Pancasila dalam Ancaman, Dirongrong Pengasong Agama

 

HARI ini, Rabu 1 Juni, kita memperingati hari lahirnya Pancasila, ideologi bangsa yang sudah final, dan seharusnya tidak bisa lagi disusupi oleh ideologi apa pun dan dari mana pun.

Apa yang disampaikan Bung Karno dalam pidatonya di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945 telah disepakati para pendiri negeri ini sebagai roh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pada tanggal itu, Soekarno menyampaikan gagasannya mengenai dasar negara di hadapan anggota BPUPKI. Bung Karno menyampaikan pidatonya yang berjudul “Lahirnya Pancasila”.

Pada awalnya pidato ini tidak memiliki judul, namun Ketua BPUPKI Dr. Radjiman Wedyodiningrat memberikannya judul “Lahirnya Pancasila”.

Pancasila yang di dalamnya terdapat filosofi “Bhineka Tunggal Ika” (berbeda-beda tapi satu) kemudian dinyatakan sah dan resmi dijadikan sebagai dasar negara Indonesia merdeka pada 18 Agustus 1945.

Pancasila dengan Bhineka Tunggal Ika-nya adalah khas milik bangsa Indonesia. Di dalamnya (lima sila) mengadopsi semua kepentingan dari golongan dan kelompok mana pun. Jadi sekali lagi, Pancasila sebagai ideologi, sudah final.

Membicarakan Pancasila, menurut saya, tidak afdol kalau kita tidak membuka buku yang ditulis Yudi Latif berjudul Negara Paripurna-Historis, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila.

Buku setebal 667 halaman tersebut sangat komprehensif, termasuk ulasan dan analisis Yudi Latif terkait dengan agama (Islam) yang sampai hari ini, ada saja pihak yang mempertentangkannya apabila kita berbicara soal ideologi (Pancasila).

Dalam buku itu, Yudi mencoba melakukan kilas balik pendapat Bung Karno bahwa pengaruh Islam di Nusantara membawa transformasi masyarakat feodal menuju masyarakat yang lebih demokratis.

Saya perlu pertegas bahwa Islam telah mentransformasi masyarakat feodal (berkonotasi negatif) menjadi masyarakat demokratis (positif).

Dalam perkembangannya, Yudi mengutip Muhammad Hatta yang memandang stimulus Islam sebagai salah satu sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi sosial di kalbu para pemimpin pergerakan kebangsaan.

Yudi juga menulis nilai-nilai demokratis Islam yang menjunjung tinggi kemuliaan dan persamaan manusia memberi inspirasi bagi para pemikir humanis Barat, seperti tercermin dari gagasan Giovani Pico della Mirandola, filsuf humanis Italia zaman Renaissance.

Apa yang diungkap Yudi di atas adalah terkait dengan sila keempat Pancasila. Lalu bagaimana dengan sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) yang kerap dipersoalkan?

Setelah mengkaji dan menelaah berbagai referensi, Yudi sampai pada kesimpulan bahwa fundamentalisme keagamaan dan fundamentalisme sekuler harus dihindari karena keduanya membuat ketuhanan dan politik terus menerus saling mengucilkan dan mengalahkan, yang membuat kehidupan spiritual tanpa kesalehan sosial dan menjadikan politik tanpa jiwanya.

Oleh karena itu, tegas Yudi, solusi diferensiasi Indonesia dengan titik tengah keemasannya, “bukan negara agama, bukan negara sekuler” merupakan warisan kemajuan dari para pendiri bangsa yang harus dipertahankan dan diupayakan operasionalisasinya secara berkelanjutan.

Lalu bagaimana faktanya sekarang? Diakui atau tidak, sampai saat ini masih ada segerombolan orang yang mencoba menihilkan Pancasila dan menggantinya dengan ideologi lain yang berbasiskan agama (Islam).

Faktanya ada pula tokoh yang kebetulan ikut kontestasi kepala daerah, bahkan presiden memanfaatkan (membajak) agama guna meraih ambisinya berkuasa.

Ujung-ujungnya polarisasi politik identitas terus melestari di negeri ini dan memunculkan opini atau semangat bahwa apa yang diyakininya sebagai sesuatu yang paling benar sehingga menihilkan saudara-saudaranya yang tidak sepaham.

Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu membuktikan realita tersebut. Sungguh, pada hajatan demokrasi itu, kita sama sekali tidak melihat di mana Pancasila? Fakta sejarah ini tidak boleh terulang dalam Pilpres 2024.

Gerakan radikalisme yang mengasong agama dan berslogankan khilafah belakangan ini juga secara demonstratif dan terang-terangan menunjukkan ingin – atau setidaknya berharap – ideologi Pancasila diganti dengan ideologi berdasarkan agama tertentu.

Gerakan itu merangsek ke semua lini dengan memanfaatkan media sosial, grup-grup WA, dan perkumpulan-perkumpulan sebagai sarana komunikasi.

Dampaknya, banyak warga masyarakat yang terpapar ideologi di luar Pancasila. Bahkan merasuk ke aparatur sipil negara, keluarga TNI dan Polri, mahasiswa, guru, maupun dosen.

Peristiwa yang paling baru adalah konvoi sepeda motor yang mengglorifikasi khilafah. Aksi ini dilakukan secara serentak di berbagai kota. Ini pasti ada pihak pembenci pemerintah dan negara yang membiayai. Gerakan semacam ini apa bedanya dengan aksi-aksi PKI di tahun 1960-an?

Melihat gerakan semacam itu, saya berkesimpulan bahwa Pancasila saat ini dalam rongrongan pengasong agama. Terus terang, saya tidak tahu aksi nekat mereka akan berlangsung sampai kapan.

Pada tahun 2024 kita akan menggelar pemilu serentak (kepala daerah, legislatif dan presiden). Saya bisa membayangkan bagaimana riuh rendahnya Pemilu Serentak 2024 nanti.

Saya hanya berharap, kita, terutama para elite politik tetap eling lan waspada (ingat dan waspada) bahwa Pancasila kini dalam ancaman. Serius.

Sangat mungkin ada pihak asing atau bohir yang sengaja mendanai atau mamanfaatkan para pengasong agama yang (maaf) sebagian besar miskin akal sehat untuk terus menggoyang Pancasila.

Gerakan dan aksi mereka jelas tidak bisa dibenarkan dan dibiarkan.

Selamat hari lahir Pancasila. Mari kita terus jaga dan lestarikan Bhineka Tunggal Ika yang begitu indah mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara.[]

 

 

 

 

 

Comments (0)
Add Comment