BAHASA INDONESIA JURNALISTIK: ASTAGHFIRULLAH!

0 254

“ASTAGHFIRULLAH al azim,” desah mahasiswa Universitas Esa Unggul begitu menemukan kata yang tepat untuk menggantikan kata “tak lazim” yang digunakannya dalam menulis karya jurnalistik.

Jam kuliah penulisan berita hari itu (Kamis 10 November 2011) telah berakhir. Selagi saya bersia-siap meninggalkan kelas, seorang mahasiswi menemui saya. Dia “naik banding” kepada saya, sebab dia merasa sudah menulis benar, tapi disalahkan oleh teman-temannya.

Hari itu saya memang meminta mahasiswa saling membaca tugas menulis “karya jurnalistik” yang telah mereka buat. Cara ini saya maksudkan agar para mahasiswa bisa belajar dari kesalahan yang dilakukan teman-temannya.

Setelah mereka membaca naskah “karya tulis” sang teman secara bergantian, saya bertanya: “Apakah ada di antara kalian yang menemukan naskah yang bebas dari kesalahan?”

Tak satu pun mahasiswa yang bicara atau angkat tangan. Itu berarti semua mahasiswa melakukan kesalahan dalam menulis, termasuk mahasiswi yang menemui saya setelah kuliah berakhir.

Lebih dari 15 menit saya memancing sang mahasiswi berjilbab warna pink itu menemukan kata yang tepat untuk menggantikan kata-kata tidak pas yang dipakainya dalam menulis “berita” (saya sengaja memakai tanda kutip, sebab yang ditulis mahasiswa bukan berita, tapi opini/pendapat pribadi).

Di dalam naskahnya, sang mahasiswi menulis kalimat seperti ini: ” …untuk pertama kalinya ujian tengah semester yang saya rasakan …”

Kalimat itu digarisbawahi oleh teman yang membaca karyanya. “Memangnya apa yang salah dengan kalimat tersebut, Pak,” dia bertanya.

Saya lalu menunjuk kata “rasakan” yang ia tulis. “Seperti apa toh rasanya ujian tengah semester, manis atau pahit?”

Dia tertawa. “Terus yang benar apa, Pak?”

Saya tidak menjawab pertanyaannya. Saya memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk menemukan sendiri kata yang tepat untuk menggantikan kata “rasakan”.

Kata-kata “melaksanakan”, “alami”, “lakukan” keluar dari mulutnya. Kata-kata itu tetap belum bisa dijadikan solusi untuk menggantikan kata “rasakan”.

“Sepertinya sudah tidak ada lagi deh, Pak,” katanya seolah mau menyerah.

“Tidak! Cari terus sampai dapat!” kata saya. Saya lalu memancing dengan kalimat: “Saya ……. seminar. Saya ….. kuliah pagi ini. Saya baru pertama kali ….. memilih. Coba kamu isi titi-titik itu dengan kata apa?”

Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit berlalu, sang mahasiswi belum juga menemukan jawaban. Saya pancing lagi dengan kalimat: “Dia …. kontes miss universe.”

Setelah mulutnya komat kamit menyebut kata-kata, akhirnya terucaplah kata “ikut”. Dia lalu menyempurnakan kalimatnya sendiri: ” …untuk pertama kalinya ujian tengah semester yang saya ikuti …”

“Nah, itu baru tepat,” kata saya.

“Astaghfirullah al azim,” katanya. Dia girang akhirnya bisa menemukan kata tepat.

****

PEKAN sebelumnya, saya minta mahasiswa menuangkan apa yang mereka pikirkan ke dalam sebuah karya tulis. Setelah dikoreksi rekan-rekannya sendiri, ya itu tadi, tak satu pun yang bebas dari kesalahan.

Saya lalu minta mereka memilih topik menarik yang ditulis para mahasiswa, dan terpilihlah topik yang menurut mereka lumayan menarik. Saya kutip sebagian seperti ini:

1. Bahkan hari libur pun ia tetap bekerja di perusahaan yang ia dirikan. Seringkali saya menasihatinya untuk beristirahat, namun ia menghiraukan-nya. Ia selalu merasa ia kuat menjalaninya namun pada akhirnya ia pun sakit juga. Saat sakitpun ia akan tetap pergi bekerja, entah bagaimana lagi caranya untuk menasihatinya agar tidak kerja terlalu keras.

(Catatan: Kalimat di atas ditulis seorang mahasiswi yang “resah” melihat sang ibu gigih bekerja tak mengenal waktu demi menopang ekonomi keluarga).

2. Abdul Somad, 32 tahun adalah seorang pawang hujan. Tutur katanya gagap berlogat sunda. Lelaki yang berasal dari Dadap Tangerang ini menikah tahun 2005 dengan wanita bernama Munawaroh yang sampai sekarang belum dikaruniai anak.

(Catatan: Kalimat di atas ditulis seorang mahasiswa setelah mewawancarai Abdul Somad yang berprofesi sebagai pawang hujan. Yang bersangkutan tidak akurat dalam menulis kata “sunda” (dengan “s” kecil). Ada kalimat yang rancu: ” … menikah dengan wanita bernama Munawaroh yang sampai sekarang belum dikaruniai anak.” Munawaroh seorang janda?)

3. Sabtu 5 November 2011, hari dimana aku berpisah dengan kekasihku. Masa pacaran yang sudah terjalin sejak di SMA membuatku sulit untuk melupakannya. Kami berpisah bukan karena sudah tidak saling mencintai atau mengasihi lagi, tetapi orangtuaku yang tidak menyetujui hubungan kami. Perbedaan agamalah yang mengharuskan kami mengakhiri semuanya.

(Catatan: Kalimat di atas ditulis seorang mahasiswi. Kalimat lumayan mengalir, tapi tetap ada pelanggaran dalam tata cara berbahasa).

4. Kamis 3 November 2011 saya terpikir berbagai macam masalah, tetapi saat ini saya sangat bingung karena masalah keuangan yang menipis. Uang makan saya yang biasanya pas untuk makan sehari-hari dalam satu minggu tapi sudah mulai habis sebelum waktunya. Tanpa pikir panjang lagi saya membeli hal tersebut. Hal tersebut adalah seperti tato, member, member fitness, suplemen tubuh dan banyak lagi.

(Catatan: Kalimat di atas ditulis mahasiswa. Pertanyaan: yang menipis itu uang atau masalah keuangan? Membeli “hal”, barang apa ini?)

5. Kuliah adalah salah satu hal terpenting bagi saya dalam menuntut ilmu. Dengan kuliah kita bisa mendapatkan gelar dan juga pekerjaan yang bisa diperhitungkan. Tetapi saat ini saya sedang disibukkan oleh pekerjaan di bidang entertainment. Suatu pekerjaan apabila dilakukan dengan kebersamaan memang merepotkan.

(Catatan: Kalimat di atas ditulis seorang mahasiswi yang juga penyanyi. Pertanyaan: apa sih “pekerjaan yang bisa diperhitungkan?” Apa sih yang dimaksud dengan “kebersamaan memang merepotkan?”)

“Sekarang silakan revisi kembali tulisan Anda dan kumpulkan pada saat ujian tengah semester pekan depan. Tulis juga profil atau sosok orang tua Anda,” kata saya mengakhiri kuliah.***

Leave A Reply

Your email address will not be published.