Catatan Gantyo

Keliling Jakarta Tanpa Mobil Pribadi

0 228


PERSOALAN kemacetan lalu lintas di Jakarta sampai kapan pun tak bisa diatasi jika sebagian besar warga Jabodetabek berprinsip “naik mobil pribadi lebih enak dan bergengsi daripada naik angkutan umum.”
Berganti-ganti gubernur, berbagai kebijakan  telah pula digulirkan untuk mengatasi penyakit akut kota Jakarta (kemacetan lalu lintas). Hasilnya? Gagal. Semasa Gubernur Ali Sadikin, jalan-jalan telah dilebarkan. Hasilnya, kemacetan masih saja terjadi di mana-mana.

Bus Agramas jurusan Tangerang-Bekasi Timur, keluar pintu tol Pasar Minggu-Depok
Semasa Gubernur Tjokropranolo, Wiyogo, dan Surjadi Sudirdja, angkutan umum (bus) juga sudah dibenahi. Hasilnya? Warga Jakarta dan sekitarnya tetap ogah naik bus. Alasannya, naik angkutan umum tidak aman, copet beroperasi di mana-mana. Warga kota yang telah merasa mampu, berbondong-bondong membeli mobil bekas atau baru, ada yang kontan, tapi banyak pula yang kredit. Jalanan ibukota semakin sumpek. Kemacetan lalu lintas tak juga tereliminasi.
Saat Sutijoso menjadi gubernur, dia meninggalkan kebijakan lumayan bagus: busway dengan bus Transjakarta, juga ada kebijakan three in one, yang diteruskan penggantinya, Fauzi Bowo.
Tapi, lagi-lagi, kebijakan transportasi dan lalu lintas itu juga gagal “memaksa” pemilik kendaraan pribadi beralih ke angkutan umum. Di jalur-jalur tertentu, naik Transjakarta seperti tayangan uji nyali di televisi, ngomongin hantu, tapi hantunya nggak datang-datang. Kalaupun si hantu datang, sang penonton sudah lelah, bosan dan terpaksa ganti chanel.
Begitu juga naik Transjakarta. Karena jumlah armadanya terbatas, penumpang terpaksa menunggu bisa lebih dari satu jam. Tak percaya? Silakan tunggu Transjakarta di halte Harmoni ke Kalideres pada pukul 15.00 ke atas. Dijamin, Anda bakal kesal, karena bus yang ditunggu-tunggu, lama sekali munculnya.
Idealnya, naik Transjakarta melalui busway, bisa cepat sampai di tujuan. Namun, begitu kita sudah berada di dalam Transjakarta, di tengah jalan masih dihadang kemacetan lalu lintas, sebab jalur busway disesaki sepeda motor yang pengendaranya tidak tahu diri. Dalam jam-jam tertentu, banyak mobil roda empat juga numpang lewat di jalur khusus Transjakarta. 
Suasana di dalam bus APTB.
Kebijakan three in one semasa Sutijoso dan berlanjut semasa Fauzi Bowo dan masih diberlakukan saat Joko Widodo menjadi gubernur, juga tidak bisa memberikan solusi menjadikan Jakarta bebas macet. Warga Jakarta dan sekitarnya (pemilik mobil pribadi), tetap saja pintar memainkan celah, memanfaatkan joki dengan dalih, “membantu orang tidak mampu”; atau menghentikan mobilnya di ujung jalan bebas three in one pada saat jam nanggung beberapa menit sebelum jam three in one berakhir.
Kebijakan three in one yang diharapkan bisa mengurangi jumlah mobil pribadi di jalan raya, ternyata nol besar, gagal. Jakarta tetap macet. Warga Jabodetabek tetap berbondong-bondong membeli mobil dan sepeda motor. Maka, jangan heran kalau pada Januari 2013 lalu,  jumlah mobil yang masuk ke Jakarta dan numplek di jalan raya mencapai 920.000 buah.
Fauzi Bowo saat masih menjabat gubernur pernah menghitung-hitung, pertumbuhan kendaraan pribadi di Jakarta dalam sehari mencapai 1.500 unit (1.200 unit sepeda motor dan 300 unit mobil). “Setiap hari ada sekitar 800.000 kendaraan pribadi yang masuk ke Jakarta dari daerah sekitarnya. Kendaraan itu masuk di pagi hari dan kembali sore hari, sehingga kemacetan baru terurai di malam hari,” katanya sebagaimana dikutip Rakyat Merdeka Online.
Kemacetan di Jakarta jelas tidak dapat dihindari, terutama pada titik-titik persimpangan, baik di jalan-jalan protokol, maupun di jalan lingkungan. Semakin hari, kemacetan di Jakarta semakin parah. Keluar garasi rumah. Mobil sudah dihadang kemacetan lalu lintas. Menurut sebuah penelitian,  kemacetan tersebut membuat masyarakat Jakarta mengalami kerugian hingga Rp 48 triliun per tahun (Detik News, 26 November 2008).
Tahun-tahun sebelumnya, puncak kemacetan lazimnya terjadi pada jam sibuk di pagi hari (sekitar pukul 06.30-09.00 WIB) dan sore hari (sekitar pukul 16.30-19.30 WIB). Namun, sekarang ini jam kemacetan lalu lintas cenderung maju dan mundur. Artinya jam mulai macet tidak lagi pukul 06.30, tapi maju pukul 05.30), sementara jam akhir kemacetan yang biasanya pukul 19.30 mundur menjadi pukul 21.00, atau bahkan pukul 22.00-23.00!
Pemerintahan Jokowi sempat akan menggantikan three in one dengan nomor ganjil genap untuk mengeliminasi kemacetan lalu lintas. Namun, kebijakan yang rencananya akan mulai diberlakukan pada awal Maret 2013 lalu batal dilaksanakan, karena dianggap tidak efektif, dan sangat mungkin hasilnya juga akan nol besar.
Kebijakan lain diambil, yaitu memberlakukan contra flow (melawan arus lalu lintas) pada jam berangkat kantor di ruas tol dalam kota. Hasilnya? Juga nol besar! Saat contra flow diujicobakan di ruas tol Rawamangun-Cawang, kemacetan lalu lintas semakin menjadi-jadi di jalan bebas hambatan tersebut. Para pengemudi mobil pribadi memaki-maki petugas, begitu informasi yang saya peroleh dari Koran Tempo.
Salahkah pemangku pembuat kebijakan? Tidak! Yang salah adalah warga Jakarta dan sekitarnya. Sudah tahu, setiap hari lalu lintas Jakarta macet, tapi tidak kapok-kapok masuk di dalamnya.
Benar, saya juga ikut “menyumbang” kemacetan lalu lintas di Jakarta saat saya menggunakan mobil pribadi ke mana-mana. Mobil sebesar Avanza saya naiki sendirian. Lengkap sudah egois saya, bukan?
Tapi, sudah dua-tiga bulan ini saya sadar. Kontribusi saya memacetkan lalu lintas Jakarta, saya kurangi. Sekarang, saya ke Jakarta dari Tangerang menggunakan angkutan umum, antara lain Transjakarta. Kebetulan di Tangerang (terminal Poris Plawad) yang lokasinya tidak jauh dari rumah saya, sejak beberapa bulan lalu, sudah ada bus angkutan perbatasan terintegrasi bus transjakarta (APTB) yang siap mengantarkan warga Tangerang ke Terminal Kalideres hingga shelter Mal Taman Anggrek.
Dengan membeli karcis terusan Rp 6.000, saya bisa keliling Jakarta. Jika kebetulan ada keperluan di kawasan Jl Thamrin-Sudirman dan sekitarnya, saya sekarang memanfaatkan jasa angkutan ini (berikut Transjakarta), meskipun saat transit di shelter Harmoni, saya masih mengalami kesulitan saat menunggu bus berikutnya yang akan mengantarkan saya ke tujuan, sebab jumlah armadanya masih terbatas. Begitu pula armada Transjakarta yang akan membawa saya pulang menuju Terminal Kalideres, saya harus menunggu hingga lebih dari satu jam. Tapi, saya yakin, di masa pemerintahan Jokowi-Basuki, armada bus Transjakarta untuk semua rute pasti akan ditambah.
Ke kawasan Lenteng Agung, pada saat saya akan mengajar di kampus Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, sudah setengah tahun ini, saya memanfaatkan bus Agramas tujuan Tangerang-Bekasi Timur. Bus keluar di pintu tol Pasar Minggu-Depok. Saya cukup membayar Rp 6.500. Setelah itu menyambung naik angkot bertarif Rp 2.000 ke kampus IISIP. Total, saya cukup mengeluarkan uang Rp 8.500. Pergi pulang Rp  17.000
Bandingkan dengan ketika saya naik mobil pribadi. Berapa biaya yang harus saya keluarkan? Melewati tol Serpong-JORR, saya harus bayar tol di pintu Bintaro Rp 7.000, lalu bayar lagi saat masuk tol lingkar luar (Jl TB Simatupang) Rp 7.500. Sekali berangkat Rp 14.500. Biaya pergi pulang (hanya untuk bayar tol) Rp 29.000. Ini belum ditambah dengan BBM Rp 50.000. Jadi total biaya perjalanan ke kampus menggunakan mobil pribadi Rp 50.000 (bensin) + Rp 29.000 (ongkos tol) = Rp 79.000. Jika ditambah dengan biaya stres dan lelah menyetir, nilainya tentu lebih dari Rp 79.000, sementara di bus Agramas yang ber-AC, saya bisa tidur lelap.
Sudah dua bulan ini saya berkantor di Jl RP Suroso (Jl Gondangdia Lama) Jakarta Pusat. Perjalanan ke kantor – juga pulang ke Tangerang –, saya memanfaatkan jasa kereta api listrik Commuter. Naik KRL ini, saya cukup membayar Rp 7.500. 
Suasana di dalam KRL Commuter

                                                            
Jangan bayangkan KRL yang selalu diributkan itu, karena banyak penumpang yang duduk di atas gerbong, suasana di dalam gerbong KRL Commuter cukup kondusif. AC berfungsi dengan baik, lantai KA relatif bersih, sebab petugas cleaning service menyapu lantai setiap saat, baik saat KA berhenti lama, maupun saat KA berjalan.

Memanfaatkan KRL Commuter, kita punya banyak pilihan, mau ke mana saja bisa, bahkan sampai ke Bekasi dan Bogor. Juga ke kawasan elite Jakarta (Jl Thamrin-Sudirman). Anda bisa turun di Stasiun Sudirman atau Stasiun Karet, setelah itu silakan lanjutkan dengan berjalan kaki atau naik angkutan umum lain ke tempat tujuan.
Sejak 1 April 2013, frekuensi perjalanan KRL Commuter yang mengelilingi Jakarta dan sekitarnya ditambah. Sungguh, penambahan jadwal ini sangat menguntungkan pengguna jasa angkutan umum KA.
Namun, kebijakan itu dikecam para pengguna mobil pribadi, karena berdampak pada kemacetan lalu lintas yang semakin parah, terutama di jalan-jalan yang ada perlintasan kereta apinya. “Karena pintu kereta api sering buka tutup, kemacetan tambah parah,” kata seorang warga Jakarta sebagaimana disiarkan televisi berita. Saya melihat warga yang diwawancarai itu naik mobil (bukan sedan) sendirian.
Dalam hati saya berkata: “Kalau nggak mau macet, jangan naik mobil sendirian dong!”
Saya sekarang sudah bisa menikmati asyiknya keliling Jakarta tanpa mobil pribadi. Bagaimana dengan Anda? Tak ada salahnya mencoba.***   
  

Leave A Reply

Your email address will not be published.