SAYA sengaja membuat judul tulisan ini seperti itu karena menjiplak Denny yang pernah membuat judul “Jokowi Itu Memang Gila” di situs pribadinya. Bedanya, saya menggunakan tanda petik (“), sementara Denny tidak.
Tanda petik yang saya gunakan pada kata “gila” mengandung makna bahwa Denny tidak benar-benar gila (sakit jiwa), sedangkan gila ala Denny yang disematkan pada Jokowi, entah apa maksudnya. Pembaca baru tahu setelah selesai membaca tulisannya, ternyata “gila” yang dimaksud Denny adalah cerdas. Ya, Jokowi, menurut Denny, adalah presiden yang cerdas.
Denny adalah seorang penulis dan penggiat media sosial. Dalam soal berbahasa, Denny Siregar memang sering “ngawur”. Aturan berbahasa Indonesia yang baik dan benar kerap dilanggarnya. Ketika harus menulis “jalan-jalan” misalnya (seharusnya menggunakan tanda ulang/pisah), ia selalu menggunakan angka 2 (jalan2). Ia juga sering lupa menempatkan awalan “di” pada tempat yang seharusnya. Aturan penggunaan huruf besar dan kecil, tanda baca, dan lain-lain kerap pula diterabas.
Tapi, para fans dan pengikut Denny di medsos tampaknya maklum dengan laki-laki ini, sebab ia memang punya gaya seperti itu dalam menulis. Bagi Denny, isi pernyataan atau pesan jauh lebih penting ketimbang tertib berbahasa. Denny memang terbiasa liar dalam menulis untuk mewujudkan gagasan yang ada di kepala dan hatinya.
Ia penulis yang produktif. Hampir setiap hari ia memproduksi “artikel”, kadang satu, sering pula dua. Saya hampir pastikan, ia menulis saat malam tiba. Ia lakukan itu sambil minum kopi dan merokok. Selesai menulis, ia langsung unggah buah pikirannya ke dennysiregar.com atau Facebook tanpa dikoreksi lebih dulu. Jika pun ia mengoreksi, yang jadi pusat perhatiannya bukan bahasa, melainkan ide/pesan.
Membaca tulisan Denny, kita digiring untuk menjadi lebih tahu tentang agama (terutama Islam, agama yang dianutnya) dan Indonesia, negeri yang dicintainya. Ia piawai menyederhanakan masalah rumit menjadi sangat enteng lewat pilihan kata-kata dan kalimat yang tak lazim dan membuat pembaca tertawa.
Pastinya banyak pula yang kesal, terutama para pembenci Jokowi dan Ahok, sebab Denny – lagi-lagi melalui tulisannya – mampu mendudukkan perkara yang menimpa Jokowi/Ahok dan kebijakan kedua orang itu (kemudian memunculkan pro dan kontra, serta dengki) pada proporsinya.
Oleh sebab itu, wajar kalau ada sementara orang yang menyimpulkan Denny adalah pendukung berat Jokowi dan Ahok, padahal menurut saya tidak. Denny hanya gemas melihat begitu banyak orang bodoh di negeri ini yang menutup pikiran dan hati karena selalu melihat masalah dengan sudut pandang sempit. Ibarat kita mau makan sea food atau pizza, tapi salah masuk ke warung tegal. Menggunakan gaya bahasa ala Denny, apa mau dikata, paling-paling yang disantap cuma tahu isi dan secangkir kopi tiga ribu perak, pakai ngutang pula.
Dalam tulisannya yang diberi judul Jokowi Itu Memang Gila misalnya, Denny mengungkapkan “kegilaan” Jokowi dalam mengatur strategi untuk menundukkan “musuh-musuhnya” (yang terang-terangan maupun yang malu-malu). Salah satu yang akan ditundukkan Jokowi adalah hegemoni Singapura.
Denny menulis seperti ini (maaf, Bung Denny, sudah saya edit): “Indonesia akan terus dilumpuhkan dengan isu-isu sektarian melalui dana-dana yang disalurkan lewat pesantren-pesantren, masjid-masjid hingga ormas-ormas. Dibuatlah terus supaya kita ini ribut dengan saudara sendiri, supaya kita berkelahi dan lemah kehabisan tenaga. Dengam begitu kita sulit fokus memajukan negara. Banyak LSM yang digaji tinggi, pakar-pakar politik dan ekonomi diwawancara melalui media massa untuk memberikan informasi yang menyesatkan dan melemahkan mental.
Siapa yang bermain di sana? Ya negara-negara yang kepentingannya terganggu mulai dari Singapura sampai Arab Saudi, di baliknya ada Amerika dan sohib-sohibnya.
Jadi mengapa saya bilang bahwa Jokowi itu gila? Karena ini perang besar dengan resiko sangat besar. Indonesia melawan banyak negara. Ini seperti singa terluka yang dikelilingi segerombolan serigala dalam pertarungan tidak seimbang, tapi toh masih bisa bertahan.
Jokowi bisa saja berlaku seperti sang mantan dengan pencitraan yang memuakkan berbie dalam memimpin. Yang penting semua tenang, nyaman dan gemuk-gemuk. Anehnya, Jokowi malah memilih bertarung dengan ganas sehingga lawan pun segan padanya.
Jadi, apa yang membuat saya harus tidak mengangkat secangkir kopi untuknya? Sudah berapa lawan yang ia jungkalkan selama periode setahun lebih ia memimpin? Busyet, cuma dalam setahun lebih?
Jokowi bisa bernapas sedikit lega karena fokus serangan sekarang sudah banyak beralih ke Ahok. Ahok memang pengalih perhatian yang bagus. Ia bergerak dengan gayanya, supaya para serigala lapar itu fokus kepadanya, tidak fokus kepada Jokowi. Jokowi memang gila.”
Tulisan Denny memang mencerahkan dan mencerdaskan buat mereka yang mau berpikir positif, tapi menyebalkan bagi mereka yang dari “sononya” berkawan karib dengan kedengkian dan berpikiran negatif.
Meskipun penganut Islam, lewat tulisannya, Denny kerap mengkritik penganut agama tersebut, terutama anggota/tokoh kelompok radikal yang ingin mensyariahkan Indonesia dan mengafirkan orang-orang yang tidak seagama dan sepaham. Denny sering mengolok-olok mereka dengan istilah kaum sempak berwarna pink, nggak pernah piknik, bisanya cuma memanjangkan janggut dan bercelana cungkring, bersorban dan berjubah putih tapi kelakuannya hitam. Kaum ini, disebut Denny, hanya menjadikan Islam sebagai ritual bukan spiritual.
Analisis politik Denny juga tajam. Kita menjadi tahu sesuatu yang selama ini tidak kelihatan. Maklumlah, politik (politikus), kan, sering menyembunyikan sesuatu yang seharusnya diketahui publik, tapi sebaliknya kerap menghadirkan sesuatu yang sebenarnya tiada.
Terpilihnya Setya Novanto menjadi ketua umum Partai Golkar dalam munaslub di Bali tempo hari juga tak luput dari perhatian Denny. Melalui analisisnya yang menghujam dan diungkapkan dengan cara bergurau, Denny memberi judul artikelnya Politik Tali Kutang.
Di alinea terakhir tulisannya, Denny menulis kalimat “kurang ajar” seperti ini: “Memang politik itu seperti tali kutang. Terlalu ketat, bikin sesak. Terlalu longgar, merosotlah itu barang. Karena itu, kancing yang teraman adalah di barisan kedua. Biar pas, mantap posisinya.”
***
Seorang kawan pernah bertanya apakah saya berteman dan kenal dengan Denny Siregar? Saya jawab: “Tidak”. Bagi saya mengenal pikiran dan tulisannya jauh lebih bermakna daripada mengenal sosoknya. Saya lebih afdol mengenal Denny secara liar lewat tulisannya daripada fisiknya.
Sebagai penulis (komunikator), Denny betul-betul memanfaatkan dunia maya (antara lain media sosial) sebagai medium untuk menyampaikan pesan atau isi pernyataan kepada manusia-manusia lain. Ia bebas mengungkapkan pendapat apa saja, sesuatu yang tidak mungkin dilakukannya sebelum ada internet.
Gagasan dan tulisan Denny sebaik apa pun isinya jika ia menuliskannya dengan gaya seperti yang dilakukannya sekarang ini, jelas tidak ada koran atau majalah yang akan memuatnya.
Denny tak peduli dengan aturan formal media massa mainstream. Oleh sebab itulah media jejaring sosial ia manfaatkan habis-habisan untuk menyalurkan pesan. Hasilnya jauh lebih efektif dan berdaya guna. Terbukti ia punya pengikut yang jumlahnya ribuan.
Artikelnya sering di-share oleh banyak orang, baik yang kenal maupun tidak dengannya. Saya kerap menemukan tulisannya yang di-share lewat What’s App tapi sudah tidak lagi mencantumkan namanya. Bagi Denny, itu tampaknya tidak menjadi soal, sebab bila pesan yang kita inginkan sudah sampai ke komunikan (massa), bagi seorang komunikator, itu jauh lebih penting dan membahagiakan daripada uang.
Denny Siregar menginfokan bahwa pikiran-pikirannya juga sudah dituangkan dalam buku yang akan segera terbit, judulnya Tuhan Dalam Secangkir Kopi. Ia mengaku hanya konsentrasi menulis, karena gaptek dan jadul. Ia menyerahkan urusan soal bukunya itu kepada seorang bernama Nunik Kartawijaya. “Jadi jangan tanya ke saya lagi masalah ini ya. Saya bisanya hanya nulis sambil seruput kopi,” tulisnya
Asu dahlah (sengaja mengikuti gaya Denny), itulah kegilaan Denny Siregar.[]