Oleh Gantyo Koespradono
HERSUBENO Arief, teman saya, lewat web pribadinya, Kamis (29/11) menulis sebuah artikel “menarik” bertajuk “PM Singapura Isyaratkan Akan Ada Pergantian Presiden Indonesia?”
Saya katakan “menarik”, sebab judul tersebut, memang menarik dan mengundang rasa ingin tahu pembaca, terutama para pendukung calon presiden petahana Joko Widodo (Jokowi).
Membaca sampai selesai artikel Hersu — begitu Hersubeno Arief biasa dipanggil — ujung-ujungnya dia berharap hasrat “2019 ganti presiden” bisa terwujud dalam kontestasi Pilpres 2019.
Harap maklum, Hersu adalah pendukung pasangan Prabowo-Sandiaga Uno. Setahu saya dia adalah simpatisan salah satu partai politik yang oleh Amien Rais dikelompokkan dalam partai allah.
Saya sengaja menulis “allah” dengan huruf kecil, sebab “iman” saya berkata Allah pasti murka karena nama-Nya dicatut dan dibawa-bawa berpolitik untuk meraih kekuasaan.
Terlepas dari perkara itu, saya tetap memberikan apresiasi kepada Hersubeno, karena berbeda dengan para pendukung Prabowo yang suka menulis ngawur di medsos, teman saya ini mampu menjaga kesantunan dalam menulis, sehingga jika tidak jeli dan hati-hati, bisa saja kita terkecoh dan menyimpulkan pendapatnya benar 100 persen. Padahal kenyataannya belum tentu demikian.
Pun demikian dengan tulisan Hersu yang judulnya seperti di atas. Judul diakhiri dengan tanda tanya. Heru rupanya masih “tahu diri” dan menghormati “etika” bahwa ia sebenarnya ragu dengan apa yang ditulisnya.
Oleh sebab itulah ia menulis judul dengan pertanyaan, karena belum tentu analisisnya benar. Ia masih berspekulasi. Dengan demikian jika pendapat atau analisisnya salah atau meleset, Hersu bisa berkilah, “lho saya kan cuma menduga, makanya saya beri tanda tanya.”
Pernyataan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong yang dipublikasikan lewat akun Instagramnya beberapa hari lalu cuma dijadikan “cantelan” atau pintu masuk bagi Hersu untuk “menyerang” Jokowi dan “mengagungkan” Prabowo. Tidak lebih dan tidak kurang.
Namun, saya tetap salut kepada Hersu, meski spekulatif, ia berani menulis benang merah tulisannya dengan kesimpulan seperti ini: “Bagi yang memahami geopolitik global/regional dan pengaruhnya terhadap percaturan politik suatu negara, foto dan status Lee itu merupakan signal politik yang sangat kuat. Signal akan adanya perubahan kekuasaan di Indonesia pada Pilpres 2019.”
Hehehe, Hersubeno Arief “ngarep sekali” Probowo terpilih menjadi presiden, sehingga siapa tahu idolanya kelak bisa memanfaatkan kekuasaannya untuk meminjam uang di Bank Indonesia.
Sebagai orang awam, saya cuma bisa bertanya-tanya, apa iya status Lee di Instagram bisa dijadikan indikator sebagai signal sangat kuat akan adanya perubahan kekuasaan di Indonesia?
Tapi, ya sudahlah, siapa pun, termasuk Hersu boleh dan bebas beropini. Bahwa kemudian ada yang menyimpulkan dia ngawur, ya sah-sah saja. Itulah asyiknya menulis. Bahwa kemudian ada yang berpendapat tulisan saya ini ngawur, ya silakan.
Tulisan Hersu lumayan panjang. Namun, bahasannya soal indikasi Prabowo bakal menduduki tampuk kekuasaan pasca-pemilu 2019 gara-gara status Instagram Lee kurang dari separuh.
Selebihnya, Hersu mengulas kekurangan Jokowi, yang diargumentasikan oleh Hersu bahwa tingkat elektabilitas Jokowi (mengacu kepada hasil survei Median) semakin turun, sementara junjungannya, Prabowo, terus menjulang.
Hasil survei terbaru Median itu tentu membuat Hersu dan kubu Prabowo girang bukan kepalang. Sebagai pembanding, boleh dong kalau dalam tulisan ini saya nanti mengutip hasil survei yang dilakukan Indopol.
Sekarang saya ajak dulu Anda untuk memahami logika Hersu soal pernyataan (status) Instagram Lee Hsien Loong yang disimpulkan oleh Hersu akan terjadi pergantian kekuasaan di Indonesia.
Di Instagram, Lee menulis (lazimnya stafnya yang menulis) seperti ini: “Prabowo merupakan kandidat Pilpres Indonesia pada bulan April mendatang. Saat ini sibuk berkampanye ke seluruh Indonesia. Kami mendiskusikan bagaimana Singapura dan Indonesia dapat memperkuat ikatan yang kuat dan membawa hubungan kami ke depan. Saya berharap dia mendapatkan yang terbaik dan menyenangkan di Singapura.”
Ya, apa yang tertulis di atas tidak lain adalah caption foto saat PM Singapura Lee menerima Prabowo yang melakukan kunjungan di kantornya.
Maaf, saya tidak pandai seperti Hersu, apakah caption foto yang dipublikasikan lewat medsos gaul seperti Instagram bisa disamakan dengan pidato atau sikap luar negeri seorang kepala pemerintahan sebuah negara?
Saya justru tertarik dengan pernyataan Lee yang tersurat di kalimat terakhir: “Saya berharap dia mendapatkan yang terbaik dan menyenangkan di Singapura.”
Maaf kalau saya keliru. Jangan-jangan Lee berharap Prabowo bisa menikmati suasana saat berkunjung ke Singapura, dan siapa tahu ia bisa mendapatkan diskon besar saat shoping di negeri itu. Siapa tahu pula bisa makan paha ayam goreng yang harganya jauh lebih murah daripada di Jakarta.
Untuk diketahui, seperti disinggung Hersu dalam tulisannya, Prabowo berada di Singapura bukan dalam kapasitas kunjungan “resmi.” Dia diundang sebagai pembicara utama dalam forum The World in 2019 yang diselenggarakan oleh majalah The Economist. “Diundangnya Prabowo juga menunjukkan para pimpinan ekonomi dunia ingin tahu bagaimana masa depan Indonesia bila Prabowo terpilih,” begitu analisis Hersubeno.
Katakanlah analisis Hersu benar bahwa PM Lee memang memiliki gejala rindu setengah mati ada pergantian kepemimpinan di Indonesia, masa sih Lee tidak berguru kepada sang ayah Lee Kuan Yew? Mungkinkah Lee Hsien Loong tidak pernah membaca buku bapaknya yang berjudul From Third World to First- The Singapore Story (1965-2000).
Di buku itu, Lee Kuan Yew bahkan memberikan catatan khusus tentang Prabowo yang disebut Lee Kuan Yew sebagai sosok yang “cerdas dan ambisius tetapi impulsif dan gegabah.”
Lee Kuan Yew menangkap ada sinyal aneh dari Prabowo yang menemuinya pada tanggal 7 Februari 1998, tiga bulan sebelum kerusuhan Mei. Prabowo menemui Lee dan PM Singapura yang saat itu diduduki Goh Chok Tong secara terpisah di Singapura.
Yang disampaikan Prabowo, kata Lee, adalah sebuah pesan yang “aneh”. Intinya Prabowo menyinggung mengenai risiko yang akan dihadapi warga keturunan Tionghoa di Indonesia. Prabowo mengatakan bahwa warga keturunan Tionghoa menghadapi risiko berkait dengan kerusuhan. “Mereka akan terluka sebagai kaum minoritas,” tulis Lee Kuan Yew.
Anggap saja Lee Hsien Loong tak tahu tentang apa yang ditulis ayahnya dan menginginkan Prabowo terpilih menjadi presiden, maka boleh jadi Singapura akan senang, karena siapa tahu Prabowo nantinya bisa dikendalikan, tidak seperti Jokowi yang (maaf) keras kepala jika kepentingan nasional bangsa ini diusik, atau ada negara yang memperlakukan Indonesia tidak adil.
Singapura tentu berkepentingan menguasai perdagangan di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara. Negeri kecil ini tentu tidak ingin Indonesia menjadi negara raksasa yang punya kekuatan di berbagai sektor, terutama ekonomi.
Program pemerintahan Jokowi yang akan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, pastinya akan membuat Singapura semakin kalang kabut.
Siapa pun tidak ada yang bisa mengingkari bahwa Singapura berkonco dengan AS. Jika pemerintahan Jokowi bisa menundukkan AS lewat “perebutan” 55 persen saham PT Freeport, maka sangat mungkin proyek-proyek dan perjanjian internasional strategis lainnya yang selama ini menguntungkan Singapura, lewat semangat “mari Bung rebut kembali” Jokowi akan beralih ke Indonesia. Ingat, sebagian wilayah udara Indonesia juga masih dikuasai Singapura.
Sekali lagi, jika memang itu yang dikhawatirkan Singapura, maka saya bisa pahami jika Hersubeno berani berkesimpulan bahwa Lee menginginkan ada pergantian presiden di Indonesia pada 2019. Hebat juga tuh lobi para aktivis #2019 Ganti Presiden, sampai-sampai PM Singapura Lee Hsien Loong terpengaruh. Luar biasa!
Tak berlebihan kalau Hersu menulis: “Agar tetap eksis, Singapura butuh pelindung dan menjaga hubungan baik dengan negara-negara tetangganya. Singapura dan Israel sama-sama dilindungi AS. Jadi semacam negara satelit AS.”
Singapura tentu semakin “jiper” jika Indonesia semakin kuat. Sejak Jokowi terpilih menjadi presiden, Singapura memang ketar-ketir. Maka wajar jika Lee Hsien Loong menginginkan presiden alternatif buat Indonesia, dan pilihan jatuh ke Prabowo.
Sekali lagi, prasangka semacam itu bisa menjadi sebuah kebenaran jika analisis Hersubeno akurat 100 persen.
Mungkinkah itu terjadi? Bagi Hersubeno dan pendukung Prabowo tentu sangat mungkin. Gejala ke arah sana, menurut Hersu, sudah ada.
Di tulisannya, Hersu mengutip hasil survei yang dilakukan Median. Berdasarkan survei Median yang digelar pada bulan Oktober, selisih Jokowi-Ma’ruf dengan Prabowo-Sandi tinggal 12,2%. Persisnya elektabilits Jokowi-Ma’ruf Amin 47,7%, sedangkan Prabowo-Sandiaga 35,5%.
Dengan trend penurunan 1-2% setiap bulan, begitu kesimpulan Hersu, diperkirakan selisihnya kini tinggal 8-9%.
Hasil sigi Median ini, disebutnya, mirip dengan survei internal Prabowo-Sandi. Pada bulan Oktober selisihnya tinggal 11%. Dengan trend Jokowi-Ma;ruf Amin menurun, dan Prabowo-Sandi naik, maka diperkirakan pada bulan Januari atau paling lambat Februari, posisinya sudah akan bertemu (crossing). “Sungguh sangat berbahaya bagi inkumben,” tulis Hersu.
Benarkah prediksi Hersu? Ayo kita lihat hasil survei terbaru yang dirilis Indopol (survei dilakukan 6-10 November 2018).
Hasilnya, elektabilitas Jokowi-Amin sudah mencapai 55,99%, sedangkan Prabowo-Sandi 34,83%. Responden yang belum menentukan pilihan tercatat ada 9,18%.
Andai saja 9,18% yang belum menentukan pilihan disumbangkan ke pasangan Prabowo-Sandi, menghasilkan angka 44,01% alias pasangan Jokowi-Amin tetap unggul.
Lee Hsien Loong (eh salah, pendukung dan tim sukses) mesti bekerja ekstra keras jika merindukan Prabowo menang, sehingga tanda tanya (?) tidak lagi muncul di judul tulisan Hersubeno Arief.
Ada hikmah dan pengetahuan baru yang saya peroleh setelah membaca tulisan Hersu, yaitu Prabowo ternyata sudah tobat, tidak lagi anti asing dan aseng. Semoga pertobatan ini diikuti dengan tertib oleh para pendukungnya yang sebagian berencana melakukan reunian di Monas.[]