Catatan Gantyo

RUU Pilkada, Surat Terbuka untuk SBY

0 258
Salam sejahtera. Bapak Susilo Bambang Yudhoyono yang saya hormati.
Izinkan saya memperkenalkan diri. Saya adalah warga negara Indonesia yang memilih Bapak sebagai presiden pada pemilu presiden tahun 2004 dan 2009. Tentunya, saya juga memilih partai yang Bapak pimpin, sebab pada saat itu saya menduga Partai Demokrat adalah partai masa depan yang sampai kapan pun tidak akan mengkhianati suara rakyat, apalagi yang para kadernya gemar mencuri uang rakyat.
Saya memilih Bapak sebagai presiden dua kali, sebab saya merindukan Indonesia dipimpin seorang presiden yang berlatar belakang militer yang tegas dan gagah berani. Saya berasumsi, pemimpin berlatar belakang militer lebih tegas daripada presiden yang asal usulnya dari sipil. Mengapa? Saya berpandangan pasca-Soekarno, tiga presiden berlatar belakang sipil, gagal (maaf) memimpin Indonesia.
Jujur, Pak, saya tidak pernah menyesal memilih Bapak, meskipun ada beberapa teman yang menertawakan saya atas pilihan politik saya. Saya selalu menutup telinga dan hati saya saat teman-teman mengatakan bahwa Bapak bukanlah sosok presiden yang mumpuni dan tegas dalam mengambil keputusan. Jika ada kritik seperti ini, saya selalu membela Bapak, alasannya hanya Bapak-lah satu dari sedikit tokoh di negeri ini yang layak diteladani.
Oleh sebab itu, saya tidak akan bersikap seperti Indera Bekti yang menurunkan foto Bapak bersamanya ketika partai yang Bapak pimpin berpura-pura mendukung Pemilu Kepala Daerah secara langsung dan kader partai Bapak yang duduk di DPR melakukan aksi walk out dalam sidang paripurna DPR, Jumat (26/9), sehingga sahabat-sahabat Bapak yang masuk dalam kubu Koalisi Merah Putih bersorak gembira, karena sukses menggolkan ambisi berkuasa lewat UU Pemilu Kada melalui DPRD.
Tidak, Pak, saya tetap percaya kepada Bapak. Saya tetap menaruh rasa hormat kepada Bapak. Saya tetap percaya bahwa Bapak — seperti yang Bapak ungkapkan saat Bapak berada di AS — kecewa atas keputusan DPR bahwa ke depan rakyat tidak bisa lagi memilih pemimpinnya secara langsung, tapi harus lewat DPRD.
Bapak mengaku kecewa, sebab anak buah Bapak di DPR tidak menuruti perintah Bapak agar mereka mendukung pemilihan langsung. Bapak lantas prihatin. Saya percaya Bapak akan menindak mereka.
Dilatarbelakangi kenyataan itulah saya miris ketika mendengar kabar bahwa pasca-sidang DPR atas pengambilan keputusan RUU Pemilu Kada, rakyat yang Bapak pimpin memojokkan Bapak lewat media sosial (antara lain Twitter) bahwa Bapak licik, Bapak mirip Pontius Pilatus yang doyan cuci tangan, dan ungkapan negatif lainnya. Gara-gara kasus ini, hal negatif tentang Bapak pun jadi trending topic dunia melalui tagar “shameOnYouSBY” di Twitter.
Saya ikut sakit, Pak, mendengar kabar itu, olok-olok tentang Bapak begitu mendunia. Saya sedih, yang terbaca oleh masyarakat dunia bukan prestasi Bapak, tapi keburukan Bapak, apalagi masa kepemimpinan Bapak sebagai presiden tinggal menghitung hari. Saya khawatir berbagai “prestasi” Bapak, ibarat pepatah bagaikan panas setahun dihapus hujan sehari.
Saya percaya para anggota Fraksi Demokrat di DPR yang melakukan aksi walk out gara-gara usulan 10 syarat tambahan dalam RUU Pemilu Kada ditolak bukan dari rencana skenario Bapak. Karena itu, apa yang diputuskan DPR menyangkut RUU tersebut, sebagai seorang demokrat seperti Bapak, saya pikir – apa pun risikonya – harus saya terima dengan lapang dada.
Karena saya mendukung Bapak (apalagi Bapak “marah” dan “kecewa”) menyusul disetujuinya RUU tersebut, saya tidak menanggapi ketika ada organisasi yang mengajak menandatangani petisi agar menolak RUU yang telah disetujui menjadi UU tersebut. Silakan cek, Pak, saya juga tidak pernah menyerahkan fotokopi KTP untuk mendukung gerakan menolak Pemilu Kada lewat DPRD. Pun demikian, saya tidak sekali pun ikut-ikutan berdemontrasi di Bundaran HI atau berteriak-teriak protes di depan kantor Bapak (istana). 
Tidak, Pak! Pasalnya cara-cara seperti itu selain lelah, karena harus berpanas-panasan, berdemonstrasi bukan solusi menyelesaikan persoalan atau masalah di negeri ini. Buat saya, adalah lebih baik menulis surat seperti ini, meskipun saya yakin belum tentu surat terbuka ini sampai ke Bapak. Jika pun surat ini sampai ke Bapak, saya yakin, belum tentu Bapak baca, sebab selain saya, pasti ada ribuan orang melakukan hal yang sama menulis surat terbuka kepada Bapak dan Bapak abaikan. Tak apalah, di era keterbukaan seperti sekarang, lebih baik bersuara daripada diam, toh medium untuk menyalurkan suara terbuka demikian lebar. Dibaca oleh staf atau pendukung Bapak meskipun tidak sengaja, saya juga sudah senang, kok.
Pimpinan DPR sudah mengetuk palu sebagai bukti konstitusi bahwa RUU Pemilu Kada telah disetujui untuk Bapak sahkan menjadi UU. Saya mendengar Bapak tidak enak hati saat harus menandatangani UU tersebut setelah diberi nomor. Pasalnya, menurut pengakuan Bapak, Bapak tidak sreg dengan disahkannya RUU tersebut. Semoga Bapak jujur dengan suara hati Bapak.
Sampai sebegitu jauh, saya belum tahu, apakah Bapak sudah menandatangani UU tersebut. Sudahlah, Pak, tanda tangani saja UU tersebut. Itu adalah produk anak buah Bapak di DPR, baik yang ada di Partai Demokrat, maupun Koalisi Merah Putih. Jangan kecewakan mereka yang telah rela malu disorot kamera televisi saat mereka hingga dini hari membahas RUU itu. Kalau saya jadi mereka, sungguh, Pak, saya malu, karena rakyat menuding saya dan anak buah Bapak bodoh dan masyarakat mencap saya sebagai “penjahat politik” karena merampas hak rakyat.
Agar afdol, UU tersebut harus segera Bapak tanda tangani. Jangan tunda. Jika pun Bapak serius atau berpura-pura tidak mau menandatangani UU tersebut, bukankah apa yang Bapak lakukan sebagai pekerjaan yang sia-sia, sebab sesuai aturan, jika UU terebut tidak Bapak tandatangani, dalam tempo 30 hari, toh UU itu tetap akan berlaku? Jika Bapak tidak tanda tangan, saya yakin, Bapak akan dicap sebagai presiden yang tidak konsisten, atau presiden yang berpura-pura bersimpati kepada rakyat dalam rangka membangun pencitraan.
Bapak juga tidak perlu ikut-ikutan intervensi ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar lembaga hukum negara itu menolak keberadaan UU tersebut. Menurut saya rasanya aneh presiden kok mempersoalkan UU yang dihasilkannya sendiri. Bukankah UU tersebut merupakan usulan pemerintah lewat Kementerian Dalam Negeri? Biarlah MK tetap independen saat menyidangkan gugatan atas UU tersebut. Bapak tidak perlu “sok kecewa” jika nantinya MK menolak gugatan ormas-ormas dan parpol (antara lain Partai NasDem) yang mengajukan gugatan atas UU tersebut ke MK.
Ah, maaf, Pak, saya kok jadi menggurui Bapak. Secara pribadi – jika alasannya biaya politik terlalu mahal –, saya setuju Pemilu Kada yang 10 tahun ini dilakukan secara langsung memang menghabiskan biaya politik yang sangat mahal. Tapi jika pun kemudian ada niat untuk mengembalikan proses pemilihan kepala daerah melalui DPRD, menurut saya, belum waktunya dilakukan sekarang. Biarlah dampak negatif pemilihan secara langsung selama ini dikaji dulu melalui jalur akademis, bukan lewat jalur politis yang diwarnai kepentingan sesaat.
Rakyat, lewat pemilihan langsung, merindukan pemimpin seperti Jokowi, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), Aria Bima, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, dan masih banyak lagi. Rakyat belum rela memperoleh pemimpin yang bersumber dari partai-partai korup yang proses pemilihannya nantinya cuma terbatas di DPRD. Siapa yang bisa menjamin proses pemilihannya bebas politik uang?
Pak SBY yang saya hormati. Sekali lagi, saya tidak rela waktu yang tinggal hitungan  hari ini menjadi noda hitam buat Bapak. Berbuatlah sesuatu. Jujurlah segala sesuatu atas apa pun yang Bapak lakukan, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan bailout Bank Century. Jangan biarkan Bapak Boediono menjawab sendirian berbagai tudingan yang tidak bertanggung jawab. Rakyat kini semakin kritis. Mereka sangat tahu dan mampu menganalisis mengapa Bapak memilih Pak Boediono sebagai wakil presiden Bapak yang saat Bank Century merebak, beliau menjabat sebagai gubernur Bank Indonesia.
Sungguh, Pak, telinga saya ikut memerah karena informasi negatif tentang Bapak berseliweran di dunia maya dan perangkat komunikasi milik siapa pun menyusul “drama piawai” di DPR, Kamis (25/9) dan Jumat (26/9) lalu. Semua orang menuding Bapak sebagai dalang atas itu semua, sehingga ada yang memberikan ulasan bahwa Bapak adalah presiden terlicik dalam sejarah republik ini.
Ada pula yang mengatakan Bapak sebagai “Sang Big Yudas: Perusak Pemilu, Pembunuh Demokrasi.” Kejam sekali mereka, Pak! Mereka lalu membongkar masa lalu Bapak seperti berikut ini (semoga mereka ngawur):
  • Pada tahun 2004: Bapak diam saja ketika Presiden Megawati bertanya dalam sebuah sidang kabinet: “Apakah ada yg hendak mencalonkan presiden dan wakil presiden?” Waktu itu hanya Hamzah Haz dan Agum Gumelar yang berterus terang. Pada waktu itu tujuan Mega bertanya seperti itu adalah untuk mengatur pengisian menteri ad interim dan jadwal kampanye.

  • Masih pada 2004 Bapak mengaku dilarang mencalonkan sebagai presiden. Bapak juga mengaku dilarang mengikuti sidang kabinet. Bapak lantas mengaku dizalimi Megawati.

  • Pada 2005 Bapak tidak segera meneken peraturan pemerintah untuk melaksanakan Pilkada sebagaimana diatur dalam UU No. 32/2004. Setelah diteken, ternyata disusupkan kepentingan untuk mengacaukan daftar pemilih melalui konsep DP4. Maaf, Pak, saya tidak tahu apa itu konsep DP4.

  • Pada 2007 Bapak dituding merekrut teman-teman diskusi Bapak, yaitu lima profesor yang tidak paham pemilu dan politik untuk menyeleksi anggota KPU. Tim seleksi menggunakan instrumen psikotest untuk menyingkirkan Ramlan Surbakti dan Valina Singka (anggota KPU 2004), Progo Nurjaman (Sekjen KPU 1999) dan Hadar Gumay (pemantau pemilu) dari daftar calon. Pemilu 2009 ditangani oleh KPU yang tidak profesional, tidak kabapel, dan tidak independen. Pemilu 2009 kacau balau, tapi suara Partai Demokrat naik 300%, dan Bapak terpilih dalam satu putaran.

  • Pada 2008 Bapak disebut-sebut ngotot menggunakan proposional murni, meski konstruksi RUU Pemilu yang diusulkan Bapak tidak mengarah ke sana. Bapak kemudian mengabaikan usulan proposional tertutup dengan daftar calon disusun berdasarkan pemilihan internal partai. Kata mereka yang tidak senang dengan Bapak, Bapak sadar, partai Bapak akan mudah menang dengan merekrut figur populer (artis, anak-istri gubernur, dll) daripada menjual nama partai yang baru seumur jagung.

  • Tahun 2009 Bapak disebut-sebut melakukan “silent operation” untuk memenangkan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Belakangan ketahuan “silent operation” itu adalah bagi-bagi duit secara masif sampai-sampai para caleg Demokrat terpilih tidak tahu siapa yang bagi-bagi duit ke pemilih untuk memilih dirinya.

  • Tahun 2010 Bapak menolak usulan Komisi II DPR dan Kemendagri untuk memundurkan jadwal Pilkada 2010 ke 2011, dengan keyakinan bahwa popularitas partai dan diri Bapak pada Pemilu 2009 akan berbuah manis pada Pilkada 2010. Padahal tujuan Komisi II DPR dan Kemendagri memundurkan jadwal adalah untuk memperbaiki segala macam kelemahan dan kekurangan penyelengaraan pilkada 2005-2008.

  • Tahun 2012 Bapak disebut meminta Mendagri mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah melalui RUU Pilkada. Awalnya, RUU Pilkada mengusulkan agar guburnur dipilih langsung oleh rakyat, bupati/walikota dipilih oleh DPRD. Setelah mendapat tantangan fraksi-fraksi DPR, Mendagri berubah haluan: bupati/walikota dipilih langsung oleh rakyat, gubernur dipilih oleh DPRD.

  • Tahun 2014 Bapak menyatakan mendukung pilkada dipilih langsung oleh rakyat setelah mendapat kecaman dari berbagai kalangan. Tapi Bapak tidak menggunakan kewenangan Bapak untuk menghentikan pembahasan RUU Pilkada. Malah Bapak memerintahkan Partai Demokrat untuk walk out. 

Membaca “analisis” di atas, saya cuma bisa tertawa, terutama yang berkaitan dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden, sebab tanpa rekayasa Bapak pun, tanpa dibayar pun, saya memilih Partai Demokrat dan memilih Bapak sebagai presiden.
Sudahlah, Pak, lupakan tudingan-tudingan miring tersebut. Saya berharap sisa waktu yang tidak sampai sebulan ini, Bapak manfaatkan untuk berekonsiliasi dengan diri Bapak sendiri. 
Saya sebagai fans Bapak sangat memahami memimpin negeri yang demikian luas dengan jumlah penduduk yang hampir 250 juta disertai aneka rupa tuntutan tidaklah mudah. Juga soal perlakuan diskriminatif atas kelompok minoritas di negeri ini yang di masa pemerintahan Bapak tidak juga tuntas hanya gara-gara (semoga tidak) Bapak takut membubarkan ormas-ormas anarkistis yang doyan memelihara semangat ingin menang sendiri. Biarlah masalah itu diselesaikan Ahok, orang keturunan Tionghoa yang kebetulan beragama Kristen, orang sipil pula, tapi lebih tegas dari seorang militer.
Saya tetap berharap pergantian kepemimpinan antara Bapak dan presiden terpilih Joko Widodo berjalan mulus tanpa gejolak. Saya yakin, tanpa dukungan Bapak, presiden baru bisa memimpin Indonesia dan menjadikan negeri ini semakin sejahtera. Dengan demikian saya tetap respek kepada siapa pun yang dipercaya rakyat menjadi presiden.[]

Leave A Reply

Your email address will not be published.