MENCARI SOSOK PEMIMPIN IDEAL BUAT INDONESIA

0 262
“ANAK-anak muda menuntut hak untuk memperoleh giliran memimpin. Sayang tidak ada penjelasan mengenai memimpin apa. Sesudah deklarasi yang disiarkan Metro TV malam itu, suasana senyap kembali, seperti tak pernah terjadi apa pun.”

Itulah sepenggal kalimat pembuka Mohamad Sobary dalam kolomnya “Asal Usul” di Kompas, Minggu, 2 November 2007. Tulisannya itu tidak urung membuat anak-anak muda di negeri ini — terutama para penggagas acara tersebut — sedikit kebakaran jenggot.

Secara agak atraktif, Metro TV lewat acaranya Newsdotcom, Minggu 28 Oktober 2007 (bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda) menyiarkan secara live pendeklarasian peristiwa tersebut yang oleh Effendi Gazali disebut sebagai “Sumpah Pemuda II”. Dalam acara yang berlangsung di aula gedung Balai Pustaka tersebut para pemuda dari berbagai elemen menyatakan tekadnya untuk memimpin bangsa ini. Ada kesan, mereka tidak lagi percaya dengan kepemimpinan bangsa ini yang berunsur orang-orang berusia di atas 50 tahun yang tidak menghasilkan prestasi apa-apa.

Melanjutkan opininya, Mohamad Sobary menulis, generasi muda, harapan bangsa, ternyata juga tak punya konsep tentang kepemimpinan, terobosan terhadap krisis, dan jawaban tentang ke-Indonesia-an masa depan. Apa yang mereka maksud memimpin? Sudah begitu banyak anak muda menjadi anggota DPR, tetapi kekuasaan membuat mereka terbius dan kesudahannya hanya sibuk memperkaya diri.

Ada pula di antara mereka yang menjadi menteri, tetapi tak tampak hal yang mencolok mata. Misalnya, minimal, hidup sederhana, memahami kesusahan rakyat, memiliki empati dan sikap populis, serta tidak memewahkan diri. Pekerjaan semudah ini saja tak bisa dipenuhi. Apalagi diminta berprestasi. Lalu, siapa anak muda yang merasa siap dan menganggap sudah tiba waktunya memimpin ini?

Kalau mereka datang dari kalangan yang sudah disebut di atas, daya tarik apa yang hendak ditawarkan kepada publik? Mohamad Sobary bertanya. Rakyat sudah bosan melihat “wayang” politik yang pemain-pemainnya sudah kehilangan inspirasi dan daya juang. Kita tak lagi memiliki tokoh politik yang agak sedikit otentik. Kita tak punya tokoh yang patut disebut pejuang atau patriot.

Kang Sobary di akhir tulisannya mengatakan: “Saya tak peduli dianggap muda apa tua, saya berpihak kepada mereka yang muda dan bergolak. Tetapi, terhadap anak muda yang hanya meminta—tanpa konsep, tanpa kesiapan –, saya merasa betapa jauh jarak kita sekarang dengan generasi Bung Karno dan Bung Hatta. Kita merosot di titik mengenaskan. Zaman memang sudah berubah. Tetapi, dalam perubahan itu haruskah kita tak berpikir melainkan hanya mengharap sambil menunggu kemurahan alam yang akan memberi yang muda momentum emas untuk memimpin? Apa yang mau dipimpin kalau anak muda hanya siap untuk membacakan sebuah deklarasi?

Benarkah anak-anak muda tidak punya konsep dan hanya menunggu kemurahan alam untuk menjadi pemimpin? Mereka jelas menolak. “Kami punya konsep dan konsep ini sudah kami jalankan. Hanya saja untuk merealisasikannya, kami membutuhkan bantuan dari berbagai pihak,” kata Djatmiko Wibowo, salah seorang deklarator kepada saya, Kamis (6 Desember 2007).

Djatmiko adalah anggota Pergerakan Indonesia. Di sini dia sebagai bendahara. Djatmiko berkawan baik dengan Sukardi Rinakit dan ekonom Faisal Basri. Banyak ‘jabatan’ yang disandangnya. Selain di LSM itu, dia juga menjabat sebagai koordinator Program Klinik UKM yang mengemban misi memberdayakan para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM), mulai dari permodalan hingga pemasaran. Di Pergerakan Kaum Muda Indonesia, dia duduk di Dewan Eksekutif sebagai bendahara.

Kepada saya dia mengungkapkan, bersama Faisal Basri, timnya telah membentuk konsep atau blue print Indonesia ke depan seperti apa, baik menyangkut bidang pendidikan, pertanian, sosial budaya, dan sebagainya. “Kami bahkan telah menyiapkan semacam pemerintahan swasta dengan melakukan uji coba di beberapa kabupaten bekerja sama dengan sejumlah bupati,” katanya berapi-api.

Maju tidaknya sebuah negara, menurut dia, tergantung dari pemimpin dan model kepemimpinan yang dijalankan. Sayangnya, kata Djatmiko, sekarang ini Indonesia belum punya pemimpin yang kreatif yang mampu menembus kebuntuan-kebuntuan yang saat ini dihadapi bangsa. Dalam sebuah tulisannya yang dikirimkan kepada saya lewat e-mail, dia mengatakan: “Sudahlah, saatnya kita mencari yang muda, tapi tidak sekadar muda. Juga bukan sekadar jatah, tapi pemimpin muda yang mampu menggali ideologi dan akar budaya serta cerdas mengelola sumber daya, demi kejayaan bangsanya.”

Dalam tulisannya yang lain, Djatmiko mengungkapkan, selama hampir 10 tahun masa reformasi — katanya tata kehidupan bernegara telah diatur ulang — kita belum juga merasakan secara signifikan peranan negara dalam kehidupan berbangsa. Kita masih saksikan anak bangsa berperang dan saling membunuh, pengsungsi lumpur Lapindo masih terkatung–katung belum jelas nasibnya, preman–preman masih merajalela, dan yang lebih tragis makin banyak pemimpin yang menghisap kekayaan negara.

Apakah dengan tampilnya generasi muda yang memimpin negara ini, otomatis berbagai persoalan bangsa bakal rampung dengan sendirinya? Tidak ada yang bisa menjamin, termasuk barangkali anak-anak muda sendiri. Anak muda memang perlu diberi kesempatan untuk unjuk kebolehan dan prestasi. Saatnya mereka diberi kebebasan bukan untuk menebar pesona, tapi tebar prestasi dan karya nyata. Seperti halnya, Bung Karno dan Bung Hatta, mereka menebar prestasi dulu, baru kemudian rakyat terpesona dan kemudian memilihnya menjadi pemimpin bangsa. Terlepas yang bersangkutan memiliki kekurangan di akhir masa jabatannya, pada awalnya Pak Harto pun menebar prestasi dan karya nyata, lalu rakyat lewat MPR memilihnya sebagai presiden.*

Gantyo Koespradono

Leave A Reply

Your email address will not be published.