Catatan Gantyo

Aksi Rakus DPR, Target: Jokowi Tumbang Dalam Dua Tahun

0 276
SAYA bukan pengamat politik, juga bukan politikus. Karena itu apa yang saya tulis di sini menyangkut “perang tanding” di DPR dan dampaknya, salah semua dan tidak akan pernah terjadi, termasuk perkiraan bahwa pemerintahan Jokowi hanya mampu bertahan cuma dua tahun. Jokowi akan “digulingkan” lewat gerakan seolah-olah konstitusional.

Selain kasus “sepakbola gajah”, masyarakat Indonesia hari-hari terakhir ini bingung dan tidak habis pikir mengapa para wakil mereka yang duduk di Senayan (DPR) berebut kekuasaan, sampai-sampai ada yang melakukan aksi menggulingkan meja dan memproklamasikan “pimpinan DPR tandingan.”

Pimpinan DPR versi Koalisi Indonesia Hebat
(Foto: Metrotvnews.com)
Safari damai yang dilakukan Jokowi ke para rivalnya belum lama ini rupanya belum berdampak positif bagi kehidupan politik di negeri ini. Guna mendinginkan situasi politik yang semakin memanas – panasnya melebihi temparatur langit Jakarta yang sudah tembus 38 derajat celcius – Jokowi rela membuang gengsi dan kehormatan sebagai presiden terpilih. Ia lantas bersilaturahmi menemui antara lain Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie dan Prabowo Subianto, pesaingnya dalam pemilihan presiden (pilpres).

Banyak orang menyimpulkan pertemuan Jokowi dengan “lawan politiknya” dalam pilpres tempo hari sebagai antiklimaks, dan bangsa ini ibarat membaca buku, sudah menutup lembaran-lembarannya yang penuh dengan coretan. 

Saat MPR melantik Jokowi sebagai presiden, rival politik Jokowi juga hadir di Senayan. Begitu pula saat Jokowi melantik para menteri Kabinet Kerja di Istana Negara, ketua dan beberapa wakil ketua DPR (semuanya berasal dari Koalisi Merah Putih/KMP) juga hadir. Mereka menebar senyum dan bersalam hangat dengan Jokowi.

Siapa sangka, kehadiran mereka (pimpinan DPR) ke Istana Negara, ternyata hanya basa basi politik, sebab begitu mereka “pulang kandang” ke Senayan, nafsu untuk berkuasa demi merontokkan pemerintahan Jokowi bangkit lagi.

“Kalian boleh berkuasa di eskekutif, tapi tidak di legislatif. Jokowi, kamu boleh jadi presiden, tapi kami bisa membatasi gerak langkahmu.” Setidaknya itulah yang mungkin dipikirkan para anggota DPR dari KMP.

Demi tujuan itu, anggota DPR anak buah Susilo Bambang Yudhoyono dari Partai Demokrat yang semula bertekad menjadi “penyeimbang” pun tak malu-malu menjadi “pemberat” agar pemerintahan baru Jokowi gagal di tengah jalan.  

Di DPR, kubu Prabowo yang telah diperkuat tim SBY sangat tangguh. Mereka menyapu bersih pimpinan DPR, MPR, dan terakhir alat kelengkapan dewan (komisi-komisi). Ibarat kucing makan ikan, duri-durinya pun mereka telan.

Benar, mengacu pada UU MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD), apa yang mereka mainkan berdasarkan konstitusi, memang sah. Namun, tamak atau rakus tak bisa mereka sembunyikan. Anggota DPR dari Fraksi PDIP Hendrawan Pratikno dalam wawancara dengan Metro TV pagi tadi (Jumat 31 Oktober) menyebut rekan-rekannya di KMP sebagai orang-orang yang tak mengenal budaya tahu diri.

Demi menaklukkan Jokowi dan menganulir hasil pilpres tempo hari, KMP memang sukses mempertontonkan kerakusan dan semangat tak tahu diri kepada bukan saja masyarakat Indonesia, tetapi juga masyarakat dunia. Tanpa dihadiri para anggota lintas fraksi sebagai syarat kuorum terpenuhi, mereka memilih pimpinan komisi-komisi yang adalah konco-konconya sendiri.

Pimpinan DPR (Setya Novanto, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Agus Hermanto, dan Taufik Kurniawan) Lebih mencerminkan sebagai pimpinan KMP yang kebetulan sedang ditugaskan di Senayan daripada berperan sebagai pimpinan DPR yang seharusnya representasi rakyat. Hal ini bisa dibuktikan, mereka hampir selalu mengadakan dan hadir dalam acara syukuran bersama Prabowo manakala mereka sukses memperjuangkan budaya tak tahu malu di DPR.

Dilatarbelakangi kenyataan itulah beberapa hari lalu, anggota DPR yang berkongsi di KIH menyampaikan mosi tidak percaya kepada pimpinan DPR dan memilih “pimpinan DPR” tandingan. Dalam rapat paripurna hari ini (Jumat 31 Oktober), para anggota DPR versi KIH menetapkan Ida Fauziyah dari PKB sebagai ketua, dengan para wakil ketua: Effendi Simbolon dari PDIP, Dossy Iskandar dari Hanura, Syaifullah Tamliha dari PPP, dan Supriyadi dari NasDem.

Seiring dengan itu, kubu KMP terus membangun opini publik lewat koalisi media yang mereka miliki, antara lain TVOne. Sejak kemarin (30 Oktober), televisi milik Aburizal Bakrie itu terus memberitakan kasus MA, anak muda, yang ditangkap polisi dengan sangkaan penjual sate itu membully Jokowi di media sosial.

Televisi yang punya tagline “memang beda” itu rupanya tetap konsisten ingin tampil beda dengan mengungkap fakta secara tidak proporsional seolah-olah MA tidak bersalah dan jadi korban penzoliman. Ibunda MA dihadirkan sebagai nara sumber dengan linangan air mata. Televisi ini tak peduli dengan apa yang dilakukan MA, yaitu menyebarluaskan “foto porno” Jokowi-Megawati lewat media sosial. 

Melalui pemberitaan kasus MA, televisi itu seakan ingin memaksakan opini publik bahwa Jokowi belum juga menjabat sebagai presiden sebulan, sudah bersikap otoriter dengan memanfaatkan polisi untuk menangkap siapa pun yang coba-coba menghinanya.

Kasus itu juga dipolitisasi Fadli Zon. Ingin tampil sebagai pembela rakyat (wong cilik), hari ini (Jumat 31 Oktober) ia mengirim pengacara untuk mendampingi MA. Orang dengan mudah bisa menangkap pesan apa yang akan disampaikan Fadli Zon, yaitu bahwa ia ingin mempermalukan Jokowi.

Itu adalah strategi jangka pendek KMP untuk menjatuhkan pamor Jokowi. Strategi jangka menengahnya adalah “menggulingkan” Jokowi di tahun kedua pemerintahannya.

Mereka akan mencari-cari “kesalahan” Jokowi dan kemudian meng-impeach (pemakzulan) mantan gubernur DKI Jakarta itu. Beberapa kasus yang akan dilemparkan ke publik di antaranya adalah:

  1. Kasus pengadaan bus Transjakarta. Orang-orang KMP tetap menganggap Jokowi terlibat dalam kasus ini, sebab ia sebagai gubernur ikut menandatangani proyek pengadaan bus yang belakangan ternyata dimanupulasi anak buahnya (Kepala Dinas Perhubungan). Kubu KMP menyiapkan tuduhan Jokowi ikut menikmati uang hasil patgulipat pengadaan bus bekas tersebut.
  2. Kasus pelaporan kekayaan Jokowi. Orang-orang KMP curiga Jokowi tidak jujur saat melaporkan kekayaannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebab Jokowi (begitu berita yang sudah beredar luas), punya uang yang disimpan di bank di sejumlah negara, namun tidak dilaporkan ke KPK. Ketika isu ini dilontarkan, KPK sudah menjelaskan bahwa Jokowi tidak punya rekening bank di luar negeri.
Dua isu itulah yang saya perkirakan akan dimainkan para aktor KMP, baik yang ada di DPR maupun di luar parlemen. Maka, beralasan jika sosiolog Ignas Kleden, dalam tulisannya di Kompas hari ini (Jumat 31 Oktober) memerkirakan, Jokowi juga akan ditumbangkan KMP dalam tempo dua tahun masa pemerintahannya. Alasannya, pimpinan MPR yang mayoritas berasal dari KMP secara konstitusional sudah “rela” melantik Jokowi sebagai presiden, maka mereka juga akan “tega” menurunkannya di tengah jalan.

Saya berharap analisis saya dan Ignas Kleden tidak sampai terjadi, sehingga Jokowi bisa menyelesaikan tugasnya sebagai presiden hingga lima tahun mendatang.

Tidak ada yang tahu, kapan perseteruan (dualisme) DPR akan berakhir. Rakyat sebagai pemegang kedulatan ikut menjadi penentu. Rakyat bisa saja melakukan aksi parlemen jalanan untuk mengontrol wakil-wakil mereka di DPR agar para wakil mereka di Senayan tahu diri, tidak rakus ingin menang sendiri. Masa sih, rakyat harus turun lagi ke jalan untuk mencelikkan hati para anggota dewan?[] 

Leave A Reply

Your email address will not be published.