Pilpres 2024, BRIN & Litbang Kompas Diharapkan Kaji Tokoh Berkualitas-Berintegritas
JAKARTA (30 Mei 2022): Lembaga-lembaga penelitian, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dari pemerintah dan lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan (Litbang) sawsta seperti Kompas sebaiknya lebih aktif menawarkan riset tentang sosok pemimpin yang memiliki kualitas dan integritas.
Dengan begitu ke depan, khususnya menghadapi Pemilu Presiden (Pilpres) 2024, Indonesia benar-benar punya presiden yang benar-benar berkualitas dan memiliki integritas tinggi, bukan sekadar populer.
Setidaknya itulah yang diharapkan pengamat komunikasi politik (komunikolog) Indonesia, Dr Emrus Sihombing, dalam rilisnya yang saya terima malam ini (30/5).
Menurut Emrus, lembaga-lembaga survei yang selama ini melakukan penelitian popularitas-elektabiltas tokoh yang disebut-sebut layak dijadikan bakal calon presiden, sulit diharapkan.
Mengapa? Emrus menjawab, karena bukan tidak mungkin, salah satu di antara lembaga-lembaga survei itu, kelak bisa jadi berperan langsung atau tidak langsung sebagai konsultan kemenangan dari kandidat atas dasar popularitas-elektabiltas sosok tokoh yang disurvei.
Berikut pendapat lengkap Emrus Sihombing soal tersebut:
Sebagai seorang komunikolog, saya mengikuti betul wacana di ruang publik. Saat ini sedang bermunculan nama beberapa tokoh, sekalipun nama yang disebut belum secara eksplisit menyatakan dirinya bersedia menjadi kandidat bakal calon presiden (Balonpres) 2024.
Berbagai pesan komunikasi politik tentang usung-mengusung dan dukung mendukung dari para aktor politik (bisa individu dan atau kelompok sosial) juga bermunculan. Disebut oleh beberapa kalangan sebagai relawan, sekalipun menurut saya, sebutan relawan kepada mereka kurang tepat.
Saya cenderung menyebutnya sebagai politisi lapangan pragmatis (polatis). Sebab, sejatinya relawan itu harus taat aturan. UU menyebutkan pasangan calon presiden 2024 (Paslon 2024) hanya diusung oleh partai politik, bukan kekuatan politik lainnya.
Jadi, setelah partai politik mengusung Paslon Capres-Cawapres 2024, mereka yang sungguh-sungguh relawan baru bisa bergerak/bekerja mendukung kandidat tersebut. Bukan seolah-olah “mendikte” patai politik sebagai salah satu pilar utama dalam tatanan sebuah negara demokrasi, Indonesia misalnya.
Jika para Polatis ingin mengusung Paslon Pilpres ke depan, mereka sebaiknya membentuk saja partai politik, atau berjuang agar UU membolehkan Paslon Pilpres tidak hanya dari partai politik.
Jika kita lihat wacana mereka, para Polatis tersebut seolah “penentu” menyodorkan dan mengusung kandidat tertentu sebagai sosok yang paling tepat menjadi Balonpres 2024 dengan berbagai alasan, antara lain bahwa kandidat yang disodorkan tersebut, berdasarkan beberapa hasil survei berada pada popularitas-elektabilitas tertentu dari responden dan kuesioner yang mereka tetapkan dan susun dengan pola tertentu pula.
Sayangnya, survei tersebut tidak pernah dibongkar sebagai bagian dari strategi komunikasi politik panggung belakang yang dikonstruksi oleh kekuatan kepentingan politik tertentu untuk membangun dan mendongkrak popularitas-elektabilitas sosok yang didukung.
Padahal, strategi komunikasi politik panggung belakang inilah antara lain yang merancang, memproduksi berbagai kemasan dan kreatif pesan, lalu mewacanakannya secara masif di ruang publik dengan mengomptimalkan berbagai sumberdaya proses komunikasi, seperti memanfaatkan beberapa dari berbagai macam sosial media, termasuk group-group WA.
Strategi semacam ini dipastikan mampu memanipulasi dan membius peta kognisi individu maupun kolektivitas di tengah masyarakat.
Itu saya sebut sebagai the power of social media. Kemudian, bisa saja dilanjutkan survei dengan menyebarkan kuesioner disusun dengan pola tertentu yang hampir dapat diduga, sosok yang bersangkutan berada pada popularitas-elektabilitas tertentu, yang membuat “happy” kandidat yang disurvei.
Jika presiden kita ke depan atas dasar popularitas-elektabilitas, maka akan cenderung membuat kebijakan, program dan tindakan populer asalkan masyarakat “nyaman”.
Janji kampanye sebagian berpotensi tidak direalisasikan secara optimal. Ia pun tidak mempunyai strategi penyelesaian persoalan secara substansi dan holistik, sehingga memunculkan kembali persoalan-persoalan yang relatif sama pada berbagai bidang kehidupan sosial. Tidak pernah menuntaskan akar masalah.
Misalnya, membangun atas dasar pinjaman dari berbagai negara dan atau perusahaan swasta dari luar negeri. Gaya kepemimpinan semacam ini akan membuat bangsa kita tidak mampu bersaing dengan negara tetangga sekalipun.
Dengan demikian, bangsa ini akan terus bergantung bahkan dikendalikan, langsung atau tidak langsung, oleh pemberi pinjaman.
Ini masalah yang terus menerus berulang di negeri ini. Pola kepemimpinan semacam ini dilahirkan dari sistem komunikasi politik yang berorientasi pada popularitas-elektabilitas.
Untuk itu, menurut hemat saya, negeri ini harus terhindar dari berbagai permainan komunikasi politik seperti itu.
Bahkan ruang publik kita terjebak dan tercemar oleh ide yang memunculkan sosok popularitas-eleketabilitas semata.
Sampai saat ini, sebagai seorang komunikolog, saya melihat ruang publik kita masih jauh dari wacana Balonpres 2024 dari perspektif kualitas-integritas yang selayaknya dimiliki oleh seorang kandidat.
Tidak heran jika korupsi ada di mana-mana, dari dulu hingga sekarang. Padahal, sungguh banyak tokoh di republik ini yang memiliki kualitas-integritas luar biasa dari berbagai aspek, kepemimpinan dan integritas misalnya, sehingga mampu memimpin bangsa ini lebih baik per lima tahun ke depan.
Pemimpin atas dasar popularitas-elektabilitas sangat terbuka kemungkinan membuat kebijakan, program, dan tindakan sekadar “menyenangkan” saja dalam jangka pendek, sehingga tetap di bawah kendali kekuatan pemodal dari dalam mapun luar negeri.
Untuk itu, negeri ini harus bergeser dari mencari pemimpin atas dasar popularitas-eketabilitas ke wacana pemimpin Balonpres 2024 dari perspektif kualitas-integritas.
Lembaga-lembaga penelitian, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dari pemerintah dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kompas dari swasta, misalnya, sebaiknya lebih aktif menawarkan hasil riset tentang sosok pemimpin yang berkualitas-betintegritas.
Pasalnya, lembaga survei yang melakukan penelitian popularitas-elektabiltas sulit diharapkan, karena salah satu di antaranya, kemungkinan mereka kelak bisa jadi berperan langsung atau tidak langsung sebagai konsultan kemenangan dari kandidat atas dasar popularitas-elektabiltas sosok yang bersangkutan.
Jika BRIN dan Litbang Kompas melakukan banyak penelitian sosok Balonpres 2024 atas dasar kualitas-integritas dan semua hasilnya terus diwacanakan/sosialisasikan secara masif di ruang publik, maka masyarakat akan rindu tokoh Balonpres 2024 yang berkualitas-berintegritas.
Dengan demikian, keinginan proklamator kita, Bung Karno, yaitu berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) dipastikan dapat terwujud tahap demi tahap per lima tahunan, karena Presiden dan Wakil Presiden berkualitas-berintegritas kukuh, tidak pragmatis dan transaksional sebagai konsekuensi pemimpin yang berdasarkan popularitas-elektabilitas.
Sebagai tawaran untuk dikaji lebih jauh oleh BRIN dan Kompas, ada sosok pemimpin berkualitas-berintegritas dari partai politik seperti Surya Paloh, Puan Maharani dan Airlangga Hartarto.
Sedangkan dari luar partai politik ada Rizal Ramli, Nasaruddin Umar dan Franz Magnis Suseno.[]