MENJUAL KEMISKINAN
Dalam kasus itu dia menunjuk Bung Karno yang telah habis-habisan berjuang untuk kepentingan negeri ini, dan akhirnya dia dipercaya untuk memimpin negeri ini sebagai presiden. Singkatnya, dia sudah berbuat sesuatu dan karenanya rakyat memercayakan kepadanya untuk melanjutkan apa yang sudah dirintisnya. Kasus seperti ini juga berlaku buat Soeharto, meskipun dalam perjalanannya kemudian dia terperosok pada penyakit ‘lupa diri.’
Kwik tidak habis pikir mengapa begitu banyak tokoh yang begitu ‘miskin’ prestasi, berani-beraninya mencalonkan diri sebagai presiden. Tujuannya apa? Begitu Kwik bertanya.
Kalau kita lihat dari apa yang sering diucapkan para colon presiden, dengan mudah kita menjawab pertanyaan Kwik. Terlepas itu pura-pura atau hanya untuk menarik simpati publik, para calon presiden itu berani mencalonkan diri, karena mereka ingin memerangi kemiskinan, menciptkan lapangan pekerjaan, memperbaiki ekonomi agar rakyat sejahtera, dan meningkatkan mutu pendidikan (syukur-syukur sekolah gratis).
Repotnya, para calon presiden — hampir semuanya — tidak pernah punya pengalaman menangani soal-soal itu. Oleh sebab itu saya sempat tersenyum kecut ketika pada Senin (12 November 2007) melihat sebuah iklan di harian Kompas yang isinya ajakan dari seorang mantan petinggi militer semasa Orde Baru (yang bersangkutan berambisi menjadi presiden) agar bergabung bersamanya untuk membasmi kemiskinan dan menciptakan 10 juta lapangan kerja.
Kalau mau mengatasi kemiskinan dan menciptakan lapangan pekerjaan bagi sejuta umat, mengapa harus ngajak-ngajak sih. Saya berpikir dalam hati. Kalau memang tujuannya itu, mengapa tidak saja memulainya dari diri dan kelompoknya sendiri? Jika dia memimpin partai, mengapa tidak partainya saja dulu yang merintis pembasmian kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja?
Fakta tidak bisa ditutup-tutupi, sebagian besar rakyat Indonesia memang miskin. Kenyataan tidak bisa dimungkiri, lebih dari 40 juta angkatan kerja kita sampai sekarang masih menganggur. Soal kemiskinan, tak usahlah kita lihat ke pedesaan. Di lingkungan kita, kemiskinan dan masalah lapangan pekerjaan itu ada di depan mata.
Lihat saja, di zaman di mana peralatan rumah tangga terbuat dari plastik, ternyata di sekitar kita masih ada orang yang berprofesi sebagai tukang patri. Saya berpikir, siapa konsumen atau pelanggannya? Benar, memang ada peralatan rumah tangga seperti panci yang terbuat dari logam, tapi logamnya sekarang sudah demikian kuat, jarang yang bocor. Kalaupun bocor, lazimnya sang pemilik menggantinya dengan yang baru.
Masih karena kemiskinan dan lapangan kerja yang terbatas, di sekitar kita juga masih ada orang yang mencari sesuap nasi dengan berprofesi sebagai tukang sol sepatu. Masih adakah orang yang menserviskan sepatunya di kala sepatu miliknya sobek? Lazimnya, mereka akan menggantinya dengan sepatu baru.
Banyak contoh lainnya. Saya tidak tahu apakah hal seperti ini diketahui oleh para calon presiden, termasuk mantan petinggi militer tersebut? Kalau mau mengatasi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja baru, ya mulai saja, tidak perlu ngajak orang lain. “Kalau kerja barengan, nenek-nenek juga bisa,” kata anak saya.
Saya prihatin, banyak elite politik di negeri ini yang tidak pernah dan mau belajar dari tokoh-tokoh besar dunia seperti Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, Dalai Lama, dan masih banyak lagi yang lebih memedulikan kepentingan orang lain (bangsanya) dari pada diri sendiri.
Membasmi kemiskinan memang wajib hukumnya buat siapa pun. Tapi mengapa para calon presiden kita tidak pernah membuat karya nyata seperti yang dilakukan peraih Nobel ekonomi Muhammad Yunus? Sayang memang, untuk sementara ini, mereka hanya mampu menjual kemiskinan. *