Catatan Gantyo

NOSTALGIA BELITANG (1): NYAMUK ANOPELES YANG PINTAR ‘NGELES’

4 399

WRITENOW (Rabu 28 Januari): Secara tidak sengaja, saat mengunjungi adik di Malang belum lama ini, kakak perempuan saya bertemu dengan anak temannya sewaktu kami masih remaja berada di Belitang, Sumatra Selatan, lebih dari 40 tahun silam. Peristiwa itu akhirnya mengingatkan kami kembali tentang Belitang.

Pada tahun 1960-an, Belitang tidak tercantum dalam peta Sumatra Selatan. Maklum, desa kecamatan ini tak masuk hitungan, kecuali tempat permukiman baru sebagian penduduk Bali korban letusan Gunung Agung.

Saat kami sekeluarga tiba di Belitang untuk bermukim di sana lebih kurang tiga tahun, orang Bali sudah ada di sana. Saya masih ingat betul — dan menjadi kekaguman kami — saat melihat perempuan Bali ke pasar dengan barang dagangan yang diletakkan di atas kepala. Saat berjalan, pinggul mereka menggal menggol penuh dengan irama. Pulang ke rumah mereka dari pasar, mereka sudah tidak membawa apa-apa kecuali selendang lusuh yang sebelumnya dipakai untuk aksesoris tubuhnya.

Selain orang-orang Bali, di Belitang juga banyak komunitas orang Jawa perantauan. Bahkan sebagian besar masyarakat di Belitang sehari-hari menggunakan bahasa Jawa. Saya yang waktu itu berumur 8 tahun menganggap Belitang yang berada di Pulau Sumatra sama dengan Jawa. Sebelum merantau ke Sumatra, kami tinggal di Solo, Jawa Tengah.

Perjalanan dari Pulau Jawa ke tanah Sumatra (Belitang) sungguh amat melelahkan. Naik kapal dari Merak menuju Pelabuhan Panjang, kami harus bermalam di tengah-tengah Selat Sunda agar kapal bisa tiba di pelabuhan tujuan pagi hari.

Saya waktu itu membayangkan Belitang adalah sebuah kota besar, paling tidak sama dengan Solo. Karena itu saya tidak habis pikir menuju Belitang melalui jalan darat, kok demikian sengsara. Naik bus berukuran tanggung, kami melewati jalan yang penuh dengan kubangan. Beberapa kali kepala saya membentur tiang besi yang ada di dalam bus.

Nama bus yang ada di Belitang jurusan Palembang dan kota-kota lain sangat unik, semuanya selalu diawali dengan kata “se”, misal Sepakat, Sehati, Seadabros, Sekawan, dan lain-lain. Sebagian besar bus bermerek Chevrolet atau Dodge.

Tiba di Belitang hari telah senja merangkak ke malam. Di sana tidak ada listrik. Rumah dinas ayah telah disiapkan di Desa Gumawang. Halamnnya luas, di samping kiri, depan dan belakang terdapat hamparan rawa. Di depan rumah sebelah kiri tumbuh pohon rengas yang kalau disentuh menimbulkan gatal sangat luar biasa di kulit kita. Ada yang menyebut, pohon itu berhantu. Karenanya jarang yang berani mendekat. Pohonnya memang sangat rindang, batangnya lebar sepelukan orang dewasa. Sepertinya cocok jika hantu berumah di situ, pikir saya.

Yang pasti “hantu” yang setiap malam mengganggu kami adalah nyamuk anopeles pembawa penyakit malaria. Nyamuk ini sangat cerdas. Kalau hinggap di tubuh manusia, dia selalu mencari celah yang sulit untuk ditepuk atau dibunuh. Nyamuk yang kalau akan menggigit menegakkan tubuhnya hingga 80 derajat itu kalau hinggap selalu di siku belakang, di bawah paha dan tempat-tempat tersembunyi lainnya. Nyamuk ini memang pintar ‘ngeles’ (menghindar).

Tahun 1960-an belum ada obat pembasmi serangga. Sebelum tidur, Ibu selalu melumuri tubuh kami dengan minyak tanah. Meskipun begitu toh secara bergilir, kami pernah demam tinggi karena nyamuk ini. Benar, kami semua pernah terserang penyakit malaria. Tahu akan hal ini, di rumah, Ibu selalu menyediakan pil Kina. Inilah satu-satunya obat ampuh untuk menurunkan panas tinggi. Pil ini bentuknya bulat dan di luarnya dilumuri gula, sehingga terasa manis. Tapi di dalam, pahitnya luar biasa. Kalau saya sakit, sebelum menelan, pil Kina tersebut saya manfaatkan sebagai permen. Setelah manisnya hilang, buru-buru saya telan dengan bantuan air minum.

Selain nyamuk, di rumah kami juga banyak kacoa yang tampaknya hidup sangat subur, sehingga badannya besar-besar dan doyan terbang. Yang membuat kami jengkel, kacoa ini sering hinggap di kepala kami. Jengkel, sering kami bunuh kacoa-kacoa itu dengan sandal hingga mengeluarkan cairan kental berwarna putih.

Belitang rupanya dijadikan proyek oleh pemerintah sebagai daerah transmigrasi. Terletak di pinggiran hutan yang sebagian besar telah ditebang untuk permukiman transmigran. Karena itu di kawasan Belitang, babi hutan sering terlihat pada malam hari, demikian pula gajah.

Sebagian rumah di sini berbentuk rumah panggung. Balai pertemuan milik Departemen Transmigrasi yang terletak di rumah dinas ayah juga berbentuk rumah panggung terbuat dari papan. Maklum, setiap musim hujan, Belitang selalu banjir. Di kala banjir datang, pada malam hari, saya dan kawan-kawan sering mencari belut di bawah rumah-rumah panggung.

Gantyo Koespradono (dikutip dari GEKA-WRITENOW)Tautan

4 Comments
  1. reva says

    sebagai pujakesuma (putra jawa kelhiran sumatera (belitang)), sekecil apapun belitang tetep ngangenin, mancing belut, ikan, dll. cerita tahun 60an beda sama tahun 80an. sempet sih ngalamin gak ada listrik, belum ada jalan aspal, sungai yang membelah belitang masih alami. tapi sekarang orang pinggiran belitang juragan kebon karet bisa bikin rumah miliaran rupiah, hebaatttt. sudah 10 tahun aku di yogya buat studi dan tinggal, orang tua tiggal di Karang Binangun BK 12, PNS kesehatan kalhiran belitang juga, kakek transmigran dari jawa timur. Pernah sampai 5 tahun aku gak pulang ke belitang, bukan karena apa2 tapi berat di ongkos? he he
    semoga belitang tambah maju dengan status ibu kota OKU Timur, dan mungkin aku akan pulang kampung.

  2. reva says

    sekecil apapun belitang tetep bikin kangen,mancing belut, ikan dll.kebetulan aku sudah sepuluh tahun di yogya buat studi dan tinggal, jadi ya jarang pulang, pernah sampai 5 tahun gak pulang, he he he. ternyata cerita tahun 60an beda sama tahun 80an, sempet sih ngalamin gak ada listrik, belum ada jalan aspal, sungai belitang masih alami. Tapi sekarang orang pinggiran belitang juragan karet bisa bikin rumah miliar rupiah, hebatttt. kebetulan orang tua PNS kesehatan tinggal di BK 12 Karang Binangun, lahir juga di belitang. kakek transmigran dari jawa timur. semoga belitang semakin maju dengan status menjadi ibukota kabupaten oku timur.

  3. Kuyus is cute says

    wah, kenangan masa kecil jelas gak akan hilang begitu saja. Tentu rasa rindu untuk bisa berada disana kembali sangat besar.

    Walau saya tidak lahir di Belitang, namun sama sama lahir di pulau Sumatra-Palembang. Tapi beberapa teman se-kelahiran banyak bercerita dan berbagi foto foto tentang kondisi disana saat ini. Jadi rasa rindu itu cukup terbayarkan.

  4. Yongki Setiawan says

    BELITANG ISTANAKU…..

Leave A Reply

Your email address will not be published.