ajal tanpa penutup mata. Mereka menatap lurus ke depan.
“Coba dan raihlah kenikmatan dunia dengan perjuangan yang benar. Tetapi kalaupun gagal, kemenangan di akhirat sudah pasti menunggu. Jangan putus asa dari rahmat Allah di dunia karena hidup ini sesungguhnya berlangsung sebentar,” tulis Komaruddin Hidayat.[]