MENONTON film “Mengejar Embun ke Eropa”, saya merasakan seperti menonton Indonesia saat ada hajatan pilkada dan sejenisnya: penuh intrik dan fitnah. Film sarat dengan bahasa simbol. Ada dosen berjanggut dan bercelana cingkrang, lalu mahasiswa pun lulus dengan begitu mudahnya hanya bermodalkan “sembahyang.”
Film arahan sutradara Haryo Sentanu Murti yang juga berperan sebagai penulis skenario bersama N Riantiarno ini baru dirilis tayang di bioskop kemarin (Kamis 15 Desember 2016). Di dalam Bioskop 21 Bale Kota Tangerang, sore kemarin, hanya ada empat orang yang menonton, termasuk saya.
Fokus cerita dalam film yang dibintangi Rizky Hanggono, Putri Ayudya, Roberta Salzano, Irma Magara dan Danin Dharma ini sebenarnya ringan-ringan saja, yaitu pemilihan rektor Universitas Delapan Penjuru Angin di Kendari (UDPA).
Namun, karena digarap secara serius dan tampaknya ada pesan moral di balik pemilihan rektor tersebut, film menjadi sarat makna. Penonton diajak untuk melihat Indonesia yang kaya dengan budaya, indah, dan berbhineka tapi masyarakatnya tak pernah (lupa?) bersyukur akan rahmat dan berkah yang diberikan Sang Pencipta.
Cerita dalam film Mengejar Embun ke Eropa hanya melingkar-lingkar di seputaran pemilihan rektor dan idealisme dan dedikasi Prof Puro (Rizky Hanggono). Namun, melihat konflik dalam proses pemilihan rektor di UDPA, tanpa sadar kita akhirnya bisa melihat miniatur Indonesia saat negeri ini sibuk menggelar pilkada.
Seperti halnya Puro yang mencalonkan diri menjadi rektor. Ia difitnah dengan berbagai cara, bahkan lewat media massa. Lewat sang istri, Ani (Putri Ayudya), Puro dibujuk agar tidak mencalonkan diri. Lewat ulama, Puro juga disarankan agar tidak ikut-ikutan dalam proses pemilihan rektor.
Karena teguh pada prinsip ingin membangun dan memberdayakan kampus demi negeri tercinta, Puro terus maju. Entah mengapa saya kok jadi GR, saya membayangkan kegigihan Puro mirip dengan Ahok, dan karena kegigihannya pada prinsip itu, Puro diteror, terus menerus difitnah.
Mahasiswa pun diturunkan berunjuk rasa untuk memaksa Puro yang akhirnya terpilih menjadi rektor agar mundur. Tak juga mempan menurunkan Puro, penyandang dana pun menyetujui tawaran preman demo untuk menggunakan “paket D” guna menjatuhkan dan menghabisi Puro, yaitu SARA.
Film sarat dengan gambar-gambar indah tentang Indonesia dan dua kota di Eropa (Napoli-Italia dan Leiden-Belanda). Namun, lebih dari separuh durasi film, adegan dan dialog yang ditampilkan terasa menjemukan, karena kita agak sulit menemukan benang merah ceritanya.
Boleh jadi, karena sutradara atau penulis cerita memang tidak ingin menjalin cerita dan konflik secara vulgar, kecuali menggunakan lambang gambar dan bahasa, termasuk dosen tengil berjanggut dan bercelana cungkring. Dosen ini dimunculkan cuma sekilas, tapi pesannya sangat mendalam.
Penasaran? Silakan tonton sendiri filmnya.
Foto: Tribunnews |
SINOPSIS: Film Mengejar Embun ke Eropa menceritakan tentang kebiasaan anak-anak di pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Mereka tinggal di daerah krisis air mengawali harinya dengan mandi embun sebelum berangkat ke sekolah.
Puro (Rizky Hanggono) dan Ani (Putri Ayudya) merupakan anak di pulau Muna, yang masa kecilnya hanya bisa mandi jika ada air embun. Mereka berlarian di kebun singkong untuk mendapatkan embun pagi.
Puro dan Ani bertemu dalam suatu acara tarian adat perayaan syukuran. Cinta mereka pun berlanjut ke pernikahan. Nasib baik menyertai Puro dan mengantarkannya ke Eropa, yaitu Roma.
Di kota itu, Puro menemukan kebudayaan dan peradaban lain yang Indah. Ia bertemu dengan Roberta gadis Belanda yang penasaran dengan keindahan dan kebudayaan Indonesia.
Sepulangnya dari Eropa, Puro bekerja di Universitas Delapan Penjuru Angin Kendari (UDPA) dan belakangan mencalonkan diri menjadi rektor. Akan tetapi usahanya memperbaiki etos kerja untuk para dosen dan memberantas manipulasi nilai malah mengakibatkan dirinya dicopot dari jabatan sebelumnya sebagai kepala jurusan sosial ekonomi.
Namun loyalitas dan dedikasi Puro tak pernah surut. Tanggung jawaba Puro bertambah berat ketika dirinya dipercaya menjadi rektor, apalagi mahasiswa di universitas yang dipimpinnya terkenal sebagai tukang demo.
Puro pun menjalankan perlawanan terhadap premanisme di kampus, dengan melibatkan seluruh potensi kampus serta membangun jaringan dengan pihak luar. Berkat usaha dan kerja kerasnya, Puro mampu membawa perubahan dan menjadikan kampus UDPA semakin baik dan menghargai kekayaan budaya Indonesia.[]