WRITENOW: EFEK DOMINO BANGKRUTNYA LEHMAN BROTHERS

0 294

WRITENOW (Senin 6 Oktober 2008): Bangkrutnya Lehman Brothers, bank investasi keempat terbesar di Amerika Serikat (AS) pada 15 September lalu, tidak urung membuat ketar ketir banyak negara. Harap maklum, peristiwa itu sampai sekarang masih membawa efek domino.

Begitu mendengar kabar Lehman Brothers bangkrut, saya pun ikut waswas. Pasalnya saya ‘ikut’ investasi lewat program asuransi AIG, sebuah perusahaan asuransi yang juga berafiliasi ke Lehman Brothers. Masuk ke AIG, kira-kira dua bulan yang lalu. Saya bayar sekaligus, sebab saya tidak mau direpotkan harus bayar premi setiap bulan, tigabulanan, setengah tahunan, bahkan tahunan.

Dana yang saya tanamkan ke AIG (Indonesia) tidak besar. Meskipun begitu, kabar matinya Lemhan tetap saja membuat saya waswas dan pasrah, hilang sudah uang yang saya tanamkan di perusahaan asuransi ini.

Beruntung, pemerintah AS akhirnya sudi menyelamatkan AIG agar tetap hidup dengan menyuntikkan sejumlah dana yang tidak sedikit. Saya sedikit lega sebab AIG Indonesia menjamin dana para kliennya di sini aman. Saya yang investor kelas teri saja waswas, apalagi mereka yang menginvestasikan dana ke AIG lewat program asuransi yang nilainya ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Di saat masyarakat Indonesia menikmati liburan Lebaran, masyarakat dunia menanti apa gerangan yang bakal terjadi menyusul kematian Lehman Brothers yang dampaknya — ibarat olahraga tinju — bisa merobohkan ekonomi AS.

Kucuran dolar pemerintah AS yang jumlahnya sangat spektakuler US$700 miliar (Rp 6.580 triliun) untuk menyelamatkan ekonomi negara adikuasa itu memang melegakan masyarakat dunia. Sekadar perbandingan nilai APBN kita yang tidak sampai Rp 1.000 triliun. Namun aksi penyelamatan yang dilakukan pemerintahan George W Bush itu tetap saja memunculkan tanda tanya, dampak apa lagi yang bakal timbul?

Dalam suasana libur Lebaran, Plt Menko Perekonomian/Menkeu Sri Mulyani Indrawati, Minggu (5 Oktober 2008) menggelar pertemuan dengan sejumlah pemimpin media massa di kantornya di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta.

Dalam pertemuan yang membahas dampak krisis finansial dunia terhadap perekonomian di Tanah Air itu, Sri Mulyani didampingi Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri BUMN Sofyan Djalil, Menteri Pertanian Anton Apriyantono, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno, Menteri Koperasi dan UKM Suryadharma Ali, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, Kepala Bapepam-Lembaga Keuangan Fuad Rahmany, dan Dirut Bursa Efek Indonesia Erry Firmansyah.

Intinya, sebagaimana diberitakan Media Indonesia (Senin 6 Oktober 2008), tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu optimistis bisa memenuhi sejumlah target APBN-P 2008, meskipun ancaman defisit neraca perdagangan dan likuiditas yang ketat masih bakal mengintai hingga 2010.

“Untuk 2008, APBN tetap bisa kami selesaikan dengan baik. Secara makro, beberapa target masih bisa dijaga dan tercapai. Tetapi itu tak mengurangi kewaspadaan kami,” ujar Sri Mulyani.

Gubernur BI Boediono memperkirakan pengetatan likuiditas dan volatilitas nilai tukar rupiah yang ditimbulkan krisis ekonomi AS akan berlangsung hingga enam bulan. Menurut dia, pemulihan ekonomi global memerlukan waktu sekitar dua tahun.

Boediono mengatakan eksposur perbankan nasional terhadap aset lembaga keuangan AS yang bermasalah sangat minim. Krisis ini, masih menurut Boediono, hanya dirasakan langsung oleh individu yang memegang toxic asset

dari ‘Negeri Paman Sam’. Hingga Agustus 2008, kondisi perbankan masih terbilang solid.

Posisi rasio kecukupan modal (CAR) perbankan berada di kisaran 16% atau jauh di atas ketentuan minimal, yakni 8%. Begitu pula halnya dengan rasio kredit bermasalah (NPL) yang bisa dibendung di posisi 3,59%. “Ini bisa menjadi bekal kami menghadapi krisis ini,” ujar Boediono.

Tidak mengenal krisis

Krisis bisa datang kapan pun. Namun seberapa pun besar krisis yang bakal datang, saya pikir orang yang tidak pernah khawatir dengan krisis itu adalah para pedagang makanan yang tempo hari mudik berlebaran.

Melayani mereka yang punya urusan dengan perut tidak pernah mengalami krisis. Contohnya adalah para pedagang sate dan tongseng asal Glagahombo, Desa Blumbang, Kecamatan Klego, Boyolali, Jawa Tengah. Sebagaimana ditulis Kompas (Senin 6 Oktober 2008), sebagian besar warga Glagahombo punya dua warung sate dan tongseng di Jakarta.

Berapa omzet mereka? Jangan kaget, Rp 3.000.000 per hari. Maka jangan heran kalau saat mudik, mereka mengendarai mobil pribadi, minimal sekelas Kijang. Yang menarik, seperti diungkap Kompas, mereka meraih sukses itu benar-benar dari bawah. Silakan baca lanjutannya di blog Media Indonesia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.