GEGAP gempita pemilu kepala daerah (pilkada) di DKI Jakarta sebentar lagi akan berakhir. Lebih dari tiga bulan, kita seperti sedang menyaksikan film yang di dalamnya ada aneka rupa tokoh jahat dan baik.
Pilkada di Jakarta layaknya adegan film, sungguh sangat dramatis. Namun, jika diibaratkan film kartun, pilkada di kota ini, khususnya selama masa kampanye, kita seperti sedang menonton Tom & Jerry, atau Coyote.
Para tokoh yang terlibat berusaha saling menjatuhkan dengan beragam cara: yang haram dihalalkan dan yang halal diharamkan. Akal manusia pun diganti dengan akal bulus.
Seperti halnya si licik Tom (kucing) dan Coyote — keduanya “penjahat” dalam film kartun yang berbeda ini — berusaha mengakali “musuhnya” dengan cara-cara keji. Jika Tom senang menjebak Jerry, Coyote doyan mengadang si burung onta agar masuk jurang.
Aksi cegat-cegatan (pengadangan) tempo hari juga terjadi dalam kampanye pilkada saat salah satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur akan berkampanye di suatu daerah.
Persis Coyote, usaha pencegatan gagal, nggak juga kapok, ia masih terus melakukan aksi yang sama di tempat lain dengan modus berbeda. Tempo hari berdaster, kali lain berpenampilan klimis layaknya seorang intelektual.
Namun, selama empat bulan ini, kita lebih banyak menyaksikan film drama, penuh dengan adegan menyayat hati. Layaknya film drama, ada tokoh yang baik dan ada pula tokoh antagonis.
Cerita film atau fakta yang dikarang terkadang lebay tapi menyentuh hati. Adegan demi adegan kerap membuat hati bergejolak dan penonton tak sabar menanti seperti apa akhir cerita film yang ditonton: happy ending atau masih ada kelanjutannya alias bersambung.
Yuk kita tengok ke belakang dan yang kemungkinan ada di depan. Di pilkada DKI, ada calon gubernur (cagub) yang mengingatkan politisi sebaiknya tidak membohongi rakyat (pemilih) dengan menggunakan ayat suci sebuah kitab suci, malah dituduh menghina agama.
Logika pun terjungkirbalikkan. Para cerdik pandai pun mendadak jadi (maaf) lupa dengan kecerdikannya. Tiba-tiba pahlawan menjadi pecundang dan pecundang menjadi pahlawan. Burung elang yang biasa terbang gagah sendirian di udara tak lagi terlihat. Yang muncul adalah koloni lebah dan dari sana muncul beberapa “ratu” yang minta disembah dan perintahnya harus diikuti para anggota koloni.
Pastemagazine |
Seperti layaknya nonton film mafioso, dalam pilkada DKI, hukum menjadi pemilik mereka yang punya uang dan pengaruh. Ada anggota mafioso yang tak tersentuh hukum layaknya film The Untouchables.
Para penegak hukum pun bekerja “menegakkan keadilan” diliputi ketakutan. Para gangster yang bergelimpangan uang jika tampil di depan umum berpenampilan bijak bestari seperti guru dan penasihat sejati.
Juga seperti dalam film, para penjahat agar tidak terkesan jahat kerap memanfaatkan kaum agamawan untuk mempengaruhi pengikut. Mereka mengutip ayat-ayat suci untuk kepentingan sesaat guna melanggengkan atau merebut kekuasaan dan pengaruh.
Cerita film hampir selalu ada kisah-kisah kontradiksi. Begitu pula di pilkada DKI. Ada cagub yang tiba-tiba sudah memiliki harta berlimpah, tapi ada juga cagub yang “kere”, sehingga merasa perlu minta-minta simpati kepada konstituennya. Yang seru, itu konstituen atau calon pemilih rela dan suka cita memberikan sumbangan ala kadarnya.
Halo para warga Jakarta, jika Anda telah selesai nonton film drama pilkada Jakarta di atas, terserah pada 15 Februari mendatang, Anda akan memilih cagub yang mana?
Giliran Anda yang kini menjadi pemeran pembantu utama. Andalah yang menentukan film akan berakhir happy ending atau sebaliknya.[]