SAMPAI saat ini belum satu pun partai politik yang menyatakan secara resmi siapa sosok yang akan diusung menjadi bakal calon presiden untuk hajatan Pemilu Presiden (Pilpres) 2024.
Berdasarkan undang-undang, yang berhak mengusung dan mencalonkan seseorang menjadi calon presiden (capres) adalah partai politik.
Mengacu pada UU dan berdasarkan suara dan kursi yang diperoleh DPR, satu-satunya parpol yang berhak mengajukan capres sendirian adalah PDI Perjuangan (PDIP), sebab ia memenuhi syarat presidential threshold (PT) di atas 20%.
Namun, sampai saat tulisan ini dibuat (Sabtu 4 Juni 2022), PDIP belum menyebut nama seorang tokoh pun yang layak dicapreskan.
Berkehendak memenuhi PT 20%, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sudah membentuk “koalisi” yang diberi nama Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).
Lagi-lagi, sampai sekarang KIB juga belum menyebut siapa tokoh yang akan dicapreskan. Kita hanya bisa menduga-duga, KIB bakal mencapreskan Airlangga Hartarto. Koalisi ini tampaknya hanya tinggal melirik siapa yang pantas menjadi calon wakil presiden (cawapres).
Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh juga sudah disambangi beberapa ketua umum parpol di markasnya yang megah, NasDem Tower, di Jl Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat.
Bertepatan dengan peringatan hari lahir Pancasila, Rabu (1 Juni 2022), Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyempatkan pula bertemu dengan Surya Paloh.
Meski keduanya bertemu selama lima jam, dua tokoh ini sama sekali juga tidak mendeklarasikan atau menyebut secara resmi siapa tokoh yang pantas menjadi capres dan cawapres.
Namun, di luar itu, para relawan, terutama mereka yang berkeinginan Ganjar Pranowo (sekarang Gubernur Jawa Tengah) dan Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta) menjadi capres, sudah tidak sabar beraksi bagaimana mewujudkan apa yang diinginkan terkait dengan pujaan mereka.
Para relawan ternyata lebih agresif daripada parpol. Saat Jokowi ikut ambil bagian dalam Pilpres 2014 dan 2019, para relawan baru muncul setelah partai-partai politik mencalonkan secara resmi Jokowi sebagai capres.
Namun, tidak demikian dengan suasana menyambut hajatan Pilpres 2024. Para relawan sudah memproklamasikan diri mendukung si anu dan si ini.
Yang paling kentara adalah pendukung (relawan) Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan. Pilpres masih tiga tahun lagi, tapi mereka sudah sibuk melakukan aktivitas “kampanye” lewat pertemuan-pertemuan dan memanfaatkan media sosial untuk menyosialisasikan sosok yang mereka idamkan.
Aktivitas dan pernyataan-pernyataan mereka bahkan menjadi pemberitaan di media arus utama. Hal yang sama juga terjadi di kubu Erick Thohir, Airlangga Hartarto, dan belakangan Sandiaga Uno. Padahal, mereka belum tentu kelak saatnya bakal benar-benar menjadi bakal calon presiden.
Saya tidak tahu persis keberadaan para relawan itu sepengetahuan dan memang direkayasa oleh sang tokoh atau memang murni atas inisiatif para relawan.
Jika itu atas inisitif relawan, tentu bakal memunculkan beban psikologis sang tokoh. Ganjar misalnya, diakui atau tidak, gerakan relawannya yang agresif bakal memunculkan “ketegangan” hubungan antara dirinya dan PDIP, khususnya Megawati.
Sayangnya, Ganjar tidak tegas terhadap para pendukungnya yang sudah keluar lebih dulu sebelum mencapai puncak. Sepertinya Ganjar membiarkan dan menikmati eforia para pendukungnya sambil berharap, eh siapa tahu PDIP kelak mencalonkannya.
Apa keunggulan Ganjar di mata para pendukung dan relawannya? Saya menduga, Ganjar selain ganteng, juga dianggap sosok yang santun dan baik. Dia direpresentasikan sebagai sosok Jokowi.
Selain itu, lagi-lagi ini dugaan saya, Ganjar seorang nasionalis dan pembela NKRI. Sesuatu yang memang amat diperlukan bagi negeri ini di saat (maaf) segerombolan orang bercita-cita menjadikan NKRI tanpa Pancasila.
Ya, itulah kelebihan Ganjar. Di luar itu, menurut sepengetahuan saya (bisa benar bisa salah), Ganjar belum menorehkan prestasi luar biasa di Jawa Tengah.
Lalu bagaimana ujungnya nanti? Sampai sedemikian jauh belum ada yang bisa menebak. Bahwa belakangan ini ada yang mematut-matutkan dia bakal disandingkan dengan Anies Basewedan (cawapres) juga masih spekulatif. Sekadar cek ombak.
Tidak gampang menduetkan Ganjar-Anies. Pasalnya, ibarat rumah, Anies sudah terlanjur menjadi hak miliknya para pengasong agama. Para pemilih nasionalis dan pembela NKRI pasti akan berpikir ulang jika akan memilih Ganjar-Anies.
Kerugian besar akan menimpa Ganjar jika ia berduet dengan Anies. Dalam Pemilu 2024, massa mengambang yang pro-NKRI besar kemungkinan tidak akan memilih partai yang mengusung pasangan calon presiden yang ada unsur Anies-nya.
Pilkada DKI Jakarta 2017 yang superbejat itu – Anies ada di dalamnya — bagaimanapun telah meninggalkan luka teramat dalam bagi anak-anak bangsa. Para pencinta NKRI tidak sudi Pilpres 2024 dikotori oleh noda-noda kemunafikan Pilkada Jakarta 2017.
Saat Pilpres nanti, anak-anak bangsa tidak rela sila pertama Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa ditafsirkan hanya dimiliki oleh satu agama, lalu setiap ada hajatan pemilihan pemimpin, terutama pemilihan presiden, digoreng hingga gosong dan malah membuat citra mulia agama tersebut hancur berantakan. Berada di titik paling nadir.
Tanda-tanda ke arah sana sudah kelihatan. Para relawan (pemuja) Anies membabi buta dalam memberikan dukungan. Sampai-sampai mengidentikkan balapan mobil listrik Formula E dengan Pilres 2024.
Mereka menyatakan tidak akan memberikan dukungan kepada Anies jika Formula E disponsori perusahaan yang memproduksi bir. Lha, apa hubungannya Formula dengan “take beer” dan capres? Apa hubungannya Formula E dengan relawan Anies?
Di kolom ini saya pernah menulis yang isinya antara lain menyarankan agar Anies mengabaikan suara-suara para pendukungnya tersebut. Kalau sudah ada kesepakatan dengan produsen bir yang akan mensponsori Formula E, ya, lanjutkan. Tidak perlu akal-akalan.
Dari fakta-fakta yang saya ungkap di atas, saya berpendapat, gerakan dan ulah para relawan memang sudah keterlaluan. Mereka merasa lebih berkuasa dan menentukan daripada parpol.
Oleh sebab itu, dalam konteks yang lebih luas, saya sependapat dengan apa yang dikatakan pengamat komunikasi politik Dr Emrus Sihombing bahwa relawan harus ideologis yang salah satu cirinya adalah menaati aturan.
Dia mengingatkan UU menyebut pasangan calon presiden diusung parpol. Jadi, orang yang mendukung “sosok capres 2024” sebelum diusung parpol, sesungguhnya mereka bukan relawan.
Dalam cuitannya di Twitter, Emrus menulis, mereka lebih tepat disebut politisi jalanan pragmatis (polatis). Parpol jangan mau didikte polatis, katanya.
Khusus buat Anies, jika memang ia tetap berambisi menjadi capres atau setidaknya cawapres, sebaiknya mulai sekarang berani tampil percaya diri tanpa polatis, apalagi polatis yang “berprofesi” sebagai pengasong agama. Jijik. Agama kok dijual murahan.
Anies harus berani “bertobat” jika ingin dilirik parpol yang eh siapa tahu akan membuka lowongan cawapres menyambut Pilpres 2024. Kita tunggu Anies melakukan uji nyali dan berani mengatakan “selamat tinggal polatis. Bye, bye para pengasong agama.”[]