MENGAPA KITA TIDAK BAHAGIA?

1 336


SETIAP orang pasti ingin hidup bahagia. Banyak jalan yang dilalui manusia untuk menuju kebahagiaan. Namun mengapa di tengah perjalanan menuju pantai kebahagiaan itu, justru banyak manusia yang salah arah, bahkan banyak di antaranya yang terjerumus masuk jurang?

Kebahagiaan yang seharusnya diperoleh begitu mudah, akhirnya malah sulit didapat. Mengapa hal ini bisa terjadi? “Karena banyak di antara kita yang sulit membedakan antara kebahagiaan dan kesenangan,” kata penulis buku Cherish Every Moment Arvan Pradiansyah dalam acara Friday Spirit di Radio Ramako, Jakarta, belum lama ini.

Faktanya, menurut Arvan, banyak orang yang ternyata tidak mengejar kebahagiaan, tapi kesenangan, padahal keduanya bertolak belakang. Banyak di antara kita berpandangan bahwa mempunyai banyak uang bisa mendatangkan kebahagiaan. Untuk tujuan ini – tanpa merasa berdosa – mereka mencari uang dengan jalan pintas, misal korupsi. Uang yang didapat dengan cara seperti ini, menurut Arvan, tidak mendatangkan kebahagiaan, tapi kesenangan. Kalau yang bersangkutan akhirnya berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), apakah itu bisa dikatakan sebagai kebahagiaan? Tidak bukan?

Orang yang punya uang memang mempunyai kemampuan daya beli. Namun kemampuan daya beli ini tidak ientik dengan kepuasan hidup. Masyarakat Jepang misalnya, berdasarkan penelitian, daya belinya tinggi, tapi kepuasan hidupnya rendah. Oleh sebab itu jangan heran kalau kasus bunuh diri banyak terdapat di Jepang daripada di China atau India yang masyarakatnya memiliki daya beli rendah.

Banyak pula di antara kita yang menganggap berselingkuh atau mencari pasangan alternatif sebagai cara untuk meraih kebahagiaan di saat rumah tangga kita berantakan. Benar, memiliki selingkuhan memang mengasyikkan (pada saat itu), tapi ini tidak akan mendatangkan kebahagiaan, sebab cuma sementara, hanya kesenangan semata.

Ada pula di antara kita yang berpandangan, punya banyak kawan dan dengan mereka kita bisa curhat dan bergosip sebagai buah dari kebahagiaan, padahal, lagi-lagi menurut Arvan, itu hanya kesenangan. Pun demikian dengan kebiasaan kita menyantap makanan yang serba enak, merokok atau mengonsumsi narkoba. Itu bukan kebahagiaan, tapi kesenangan. Tapi anehnya, “Banyak di antara kita yang senang mengejar kesenangan, dan sebisa mungkin berupaya menghindari hal-hal yang sulit, padahal di balik kesulitan pasti ada kemudahan,” ungkap Arvan.

Lalu mengapa banyak orang yang sulit mendapatkan kebahagiaan dan terjebak hanya pada kesenangan belaka? Menurut Arvan, hal itu terjadi, karena kita punya cara pandang (paradigma) yang salah tentang kebahagiaan. Ada paradigma yang selama ini dipegang teguh oleh sebagian besar masyarakat bahwa seseorang bahagia apabila:

  1. Bangga punya harta benda.
  2. Percaya bahwa kebahagiaan itu berada di masa depan, bukan pada saat ini.
  3. Membandingkan dengan orang lain.
  4. Mampu mengubah orang-orang yang ada di sekitar kita, karena kita menganggap orang yang sulit berubah (menurut asumsi kita) itulah yang akan menghambat proses kita menuju kebahagiaan.
  5. Semua keinginan kita terpenuhi.

Benar, kebahagiaan memang tidak datang seketika, namun memerlukan proses dan ada persyaratannya. Menurut Arvan, syarat minimal seseorang mendapatkan kebahagiaan adalah apabila kebutuhan fisik minimalnya telah terpenuhi.

Kebutuhan fisik minimal yang dimaksud Arvan adalah ada sandang, papan (rumah) dan pangan (makan sedikitnya tiga kali sehari). Ini adalah kebutuhan fisik minimal, meskipun kebahagiaan itu sendiri sangat relatif.

Namun di luar itu ada tujuh syarat lain bagi seseorang untuk mendapatkan kebahagiaan. Ketujuh syarat itu adalah:

  1. Bersabar.
  2. Bersyukur.
  3. Simplicity.
  4. Cinta/kasih.
  5. Giving (memberi).
  6. For giving (memberi maaf).
  7. Pasrah.

Fakta tidak bisa dielakkan, dalam kehidupan sehari-hari, kita sering khawatir akan berbagai hal. Khawatir sebenarnya sesuatu yang wajar. Tapi jika khawatir itu datang setiap saat dalam berbagai kesempatan, Arvan mengingatkan, “Sulit bagi kita untuk mendapatkan kebahagiaan.”

Kekhawatiran itu harus dalam kontrol kita. Memberikan contoh, Arvan mengatakan, janganlah kita berpikir uang, “tapi berpikirlah kapasitas yang kita miliki untuk menghasilkan uang.”

Dalam melihat dan berbuat sesuatu, katanya, kita harus punya quality control (QC) atas diri kita. Elemen QC itu, di antaranya adalah:

  1. Apakah apa yang kita kerjakan atau lakukan bermanfaat bagi diri kita atau orang lain.
  2. Apakah yang kita lakukan membawa kebaikan.
  3. Apakah yang kita lakukan membawa kemuliaan.

Gantyo Koespradono

1 Comment
  1. bangga surya nagara says

    karena tidak bersyukur.
    banggasurya.blogspot.com

Leave A Reply

Your email address will not be published.