Surat Terbuka Buat Ulama: Dengarlah
PARA ulama (dari semua agama) yang dikasihi dan dicintai Allah Yang Mahamulia lagi Maha Penyayang, terkhusus kepada bapak-bapak ulama yang (maaf) tidak senang atau terusik saat melihat keberagaman bangsa Indonesia, bangsa yang sampai saat ini diberkati Sang Khalik.
Izinkan saya menulis surat terbuka ini kepada bapak-bapak ulama yang sangat disayang dan dicinta Tuhan. Semoga bapak-bapak berkenan membacanya. Tapi kalau tidak berkenan, ya sudah, tak perlu melanjutkan membaca, jangan pula murka.
Sebagaimana bapak-bapak ulama ketahui, negeri kita belakangan ini diakui atau tidak, terasa agak memanas. Siapa yang membuat panas? Siapa lagi kalau bukan mereka yang tidak ingin anak-anak bangsa ini bersatu dalam keberagaman dan kebinekaan.
Saya menduga (entah bapak-bapak), suasana panas dan persaudaraan di antara kita sedikit terganggu lantaran ada kekuatan politik yang mencampuradukkan antara politik dan agama untuk meraih kekuasaan dengan jalan pintas.
Jalan pintas yang paling mudah adalah menunggangi agama, terutama agama yang dianut mayoritas bangsa ini. Kekuatan politik atau aktor-aktor politik itu pasti paham betul hanya lewat “politik agama-lah” tujuan memperoleh singgasana kekuasaan dapat diraih. Mereka tidak peduli bangsa ini pecah, bahkan melalui perang saudara sekalipun.
Saya akhirnya kasihan menyaksikan ada beberapa ulama yang menjadi korban permainan politik dengan memanfaatkan agama. Bayangkan seorang ulama (?) yang seharusnya berbicara lemah lembut, di depan umat dan pengikutnya malah berbicara kasar, mengajak perang dan melakukan revolusi. Tak cuma itu ia juga menghina Presiden yang terpilih secara konstitusional.
Sungguh, sebagai warga negara Indonesia, saya juga merasa malu ada ulama yang ditolak saat akan menginjakkan kakinya di bumi Kalimantan. Saya tidak tega melihat sang ulama begitu ketakutannya bersembunyi di dalam pesawat.
Namun, saya tidak menutup mata, peristiwa itu terjadi lantaran ada sementara ulama yang (maaf) tutur katanya tidak pantas diteladani karena menyakitkan sesama anak bangsa. Begitu pula “ajaran-ajarannya”.
Ya, “ajaran” (sengaja saya menggunakan tanda kutip sebab belum tentu apa yang dipetuahkan sang ulama adalah ajaran).
Bapak-bapak para ulama yang arif lagi bijaksana, dari seorang ibu, saya mendengar kabar tak sedap bagi upaya kita memelihara persaudaraan dan merajut kebinekaan bangsa. Ia punya keponakan yang tiba-tiba menutup telinganya saat mendengar suara musik karena guru agamanya mengajarkan bahwa musik adalah haram.
Dari sang guru, masih menurut ibu tadi, juga mengajarkan anak-anak titipan Allah itu tidak boleh bergaul dengan teman-temannya yang berbeda agama.
Bapak-bapak ulama, apa jadinya generasi bangsa ini jika anak-anak kita diajarkan nasihat-nasihat sesat seperti itu oleh guru agamanya?
Banggakah bapak-bapak karena bapak berhasil menanamkan paham radikalisme kepada anak-anak yang masih polos itu?
Saya percaya dan mudah-mudahan bapak-bapak menangis mendengar kabar itu. Jangan biarkan Tuhan menitikkan air mata karena melihat ciptaan dan anugerah-Nya, negeri elok Indonesia, rusak lantaran dihuni oleh orang-orang yang sebenarnya cerdas tapi menjadi bodoh yang disengaja dan prosesnya sangat sistemik.
Video: Youtube-pasoepati
Kasihi dan kasihanilah anak-anak kita. Mereka ingin bermain dan menikmati indahnya pelangi yang penuh dengan warna warni. Mereka ingin memetik bunga dan menghirup wangi bunga-bunga yang juga warna warni.
Bapak-bapak ulama, dengarlah suara mereka. Simaklah kerinduan mereka. Sesungguhnya suara dan keberadaan mereka adalah ekspresi dan suara Allah kepada kita. Janganlah kita mewariskan buruk muka kita kepada mereka.
Bapak-bapak ulama kekasih Allah. Mari kita belajar dari negara-negara lain. Perang tercipta bukan ditentukan oleh bala tentara, tapi ulama. Maju tidaknya sebuah negara juga ditentukan oleh ulama. Sebaliknya sebuah negara juga bisa hancur dalam sekejap hancur karena mulut para ulama.
Demikian surat terbuka dari saya. Salam damai. Oh, betapa eloknya negeri tercinta: Indonesia. Terima kasih Tuhan.[]