HIKMAH DI BALIK ULAH MALAYSIA

3 420

BANGSA Indonesia sangat kreatif dalam menciptakan sesuatu. Namun fakta tak terbantahkan, Malaysia-lah bangsa yang kreatif memanfaatkan kreativitas orang Indonesia, sehingga bernilai ekonomi tinggi. Persoalannya, sampai kapan?


“Mencuri” kreativitas anak bangsa Tari Pendet dan menjadikannya sebagai iklan pariwisata, Malaysia berpotensi meraup ringgit atau dolar yang kalau dirupiahkan bisa mencapai Rp 110 triliun.

Nilai itu berarti sama dengan jumlah pendapatan domestik bruto (PDB) nasional dari industri kreatif pada tahun 2002-2006 yang rata-rata mencapai Rp 100 triliun.

Kita tersentak dan baru menyadari bahwa kita mempunyai kekayaan budaya dan sejenisnya tatkala orang lain “mengganggu” apa yang kita miliki.

Meskipun iklan promosi wisata Malaysia yang berilustrasi Tari Pendet telah dicabut dan tidak lagi ditayangkan di Discovery Channel, fakta tidak bisa dimungkiri bahwa negara tetangga itu punya kebiasaan buruk dan “kreatif” mengklaim karya cipta milik bangsa Indonesia.

Sebelum mencuri Tari Pendet, Malaysia pada Juli 2007 mengklaim musik khas Jawa Barat Angklung sebagai miliknya dengan sebutan “music bamboo malay.”

Masih di tahun yang sama, tepatnya bulan September, lagu Jali-Jali yang asli Betawi diubah berversi Melayu, dan disebut-sebut berasal dari Langkawi.

Sebulan kemudian (Oktober), ulah Malaysia kembali mengusik hak kekayaan intelektual (HKI) milik bangsa Indonesia, karena hak paten batik telah berada di tangan mereka.

Tak puas dengan batik, wayang kulit yang jelas-jelas menjadi pertunjukan khas masyarakat Indonesia, khususnya yang berasal dari Jawa juga diklaim Malaysia sebagai miliknya. Pada 4 Oktober 2007, Menteri Kebudayaan Malaysia Rais Yatim mengklaim bahwa wayang kulit tidak ada kaitannya dengan Indonesia, tetapi berasal dari tradisi Hinduisme.

Malaysia dengan “kreativitasnya” kembali membuat rasa kebangsaan kita terusik. Pasalnya, lagu Rasa Sayange (Maluku) digunakan Departemen Pariwisata Malaysia untuk mempromosikan objek wisata mereka. Menteri Pariwisata Adnan Tengku Mansor berkeras bahwa Rasa Sayange merupakan lagu kepulauan Nusantara, termasuk Malaysia.

Ah, lagi-lagi Malaysia. Pada 25 Oktober 2007, lagu Indiang Sungai Garinggiang (Sumatera Barat) diklaim Malaysia dalam acara forum Asia Festival 2007 di Tokyo.

Pada November 2007, Reog Ponorogo yang sangat khas Jawa Timur-an itu juga diklaim sebagai milik Malaysia. Setelah kita ribut, Dubes Malaysia Zainal Abidin akhirnya mengakui Reog Ponorogo berasal dari Indonesia. Sedangkan kesenian serupa yang ada di Johor dan Selangor dikenal sebagai Tari Barongan.

Sebelum ribut-ribut soal Tari Pendet, pada April 2009 di acara Enigmatic, Malaysia, keris, senjata khas kerajaan Jawa itu juga diklaim sebagai senjata khas kerajaan Melayu dan memiliki nilai tinggi dalam sejarah negara Malaysia.

Sah-sah saja kita sewot dan marah kepada Malaysia yang sangat proaktif dan “kreatif” mengklaim HKI milik bangsa Indonesia. Namun sewot, apalagi amuk, sampai kapan pun tetap tidak menyelesaikan masalah. Ada pelajaran yang sangat berharga dari apa yang dilakukan Malaysia, yaitu munculnya kesadaran bahwa kita sesungguhnya kaya, dan jika kekayaan ini tidak kita pedulikan, pihak lain yang akan memanfaatkan. Sesuatu yang selama kita anggap tidak bernilai, dan jika kita kelola dan kita hargai sebagaimana mestinya, ternyata bisa mendatangkan nilai ekonomi yang tinggi.

Sayang memang, kita tidak terlalu bangga dengan karya cipta agung anak bangsa sendiri. Coba perhatikan iklan-iklan produk dalam negeri di televisi, berapa banyak ilustrasi musiknya yang asli buatan anak-anak negeri? Coba amati musik pengantar (jingle) program acara televisi, adakah kreativitas anak-anak Indonesia? Rasanya tidak banyak. Padahal sesungguhnya kita punya kemampuan untuk itu. Kita selama ini terlalu terpukau bahwa segala sesuatu yang berbau “barat” lebih berbobot dan bernilai jual tinggi.


Kreativitas Nenek Moyang

Di luar soal-soal di atas, Indonesia mempunyai produk kreatif yang juga tak kalah hebat dengan produk kreatif di bidang musik, teknologi, budaya dan sebagainya. Produk kreatif ini yang menciptakan adalah nenek moyang kita, yaitu beragam jenis masakan dan makanan.

Tak terhitung betapa banyak nama makanan khas Indonesia yang berasal dari daerah. Ada lodeh, rendang, rawon, soto, kare ayam, oblok-oblok, karedok, gado-gado, garang asam, ketupat sayur, opor, bubur ayam, ketoprak, laksa, dan entah apa lagi.

Ingat semua itu adalah produk asli kreativitas bangsa Indonesia. Jangan sampai kita lengah, sehingga Malaysia di kemudian hari “memakan” hak cipta produk kuliner nenek moyang kita.

Colonel Sanders punya ayam goreng Kentucky yang membuat bangsa Amerika kaya. Kreativitas Bill Gates, selain membuat dirinya kaya, juga mengharumkan bangsa Amerika. Mereka kaya karena sadar betul betapa pentingnya sebuah temuan (HKI).

HKI jika sedari awal sudah dipahami sangat penting, terbuki memang memberikan nilai ekonomi buat sang empunya. Firmansyah Budi Prasetyo adalah contohnya. Lulusan Fakultas Hukum, Universitas Gajah Mada ini menemukan Tela Krezz, dan dari temuannya ini dia sekarang kaya raya. Omsetnya per bulan mencapai Rp 2 miliar.

Apa yang dilakukan Prasetyo pantas kita jadikan acuan bagaimana memperlakukan HKI. Ujung-ujungnya Tela Krezz telah memilki lebih dari 300 gerai. Bisnisnya kebal dari krisis karena bahan bakunya tidak impor. Usaha kecil seperti ini terbukti mampu menyangga perut rakyat saat krisis ekonomi menimpa bangsa ini pada 1998.

Pemerintah melalui Inpres No 6 Tahun 2009 telah mencanangkan tahun 2010-2025 sebagai tahun ekonomi kreatif. Belajar dari bangsa-bangsa lain — juga dari ulah Malaysia — kreativitas terbukti mampu membangkitkan perekonomian sebuah negara.

Lewat Inpres itu, Presiden antara lain memerintahkan Menteri Perdagangan agar mendorong interaksi intensif antara bisnis, pemerintah, cendekiawan, budayawan dan seniman, dengan lembaga pembiayaan dalam mengembangkan skenario pembiayaan yang efektif bagi industri kreatif.

Kita tunggu, Inpres tersebut dilaksanakan tidak saja secara konsisten, tapi juga konsekuen, sehingga industri kreatif, orang-orang kreatif di negeri ini dapat memberikan sumbangsihnya bagi pertumbuhan ekonomi negara.***
Foto: catatanpetualang.wordpress.com

3 Comments
  1. my blog 4 famouser dot com says

    yup Allah masih sayang pada kita sehingga karya kita tak mampu diambil malaysia.

    yup, kita haruz kreatif. jangan sepelekan yang kecil. buang gengsi. ayo maju Indonesia.

    Allahu Akbar!

  2. tere616.blogspot.com says

    Sayangnya kita selalu terlambat menyadari hal itu Mas, selalu, dan kita tidak pernah belajar dari keterlambatan kita.

    Inpres ? Saya koq tidak melihat itu sebagai jalan keluar ya ?

    Masih ingat peraturan mengenai ekspor rotan mentah yang dikeluarkan oleh Marie Pangestu ?

    Rotan itu adalah salah satu aset kita, tapi justru rotan mentah itulah, aset kita yang berharga malah dihamburkan ke luar, sehingga negara lain dapat mengambil manfaatnya dari kita.

    Atau masalah lagu Indonesia Raya di rapat paripurna lalu, entah memang lupa atau disengaja.

    Jadi menurut saya, masalah utamanya bukan Inpres, tetapi "sadar diri"

  3. tere616.blogspot.com says

    Sayangnya kita selalu terlambat menyadari hal itu Mas, selalu, dan kita tidak pernah belajar dari keterlambatan kita.

    Inpres ? Saya koq tidak melihat itu sebagai jalan keluar ya ?

    Masih ingat peraturan mengenai ekspor rotan mentah yang dikeluarkan oleh Marie Pangestu ?

    Rotan itu adalah salah satu aset kita, tapi justru rotan mentah itulah, aset kita yang berharga malah dihamburkan ke luar, sehingga negara lain dapat mengambil manfaatnya dari kita.

    Atau masalah lagu Indonesia Raya di rapat paripurna lalu, entah memang lupa atau disengaja.

    Jadi menurut saya, masalah utamanya bukan Inpres, tetapi "sadar diri"

Leave A Reply

Your email address will not be published.