Foto: metrotvnews |
PROYEK reklamasi Teluk Jakarta rupanya masih tetap seksi sebagai barang jualan dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta. Ironisnya, Gubernur (nonaktif) DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terus menjadi korban.
Dalam kasus itu, ibarat pepatah, Ahok mengalami nasib “sudah jatuh tertimpa tangga”. Berniat membenahi Teluk Jakarta tapi ia malah dimaki-maki dan dianggap sebagai biang kerok.
Isu reklamasi pantai utara Jakarta pada putaran pertama dimanfaatkan habis-habisan oleh Anies-Sandi untuk menjaring suara.
Itu diakui konsultan politik Anies, Eep Saifullah Fatah. Saat melakukan kunjungan ke kantor redaksi harian Kompas (13/3), seperti diberitakan sonora.co.id, Eep mengatakan isu reklamasi pada Pilkada DKI Jakarta efektif untuk memperoleh suara.
Membangun opini — dibumbui dengan fitnah dan hoax — diakui atau tidak, kubu atau pendukung Anies-Sandi sukses “mengelola” isu reklamasi Teluk Jakarta ber-tagline: “Proyek reklamasi harus kita tolak”.
“Kita mengambil sikap bahwa reklamasi ini tidak setuju dan akan menjalankannya sesuai otoritas kita sebagai gubernur dan wakil gubernur. Ini penting. Harus ada sikap tegas, realisasi setelah saya jadi gubernur,” kata Anies sebagaimana dikutip detikdotcom di Jakarta belum lama ini.
Memainkan isu reklamasi, upaya Anies-Sandi tidak sia-sia. Ia langsung masuk ke putaran kedua mengalahkan pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni di putaran pertama yang cuma dapat 17 persen suara.
Lewat “perang udara” di media sosial, isu reklamasi terus digoreng. Tema yang diangkat itu-itu terus, seperti tuduhan Ahok menerima upeti dari pengembang yang menggarap proyek reklamasi, Ahok bakal menggusur para nelayan, pulau hasil reklamasi hanya untuk orang kaya, dan sebagainya.
Marahkah Ahok dan tim suksesnya? Akankah Ahok menggugat para pemfitnah? Tidak! Ahok dan tim suksesnya praktis diam, karena menyadari bahwa bualan-bualan soal reklamasi hanya dijadikan komoditas tim lawan untuk meraih kemenangan.
Persis seperti kasus “penistaan” agama, tim lawan juga bermain di ranah hukum agar Ahok jatuh dan tertimpa tangga pula. Lewat berbagai cara, mereka mengangkat proyek reklamasi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Fakta terbaru, Pemprov DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Ahok kalah. PTUN pada Kamis (16/3) memutuskan mengabulkan gugatan nelayan atas SK Gubernur DKI Nomor 2269 Tahun 2015 tentang pemberian izin pelaksanaan reklamasi Pulau I di kawasan Teluk Jakarta.
Ketua majelis hakim yang memimpin jalannya sidang, Adhi Budi Sulistyo, dalam pokok perkara memutuskan mengabulkan gugatan penggugat dua, dalam hal ini pihak Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) atas SK Gubernur tersebut.
Hakim mewajibkan agar SK Gubernur DKI tersebut dicabut. Hakim juga memerintahkan tergugat menunda keputusan Gubernur Provinsi DKI Nomor 2269 tahun 2015 tentang pelaksanaan izin reklamasi dengan segala tindakan administrasi, sampai berkekuatan hukum tetap.
Lawan Ahok tentu bersorak-sorak gembira. Pasalnya, putusan kemenangan pulau I bagi nelayan tersebut menjadi kemenangan ketiga. Pada dua sidang sebelumnya, hakim mengabulkan gugatan nelayan atas pemberian izin reklamasi pulau F dan K.
Koordinator Komunitas Tionghoa Antikorupsi, Lieus Sungkharisma, juga ikut menjadikan Ahok semakin bonyok tertimpa tangga.
Penganut Budha ini — ia sering ke rumah ibadah umat lain untuk menjelek-jelekkan Ahok — mengatakan, putusan PTUN Jakarta yang memenangkan gugatan nelayan atas izin reklamasi Pulau F, I, dan K di Teluk Jakarta yang dikeluarkan Pemprov DKI merupakan bukti bahwa Ahok gegabah dan suka melanggar hukum.
Menurut Lieus, putusan PTUN merupakan refleksi dari upaya-upaya keras Ahok dalam memuluskan proyek reklamasi yang merugikan masyarakat. “Ini satu lagi bukti Ahok itu bukan orang baik dan bersih,” kata Lieus seperti dikutip Okezone, Sabtu (18/3).
Namun, ketika Ahok sudah berdarah-darah, Anies berubah pikiran, terutama setelah ia bertemu dengan keluarga besar Cendana. Maklumlah, proyek reklamasi Teluk Jakarta itu sebenarnya adalah proyek pemerintah pusat (negara) yang landasan hukumnya dibuat saat Soeharto masih aktif menjadi presiden.
Soal reklamasi itu, Anies ibarat menelan ludahnya sendiri. Dia bilang akan mengikuti peraturan perundang-undangan yang ada dalam mengambil setiap kebijakan, termasuk soal reklamasi. Dia menegaskan akan taat pada putusan pengadilan dan peraturan pemerintah karena reklamasi bukan proyek pribadi.
“Kita taati keputusan pengadilan. Kita akan ikuti perundang-undangan, tidak bekerja seperti kemauan pribadi, ini bukan proyek pribadi, kita ikuti peraturan perundang-undangan. Saya akan ikuti peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah,” ujar Anies seperti dikutip detikdotcom di Jakarta, Jumat (17/3).
Tertimpa tangga bertubi-tubi (antara lain kalah di PTUN), lewat juru bicara tim suksesnya, Emmy Hafild, Ahok-Djarot menyatakan menghormati putusan hukum PTUN dan menghargai segala upaya yang telah dilakukan warga masyarakat setempat (nelayan).
Namun, menurut Emmy kepada wartawan di Media Center Cemara (tempat tim media Ahok-Djarot bermarkas), ada sejumlah hal yang perlu diketahui bersama untuk menghindari kesalahpaman yang mungkin terjadi.
Emmy menegaskan bahwa proyek reklamasi Teluk Jakarta adalah program pemerintah pusat, bukan proyeknya Pemprov DKI, apalagi proyeknya Ahok. Gubernur Jakarta (siapa pun yang menjabat) hanya sebagai pelaksana atau eksekutor.
Reklamasi sudah digagas dan terjadi sejak tahun 1972. Ancol, Dunia Fantasi (Dufan), Pantai Indah Kapuk, Pantai Mutiara, Greenbay, Inti Land adalah produk reklamasi.
Saya tidak tahu apakah pendukung Anies sudah pernah ke Ancol atau Dufan? Sesekali, Ahok dan Djarot perlu deh mengajak piknik bareng pendukung Anies ke Dufan biar pikiran mereka bertambah segar.
Sepertinya, banyak pihak, terutama pendukung Anies-Sandi perlu diingatkan kembali bahwa pembangunan tanggul dan 17 pulau buatan sudah digagas sejak 1995 di era pemerintahan Presiden Soeharto dan dikuatkan dalam bentuk Keppres, kemudian berubah menjadi Jakarta Coastal Defence Strategy pada tahun 2011 dan terakhir menjadi National Capital Integrated Development ( NCICD ) yang ditandatangani Hatta Radjasa pada tahun 2014 sebagai Menko Perekonomian di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Izin prinsip reklamasi untuk pulau D dikeluarkan Gubernur Sutiyoso pada tahun 2007, sedangkan izin pulau C dan G dikeluarkan Gubernur Fauzi Bowo di bulan September 2012, atau hanya sehari sebelum serah terima jabatan. Reklamasi pulau H bahkan sudah selesai sejak era Fauzi Bowo dan telah dibangun vila eksklusif.
Untuk menghindari gugatan hukum seperti yang diatur dalam undang-undang baru ketika itu, yakni UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, maka setelah dua tahun didiamkan, Gubernur Basuki lantas mengeluarkan izin operasional untuk pulau G, C dan D dengan syarat bahwa pendapatan dari proyek tersebut akan lebih banyak ditujukan untuk Pemprov DKI Jakarta agar bisa digunakan lebih banyak untuk kepentingan masyarakat Jakarta.
Sebagai eksekutor, Gubernur Basuki berusaha maksimal agar pantai utara Jakarta bisa layak huni. Harap maklum, kawasan ini sudah tercemar oleh logam-logam berat seperti mercuri, cadmium dan timbal. Selama dua dekade, permukaan tanah di wilayah tersebut juga mengalami penurunan akibat abrasi hingga mencapai 1,5 meter di bawah permukaan tanah.
Bahkan tahun 2025, menurut Emmy Hafild, diperkirakan pantai utara Jakarta berada 2,5 meter dari permukaan laut. Reklamasi diperlukan agar ada sumber biaya untuk membuat tanggul di sepanjang pantai guna melindungi warga dari banjir rob.
Reklamasi juga diperlukan agar ada dana untuk menata kampung nelayan Muara Angke, Kamal Muara, dan sebagainya menjadi kampung yang lebih modern, bersih dengan sanitasi yang lebih baik.
Pada prinsipnya Ahok menginginkan ada kampung nelayan yang layak huni serta menjadi pusat perikanan modern terbesar di Asia Tenggara.
Reklamasi diperlukan guna membiayai riset dan penelitian serta pembuatan tanggul laut (giant sea wall) untuk menampung 13 air sungai Jakarta agar dapat mengalir bebas ke laut dan dibersihkan, lalu didaur ulang, sehingga Jakarta mempunyai sumber air tawar untuk air minum.
Emmy menjelaskan, reklamasi diperlukan agar hutan bakau dapat ditumbuhkan kembali menjadi sabuk hijau laut Jakarta, terutama di kawasan yang mengalami pencemaran logam berat.
Tampaknya warga Jakarta, terutama mereka yang menolak reklmasi seperti halnya Anies sebelum bertemu dengan keluarga Cendana perlu mengetahui bahwa logam-logam berat yang mencemari daratan berlumpur di kawasan pantai utara Jakarta harus selalu dalam kondisi terendam air.
Jika area daratan berlumpur ini mengering, maka logam-logam berat ini akan bereaksi dengan udara atau teroksidasi dan sangat beracun jika terhirup manusia. Ini tentunya sangat membahayakan kehidupan manusia di wilayah itu. Sabuk hijau juga diperlukan untuk menyaring polutan dari darat.
Reklamasi diperlukan untuk mengoreksi kesalahan masa lalu sebelum Ahok menjadi gubernur. Saat itu nelayan digusur untuk pembangunan Ancol dan perumahan mewah. Di bawah Ahok, reklamasi diperuntukkan bagi warga DKI dari semua kelas. Konkretnya, warga kaya dan miskin, semua kebagian enak.
Reklamasi juga dibutuhkan agar pertumbuhan Jakarta terpusat di utara, sehingga Pemprov DKI dapat menata kembali bagian selatan Jakarta yang merupakan daerah resapan air. Ahok berencana untuk membuat RTH (Ruang Terbuka Hijau) dan hutan kota serta waduk di banyak wilayah selatan Jakarta.
Rusun buat nelayan (Foto: mediaindonesia) |
Bukan cuma itu, pemerintah juga telah menyiapkan empat sistem skema yang memungkinkan warga nelayan/buruh nelayan mendapat tempat tinggal layak. Pemprov DKI akan memberikan subsidi penuh bagi warga tidak mampu, penghasilan di bawah Rp 1 Juta, penyewa hanya dikenakan uang kebersihan Rp 5.000-Rp 8.000/hari, sewa seumur hidup dan boleh diturunkan ke anak cucu. Ahok berjanji tidak akan menggusur kalau tidak mampu bayar, 6-10 bulan gratis, sampai penghasilan stabil.
Ada pula skema subsidi sebagian. Bagi yang berpenghasilan UMP, mereka cukup membayar sewa Rp 300.000/bulan, sewa seumur hidup dan bisa diturunkan ke anak cucu, 6-10 bulan gratis, tidak akan diusir sampai penghasilan stabil. Namun, tidak boleh dialihkan kepada orang lain.
Skema lainnya adalah sewa beli. Skema ini dikhususkan bagi mereka yang punya penghasilan di atas UMP, sampai Rp 19 juta, sistem sewa beli. Bayar sewa mulai dari Rp 450.000-Rp 600.000 per bulan, untuk jangka waktu tertentu, dapat tanda lunas dan HGB. Hanya boleh dijual kepada Pemprov DKI.
Bagi mereka yang berpenghasilan Rp 10 juta ke atas: Kredit rumah susun lewat KPR.
Ada pula program rumah indekos (anak muda menyebut kos-kosan). Bagi yang punya tanah 200 meter persegi (SHM), Pemprov DKI membantu pembangun rumah untuk tempat indekos.
Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Ahok juga menyiapkan mes untuk pekerja. Mes ini dibangun di lokasi industri, pabrik, dan pengolahan ikan Muara Angke. Mes ini diperuntukkan bagi pekerja musiman yang tidak punya keluarga dan bukan penduduk DKI atau penduduk DKI yang rumahnya jauh dari tempat bekerja. Mes ini nantinya dibangun seperti asrama, satu kamar bisa untuk 4-6 orang.
Rencana indah itu kini terganjal dengan urusan hukum terkait dengan keputusan PTUN. Terkait dengan perjanjian-perjanjian yang telah ditandatangani (menyangkut pekerjaan reklamasi dan setelahnya), jika ada pihak yang dirugikan dan melakukan gugatan, siapa yang akan digugat?
Haruskah Ahok yang menanggung? Jika ini yang terjadi, Ahok bukan hanya tertimpa tangga, tapi tertimpa tembok.[]
(Dikutip dari Kastara.id)