Catatan Gantyo

Unek-Unek Zuhairi Misrawi kepada MUI

0 263
Zuhairi Misrawi (Foto: CNN Indonesia)



SEORANG teman di grup WA pagi ini (Senin 23 Januari) mengirim pesan berupa teks surat terbuka lumayan panjang yang ditujukan kepada Ketua Umum MUI, KH Ma’ruf Amin,  ditulis Zuhairi Misrawi.

Dalam surat tersebut, Misrawi (Gus Mis) mengkritisi Majelis Ulama Indonesia (MUI) di bawah kepemimpinan Ma’ruf Amin yang cenderung merusak keindonesiaan dan kebinekaan kita.

Gus Mis adalah generasi muda NU. Dalam tradisi NU, pantang hukumnya santri “melawan” guru: bisa kualat.

Pada mulanya saya ragu surat terbuka itu ditulis Gus Mis. Maklumlah belakangan ini banyak beredar hoax yang membuat mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono super prihatin dan mengadu ke Tuhan.

Karena Gus Mis adalah teman saya — kami pernah bekerja dalam satu meja di sebuah ruangan rumah di kawasan Menteng Jakarta Pusat saat Pilpres 2014 — maka saya pun mengonfirmasi kepadanya.

Lewat pesan melalui WA, bernada humor tapi serius, saya bertanya “itu bukan hoax, kan?” Maklumlah, Gus Mis senang berhumor.

Tak lama kemudian Ketua Moderate Muslim Society, Alumnus Universitas al-Azhar, Kairo Mesir dan penulis sejumlah buku tentang Islam yang ramhatan lil alamin itu menjawab bahwa surat itu memang dia yang menulis, namun sudah dipotong.

Ia kemudian mengirimkan teks surat lengkapnya seperti ini: Kiai Ma’ruf yang saya hormati, izinkanlah saya mencium tangan Kiai, sebagaimana lazimnya seorang santri ngalap berkah dari kiainya.

Saya sangat menghormati Kiai sebagai Rois ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama sekaligus sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia.

Saya sudah beberapa kali ber-muwajahah dengan Kiai, baik dalam forum NU maupun dialog di media secara live.

Masih segar ingatan saya, Kiai begitu mencintai anak-anak muda NU, layaknya anak sendiri.
Dalam beberapa acara NU, Kiai masih mau bercakap-cakap dengan anak muda dan sesekali melepas canda-tawa. Keguyuban ala NU yang selalu dinanti.

Ingin rasanya bisa sowan kepada Kiai dalam waktu dekat. Tapi, karena terbatasnya waktu saya, dan barangkali juga waktu Kiai, izinkan saya menulis surat singkat yang berisi tentang kegelisahan sekaligus harapan agar Kiai bisa menjadi imam bagi umat Islam Indonesia. Setidaknya imam bagi kami anak-anak muda NU. Sebab, belakangan ini, terdengar sayup-sayup adanya formulir yang disebarkan kepada umat Islam agar seseorang dibai’at menjadi “Imam Besar”.

Kiai Ma’ruf yang saya hormati, ketika Kiai terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum MUI, saya mempunyai harapan besar terhadap organisasi ini. Pasalnya, Kiai berjanji akan menjadikan MUI sebagai gerbong gerakan Islam Moderat di Indonesia.

Dalam bayangan saya, MUI di bawah kepemimpinan Kiai akan mengalami transformasi yang sangat signifikan. Intinya, MUI akan merangkul semua kelompok di dalam Islam, apa pun mazhab dan alirannya. MUI akan berhenti mengeluarkan fatwa sesat, karena sesugguhnya yang berhak menilai seseorang mendapatkan petunjuk Tuhan dan sesat hanya Tuhan.

Allah SAW berfirman: Dan Allah SWT Mahatahu atas siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan mereka yang mendapatkan petunjuk (QS. Al-Najm: 30).

Lebih dari itu, saya membayangkan MUI di bawah kepemimpinan Kiai akan menjadi teladan bagi tumbuhnya harmoni dan toleransi di tengah-tengah masyarakat. Buah manis dari itu, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan semakin kokoh, diperkuat oleh Pancasila sebagai dasar negara, Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa, dan UUD 1945 sebagai konstitusi negara.

Saya masih ingat Kiai membacakan hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Surabaya pada tahun 2006. Kiai menegaskan bahwa Pancasila adalah final sebagai dasar negara, meski tidak ada semifinal. Semua hadirin tertawa riuh.

Bagi kami anak muda NU, Kiai adalah salah satu pengusung pembaruan metodologi forum kajian keagamaan NU yang meletakkan kerangka berpikir metodologis (al-tafkir al-manhaji) dalam penyelesaian masalah-masalah aktual kekinian.

Walhasil, kajian-kajian bahtsul masail NU sangat luar biasa, dan menyemarakkan tumbuhnya studi Ushul Fiqh di pesantren-pesantren NU.

Cara berpikir metodologis seperti inilah yang sebenarnya saya harapkan bisa tumbuh di lingkungan MUI, sehingga sikap dan fatwa keagamaan yang dikeluarkan dapat memberikan manfaat bagi solidaritas kebangsaan dan solidaritas kemanusiaan.

Kiai Ma’ruf yang saya hormati. Dalam dua bulan terakhir, jujur saya mulai agak gelisah perihal komitemen MUI sebagai gerbong Islam Moderat di Tanah Air.

Alih-alih menjadi gerbong Islam Moderat, MUI terlihat cenderung mengambil kebijakan dan mengeluarkan fatwa yang sama sekali tidak mencerminkan moderasi Islam.

Salah satu karakter moderasi Islam adalah memastikan visi rahmatan lil ‘alamin, tidak hanya berhenti dalam ucapan dan jargon, melainkan menjadi laku tindakan nyata.

Visi rahmatan lil ‘alamin dalam konteks keindonesiaan, semestinya umat Islam betul-betul menjadi pengawal Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. MUI dapat memberikan perlindungan penuh terhadap kalangan non-Muslim dan penganut aliran kepercayaan yang sudah eksis berabad-abad sebelum agama-agama yang diakui negara datang ke negeri ini.

Dalam bayangan saya, Kiai akan mengambil jarak dengan mereka yang selama ini mempunyai ideologi dan pemikiran yang dapat mengancam eksistensi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Harapan saya, Kiai akan menjadikan NU dan Muhammadiyah sebagai rujukan utama umat Islam Indonesia dalam mengambil kebijakan strategis kebangsaan.

Lebih dari itu, Kiai diharapkan oleh kami bisa mengambil jarak dengan politik praktis atau hal-hal yang dapat ditafsirkan bernuansa politis. Bahkan sejatinya Kiai dapat memberikan solusi yang dapat memperkokoh kualitas demokrasi kita dengan memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh elemen bangsa, apa pun agama dan keyakinannya untuk mengabdi kepada negeri.

Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Sebab itu, Islam yang kita pahami sebagai kekuatan moral untuk memperkokoh solidaritas kemanusiaan dan solidaritas kebangsaan kita.

Coba Kiai lihat apa yang terjadi sekarang, situasinya sangat tidak kondusif bagi demokrasi yang sebenarnya sudah membaik dan membuahkan hasil. Bahkan taruhannya adalah kebersamaan kita sebagai bangsa sedang dalam ujian serius.

Kiai Ma’ruf yang saya hormati. Izinkanlah saya menyampaikah dua hal yang terus mengganjal nurani saya untuk mempertanyakan komitmen MUI dalam mengusung Islam Moderat di Tanah Air. Meminjam ungkapan KH Mustofa Bisri, MUI makin tidak jelas.
Saya pun mempunyai pandangan yang sama.

Pertama, soal sikap MUI terhadap kasus dugaan penodaan agama terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Menurut saya, MUI tidak hati-hati dan terlihat tergesa-gesa mengeluarkan sikap keagamaan. Padahal dalam kasus yang sangat sensitif, semestinya MUI dapat mempertimbangkan “mudarat” dan “maslahat”, khususnya bagi demokrasi dan keutuhan bangsa ini.

Ada beberapa keanehan yang mengusik pikiran dan nurani saya sampai saat ini. Kenapa MUI mengeluarkan sikap keagamaan tanpa menggunakan medium klarifikasi (tabayyun). Poin ini saat penting untuk dikemukakan, apalagi jika melihat persidangan sementara kasus Ahok ini.

MUI sebenarnya bisa mengambil langkah luar biasa sebagai konsekuensi dari pilar Islam Moderat. Demi menjaga momen demokrasi dan keutuhan bangsa, sebenarnya solusi terbaik adalah menerima maaf Ahok dan meminta Ahok agar tidak mengulangi lagi berkata-kata yang dapat menyinggung perasaan umat Islam.

Saya pribadi tegas menyatakan bahwa Ahok tidak menodai agama Islam. Dalam ucapannya Ahok justru mengingatkan kita agar berpolitik secara bermartabat, jangan sampai agama dijadikan alat kampanye.

Saya berpandangan, ayat al-Maidah 51 bukanlah ayat tentang kepemimpinan. Ayat tersebut turun dalam konteks perang, bukan konteks damai. Sementara kita saat ini hidup dalam situasi damai, bukan suasana perang.

Maka dari itu, jika MUI mengambil langkah untuk memaafkan Ahok dan meminta Ahok agar tidak mengulangi dan berhati-hati, Kiai akan dikenang sebagai “Imam Besar” yang menyelamatkan negeri ini dari jurang perpecahan dan kehancuran.

Lihat apa yang terjadi sekarang?  Konsekuensi dari sikap keagamaan MUI dalam kasus Ahok, lalu muncul Gerangan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI. Gerakan ini bernaung di bawah sikap keagamaan MUI yang ditegaskan posisinya lebih tinggi dari fatwa.

Mereka membuat aksi dan forum keagamaan di berbagai kota. Bukankah Ahok sudah ditetapkan sebagai tersangka dan kasusnya sedang dalam persidangan?

Saya agak lega akhirnya Kiai menegaskan bahwa GNPF tidak ada kaitannya dengan MUI. Tapi, tolong Kiai juga dapat mengambil tindakan tegas terhadap pengurus MUI yang aktif di GNPF.

Semestinya mereka diberi peringatan agar memilih antara GNPF atau MUI. Begitu pula para pengurus yang mengeluarkan komentar-komentar keras dan kasar, yang dapat mencoreng citra MUI.

Saya sekali lagi meminjam pendapat Gus Mus bahwa aneh rasanya ada kelompok atau gerakan yang ingin mengawal fatwa. Sejak kapan fatwa harus dikawal? Kenapa harus dikawal?

Kedua, fatwa MUI soal atribut keagamaan non-Muslim. Saya membaca argumen dan nalar yang digunakan oleh MUI tidak kokoh, baik secara teologis maupun sosiologis. Secara teologis, argumen MUI lebih dekat pada nalar Wahabisme yang kerap menggunakan ayat-ayat keras terhadap non-Muslim. Padahal di dalam al-Qur’an juga terdapat ayat-ayat yang toleran, bahkan memuji kalangan non-Muslim.

Secara sosiologis, Islam hadir sebagai agama samawi yang paling akhir. Artinya, Islam tumbuh dan berkembang dalam tradisi Kristen dan Yahudi. Sebab itu, kalau kita lihat sejarah Islam banyak perjumpaan antara agama-agama samawi ini, sehingga terjadi akulturasi.

Begitu halnya akulturasi Hindu dan Budha dengan tradisi Islam di Tanah Air. Setiap agama hadir di tengah keragaman agama-agama, dan karenanya akulturasi merupakan hal yang tak bisa dielakkan.

Akulturasi adalah bukti bahwa setiap penganut agama pastinya akan menghormati penganut agama yang lain. Ini yang disebut Bung Karno dengan ketuhanan yang berkebudayaan dan berkeadaban.

Kiai Ma’ruf yang saya hormati. Itulah unek-unek saya terhadap MUI di bawah kepemimpinan Kiai. Saya berharap sekali MUI dijauhkan dari tarikan politik dan kepentingan perebutan kekuasaan. Lebih dari itu, MUI dapat menjadi gerbong bagi moderasi Islam di Tanah Air.

Satu lagi, MUI tidak lagi mengeluarkan fatwa sesat-menyesatkan. Sebab salah satu ukuran moderasi Islam, yaitu tidak mengeluarkan fatwa sesat-menyesatkan.

MUI mesti betul-betul menjadi lembaga yang mengusung kearifan (al-hikmah), menyampaikan nasihat yang elegan (maw’idhah hasanah), dan membudayaka debat yang konstruktif (mujadalah bil lati hiya ahsan).

Biarkan soal vonis sesat dan tidak sesat diserahkan kepada Tuhan Yang Maha Bijak dan Maha Adil. Kita umat agama-agama sejatinya dapat merayakan keragaman dan perbedaan dengan saling menghormati antara satu dengan yang lain. []

Leave A Reply

Your email address will not be published.