Unduh-Unduh Ala GITJ Margokerto Jepara

WARGA GITJ Margokerto Jepara mengikuti lelang Hari Raya Unduh-Unduh.

LAMA tak beribadah Minggu di perdesaan, hari Minggu (7 Oktober 2018), saya kebaktian di Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) Margokerto, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah.

Suasana guyub dan rukun begitu terasa saat saya masuk ke gereja tersebut, pun setelah kebaktian rampung.

Margokerto adalah dusun yang mayoritas penduduknya penganut Kristen.

Gereja itu berdiri sejak tahun 1901 saat Belanda masih menjajah Indonesia. Bangunan yang sekarang berdiri di atas lahan lebih dari 2.000 meter persegi ini tentu tidak seperti saat gereja ini dibangun oleh “wong Londo” lebih dari 100 tahun yang lalu.

Berdasarkan catatan sejarah, sebagaimana diungkapkan Harmoko, salah seorang anggota majelis gereja itu kepada saya, GITJ Margokerto adalah gereka ketiga yang berada di kawasan ini.

Asal muasal GITJ di daerah ini adalah GITJ Kedung Penjalin yang lokasinya tak sampai 3 km dari GITJ Margokerto. Lazimnya perkembangan gereja di tanah Jawa, sama halnya dengan Gereja Kristen Jawa (GKJ), GITJ Kedung Penjalin “beranak pinak”.

GITJ Kedung Penjalin selaku gereja yang paling tua di zaman Belanda melahirkan GITJ Bondo, juga di kawasan Bangsri. Setelah itu barulah GITJ Margokerto lahir.

Dalam perkembangan pelayanan selanjutnya, GITJ Kedung Penjalin yang berlokasi di Desa Karanggondang Kecamatan Mlonggo Jepara Jawa Tengah ini mempunyai beberapa pepanthan (cabang) yang menjadi wilayah kerja pelayanan. 
Pepanthan tersebut adalah: Pakis Suwawal, Srobyong, Balongarto, Kedung Mulyo, Ploso Ngipik, Kancilan, Ploso Barat, dan Pailus.  Semua pepanthan itu kini sudah menjadi gereja yang dewasa.

Waktu terus berlalu. Tahun datang silih berganti. GITJ di Kabupaten Jepara tumbuh seiring dengan perkembangan, karakter dan budaya Jawa.

Saat saya beribadah Minggu (7 Oktober), di GITJ sedang ada perayaan unduh-unduh (panen). Kebaktian atau ibadah hanya dilaksanakan satu kali, tidak seperti biasanya tiga kali.

Di ruang lingkup gereja Kristen Jawa, unduh-unduh atau menuai selalu dirayakan setiap tahun saat perayaan Pentakosta.

Unduh-unduh dirayakan sebagai bentuk ungkapan syukur warga gereja atas panen yang dilakukan jemaat. Di perdesaan, warga gereja umumnya berprofesi sebagai petani.

Hasil panen, antara lain padi (beras), palawija, buah-buahan dan sebagainya dipersembahkan kepada Tuhan melalui gereja.

Hasil pertanian itu kemudian dilelang. Seluruh hasil lelang dipersembahkan ke gereja.

Berbeda dengan gereja lain di tanah Jawa yang hanya merayakan unduh-unduh satu tahun sekali, di GITJ perayaan unduh-unduh dirayakan dua kali setahun, yaitu pada bulan Mei dan Oktober. “Sebab di Jepara para petani dalam setahun lazimnya panen dua kali,” kata Harmoko.

Lelang atas hasil warga GITJ Margokerto berlangsung semarak. Warga gereja, terutama ibu-ibu tampak antusias mengikuti lelang.

Paduan Suara Bapak-bapak GITJ Margokerto Jepara.

GITJ Margokerto tergolong GITJ yang paling banyak anggotanya. Jumlah warga gereja ini, menurut Harmoko, sekitar 2.000 jiwa. Pada Minggu 30 September lalu, kebaktian (tiga kali ibadah) dihadiri 700-an orang.

Mereka hidup rukun dengan saudara-saudaranya yang muslim. “Saat kami membangun gereja, ada saudara kami muslim yang membantu. Sebaliknya saat saudara kami membangun masjid, kami juga ikut membantu, antara lain menyumbang semen,” kata Harmoko.

Warga GITJ Margokerto, setidaknya menurut saya, tergolong unik dalam memberikan persembahan kepada gereja sebagai bentuk ungkapan syukur kepada Tuhan. Ada jemaat yang memberikan persembahan Rp 200.000 karena hewan ternaknya (sapi) melahirkan anak dengan selamat.

Apa yang dilakukan jemaat di sana, sejalan dengan apa yang dikhotbahkan Pdt Yohanes Triyatno dalam ibadah yang saya ikuti.

Mendasari khotbah dari Kitab Keluaran 23:14-19, Triyatno mengingatkan jemaatnya agar selalu siap memberikan persembahan sebagai bentuk ungkapan syukur kepada Tuhan dengan penuh sukacita.

Perayaan unduh-unduh, menurut dia, adalah wujud bagaimana kita memberi dengan sukacita, bukan dengan paksa. Memberikan persembahan, katanya, jangan diidentikkan dengan “tarikan”.

Istilah “tarikan” populer di kalangan jemaat sebab majelis gereja kerap minta-minta dana dalam rangka memperingati hari besar seperti Natal, Paskah atau ulang tahun gereja.

“Bapak, ibu, persembahan berbeda konsep dengan tarikan,” katanya seraya minta kepada jemaat agar semangat memberi (persembahan) dijadikan sebagai budaya.

“Mari kita jadikan kebiasaan memberi yang terbaik kepada Tuhan sebagai prioritas pertama. Ini tak ubahnya kita menabur benih terbaik, maka hasilnya pasti juga akan tumbuh tanaman yang baik, sehingga kita bisa menuai dengan sukacita,” kata Pdt Yohanes Triyatno.

Mengakhiri khotbahnya, Triyatno mengajak jemaat GITJ Margokerto untuk membantu para korban di Palu dan Donggala yang tertimpa musibah gempa bumi dan tsunami.

Dia mengkritik masih ada orang Kristen yang berdoa dengan kata-kata keliru ketika ada bencana di berbagai tempat. “Saya masih mendengar ada orang Kristen yang berdoa seperti ini, ya Tuhan kami bersyukur sebab kami tidak mengalami bencana seperti yang menimpa saudara-saudara kami,” katanya.

Triyatno berkata, masa sih kita berdoa seperti itu?

Selamat hari Minggu. Selamat memberi dengan penuh sukacita. Tuhan memberkati bangsa Indonesia.[]

Comments (0)
Add Comment