GLOBAL WARMING DAN INVESTASI
Kedua pasangan itu sampai kini gigih menghijaukan bukit seluas 20 hektar yang terletak di sebuah desa kabupaten itu yang lokasinya sekitar 40 km sebelum pantai Pelabuhan Ratu. Bukit itu dihijaukan dengan tanaman jati yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Adalah Soegiharto yang selama ini tekun meneliti dan mengkloning tanaman jati dari berbagai negara agar tumbuh baik.
Ketika kami berkunjung ke sana, tanaman jati yang ada di lahan itu berusia antara tujuh sampai dua tahun. Di hamparan perbukitan, jarak tanam pohon jati satu dengan yang lain dua meter. Ada ribuan pohon jati yang tumbuh di sana. Namun hal itu belum berpengaruh kepada perubahan iklim. Panas yang begitu menyengat masih kami rasakan. Maklum. sebagian bukit tetangga masih gundul.
Lahan seluas 20 hektar itu adalah milik Soegiharto dan Santi setelah mereka mendirikan PT Sugih Agro Sejati. Perusahaan yang berkantor di Jakarta itu selama ini hanya menyediakan lahan untuk disewa dan bibit tanaman jati yang bernama Artamas. Ribuan jati yang tumbuh di Lahan itu, dimiliki seorang investor dari Inggris. “Namun sang investor minta agar jati-jati itu jangan ditebang kendati sudah layak dipanen, sebab keinginannya menanam pohon jati di lahan ini hanya untuk paru-paru dunia,” kata Mira kepada kami.
Soegiharto sendiri sehari-hari adalah seorang dokter. Pada tahun 1987, dia merintis proyek bayi tabung pertama di Indonesia. Soegiharto sehari-hari praktek di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo di samping menjadi konsultan beberapa rumah sakit di Jakarta.
Namun sejak tahun 2000-an, selain tetap menekuni dunia medis, Soegiharto juga menekuni lingkungan hidup. Bidang ini ditekuni lantaran dia prihatin melihat kenyataan bahwa hutan-hutan di Indonesia semakin gundul. Mengutip pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Soegiharto mengatakan, “Jika tidak ada orang yang peduli, 12 tahun lagi, hutan kita benar-benar habis.”
Oleh sebab itu setelah menyelesaikan tugasnya sebagai dokter, sisa waktunya digunakan Soegiharto untuk memikirkan bagaimana melestarikan sebuah kawasan di Sukabumi, Jawa Barat dengan tanaman jati. “Sebagai dokter, sekali praktek, paling saya bisa menangani beberapa orang pasien. Tapi dengan bertani jati, saya bisa membantu dan menyelamatkan banyak orang,” katanya kepada saya di Jakarta belum lama ini.
Lebih dari itu, tanaman jati yang dibudidayakan juga memberikan nilai tambah bagi petani setempat. Juga bagi siapa pun yang berniat berinvestasi sekaligus melestarikan lingkungan. Siapa yang tidak kenal dengan nilai ekonomis kayu jati? Setiap tahun kenaikan harga kayu jati untuk setiap meter kubiknya sangat spektakuler. Pada tahun 1997, menurut Sugiharto, harganya masih 400-1.700 dolar AS (Rp 13.600.000) per M3. Sekarang harganya sudah pada kisaran 2.200 dolar AS (Rp 17.600.000). Angka itu saya kalikan dengan asumsi nilai dolar atas rupiah Rp 8.000.
Bayangkan saja, berapa pendapatan yang akan diperoleh investor jika panen jati itu 10 tahun yang akan datang, padahal bibit jati dari Solomon yang dibudidayakan oleh Sugiharto harganya cuma Rp 20.000 per pohon. Tanaman jati hasil kloningan Sugiharto bisa dipanen tujuh tahun. “Tapi kalau mau bagus, sebaiknya dipanen 10 tahun atau lebih,” katanya.
Maka beralasan jika George Soros, sebagaimana dikutip Sugiharto mengatakan, investasi terbaik di abad 20-an bukan lagi di saham, emas, maupun stock, tapi penanaman ulang yang mampu mensejahterakan bumi. Global warming adalah kesempatan emas untuk menanam pohon sekaligus berinvestasi. “Menanam jati itu sama dengan menyimpan uang kita di bank hidup,” kata Sugiharto.
Gantyo Koespradono