Gereja Kosong

BANYAK gereja di Indonesia hari ini (Minggu 19 Juli) kosong. Jemaah yang ikut dalam kebaktian hari ini tidak banyak. Di gereja saya, Gereja Kristen Jawa (GKJ) Tangerang, tercatat hanya 156 orang yang ikut kebaktian, padahal biasanya 250-300 orang. Anggota majelis yang bertugas hanya tiga orang, padahal lazimnya 6-8 orang.

Sudah undur imankah kekristenan mereka? Tidak! Sebagian besar dari mereka ikut bersukacita merayakan Idul Fitri bersama sanak keluarga di kampung halaman, sehingga ruangan gereja tampak kosong.

Bagi kami, apalagi orang-orang Kristen Jawa, perbedaan bukan sebuah petaka, tapi berkah dan kekayaan. Karena itu, sama seperti saudara-saudaranya yang muslim, Idul Fitri (Lebaran) adalah hari yang ditunggu-tunggu. Lebaran adalah hari istimewa yang dinanti untuk bersilaturahmi, temu kangen.

Suasana Lebaran sudah terasa di gereja kami sejak Minggu (12 Juli) lalu. Banyak jemaah dan anggota majelis yang pulang kampung untuk merayakan Idul Fitri, sehingga gereja kami sepi.

Orang Kristen berlebaran? Sekali lagi, jangan heran. Bagi banyak orang Kristen asal Jawa, merayakan Lebaran adalah sesuatu yang sangat biasa. Pulang kampung bukan sesuatu yang biasa, tapi wajib. Sebelum Idul Fitri, pada saat anggota majelis rapat, pimpinan rapat selalu bertanya, siapa yang akan pulang kampung agar pelayanan ibadah tetap berjalan seperti biasa. Kegiatan-kegiatan gereja di wilayah atau lingkungan pun diliburkan.

Guna menghormati saudara-saudaranya muslim yang berpuasa, kegiatan gereja di wilayah-wilayah yang biasanya dibarengi dengan makan siang atau makan malam juga dibatasi, bahkan ditiadakan.

Itulah nikmatnya kebersamaan dan toleransi. Setiap kali Ramadan dan Syawal, saya selalu ingat masa kecil saya ketika masih bersekolah di SD. Saya waktu itu bersekolah di Rawasari Barat, Jakarta Pusat. Meskipun ayah saya seorang pendeta, saya sesekali pernah mengumandangkan takbir di sebuah masjid pada malam takbiran. Saya juga berkeliling kampung meneriakkan takbir “Allahu Akbar, Allahu Akbar…”

Banyak anggota keluarga kami berbeda keyakinan (iman). Sebelum menikah dengan ayah, ibu kami seorang muslim. Ada adik ibu yang dulunya penganut Katolik, kini muslim. Nenek (dari ibu) di hari tuanya juga menjadi Kristen dengan sukarela padahal kami tak sekalipun membujuk nenek agar menjadi pengikut Kristus.

Keputusan nenek yang seperti itu tak membuat saudara-saudara ibu yang muslim tersakiti atau kecewa, sebab di keluarga kami sangat menjunjung tinggi bahwa iman seseorang tidak bisa diganggu gugat, itu adalah urusan pribadi yang bersangkutan dengan Tuhan.

Keluarga istri saya juga keluarga “Pancasila”. Sebelum menikah dengan ibu mertua, ayah mertua juga seorang muslim. Adik ibu mertua penganut Kristen, tapi anak-anaknya muslim. Ketika Lebaran tiba, ayah mertua selalu mudik ke Solo bertemu dengan keluarga besarnya yang muslim.

Toleransi dan saling pengertian di antara kami telah turun temurun. Dari lingkungan yang kecil berdampak besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa ini terbiasa hidup rukun, meskipun berbeda-beda.

Karena itu saya sungguh amat terkejut ketika  kerukunan itu terusik, ternoda manakala saudara-saudara kami di Tolikara Papua mengganggu saudara-saudaranya yang tengah bersalat Ied pada hari Jumat (18 Juli) lalu. Diberitakan, mereka membakar kios dan musala hanya gara-gara sepele (terganggu karena suara yang dikumandangkan lewat pengeras suara dari musala terlalu keras).

Peristiwa itu bukan saja menyedihkan umat Islam, tapi juga menyedihkan umat Kristen dan pastinya melukai Kristus yang telah mengajarkan kasih kepada umat-Nya. Apa pun penyebabnya, siapa pun tak pantas mengambil jalan pintas dan murahan seperti itu.

Oleh sebab itu, wajar kalau para tokoh Kristen prihatin dan “marah” begitu mendengar kasus tersebut. Pendeta kami Matias Filemon Hadiputro langsung menulis status di Facebook seperti ini:

1. Kekerasan atas nama agama, tidak hanya melukai pemeluk agama lain, tetapi juga melukai pemeluk agama itu sendiri.

2. Kekerasan atas nama agama, tidak hanya menyakiti pemeluk agama lain, tetapi juga membuat bingung pemeluk agama itu sendiri.

3. Kekerasan atas nama agama, memalukan manusia karena mengabaikan kemanusiaan.

Johan Kristantoro, pendeta GKJ Bekasi membuat komentar reflektif: Entah Anda beragama Kristen maupun Islam, Hindu ataupun Budha, Yahudi ataupun Konghucu, semoga hari-hari ini kita jadi lebih paham dan lebih sadar bahwa jika ibadah diganggu, diteriaki, dibentaki, dilempari, dikencingi, diancam, diintimidasi, apalagi dibubarkan atau dilarang dengan kekerasan, itu tidak menyenangkan.

Dia melanjutkan jika rumah ibadah dirusak, dihancurkan, dibakar, dibuldozer, digergaji, disegel, dihalang-halangi, diduduki, apalagi diruntuhkan, itu juga tidak menyenangkan.

Suatu daerah diakui sebagai “milik” atau “wilayah kekuasaan” umat beragama tertentu, sehingga nggak boleh dipakai untuk kegiatan umat agama tertentu, atau tidak boleh dipimpin oleh umat beragama tertentu, lagi-lagi, menurut Johan, juga tidak menyenangkan.

Jadi, tambah Johan, kalau kita mau menjaga negeri ini sebagai negeri Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, mari belajar berempati alias menempatkan diri dalam posisi orang lain.

Apa yang terjadi di Tolikara Papua jelas peristiwa yang tidak menyenangkan bagi tidak saja umat Islam, tapi juga umat Kristen, sebab diwarnai dengan korban luka-luka dan meninggal dunia.

Organisasi-organisasi keumatan/gereja seperti Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Sinode Gereja Injili di Indonesia (GIDI) sudah menyampaikan maaf kepada umat Islam di Indonesia menyusul kasus di Tolikara.

Menurut saya, permintaan maaf saja belumlah sempurna jika tidak diikuti tindakan nyata seperti memberikan ganti rugi atas harta benda yang sirna karena terbakar.

PGI dan GIDI perlu mengimbau agar gereja-gereja yang dinaungi mengumpulkan uang untuk membangun kembali bangunan yang rusak. Gereja adalah rumah Tuhan. Musala juga rumah Tuhan. Jangan sampai hidup damai antarumat beragama yang telah terbangun berabad-abad di negeri ini terkoyak.

Selayaknya seluruh umat beragama di Nusantara ini bertekad untuk tidak menjadikan agama sebagai alat politik untuk melakukan provokasi. “Tuhan, jangan biarkan kami memperalat agama dan iman kami kepadaMu untuk merusak solidaritas di antara kami,” begitu antara lain doa syafaat Pdt Yoshua dari GKJ Pamulang yang saya dengar dalam ibadah tadi pagi. Amin.[]

Comments (0)
Add Comment