NOSTALGIA BELITANG (3): RUMAH KAMI DILEMPARI BATU

1 324

WRITENOW (Jumat 30 Januari): Ah, luar biasa! Sugeng yang pernah sekolah di SMA Negeri Belitang rupanya setia membaca blog ini dan memberikan komentar. “Saya jadi tersenyum sendiri membaca tulisan Bapak. Saya malah baru tahu sekarang tentang Belitang zaman dahulu,” tulisnya.

Sugeng kelahiran tahun 1976. Dia menjelaskan, sekarang nama bus jurusan Belitang sudah tidak pakai atau diawali dengan kata “Se”. Namun ke Belitang dari Jakarta tahun 1995 harus gonta-ganti bus alias dioper-oper.

Di samping itu dulu di terminal Belitang sangat rawan. Bepergian dari Belitang-Jakarta memakan waktu dua hari. Sekarang Jakarta-Belitang sudah ada bus langsung dari terminal Kalideres, sore berangkat pagi sampai. Ada bus Putra Sulung, Minanga, dan Ladas, bahkan sekarang sudah ada travel Belitang-Jakarta. Kondisi Belitang sudah lumayan aman.

Dalam komentarnya yang lain, sahabat saya di dunia blog ini menyimpulkan bahwa saya sudah lama sekali meninggalkan Belitang. Benar, lebih dari 40 tahun saya tidak pernah melihat Belitang. Beralasan jika Sugeng berkomentar: “Kalau sekarang Bapak ke Belitang pasti kaget, karena sudah maju sekali. Sekarang Belitang sudah ramai karena perekonomian sudah maju. Sekali-kali jalan-jalan dong Pak ke Belitang,” ajaknya.

Ya, itulah yang akan kami lakukan. Bersama kakak dan teman-temannya, kami akan melakukan napak tilas ke Belitang, meskipun sangat mungkin bangunan yang dulu kami kenal, sekarang sudah tidak ada lagi, jalan yang dulu berpasir putih telah berganti aspal.

Entah bagaimana asal usulnya, kakak saya menyebut nama Tuning dan punya kontak dengan teman saya ketika kami duduk di kelas dua SD Xaverius. Yang saya ingat, perawakan Tuning kurus berambut ikal, manis. Karena sama-sama mungil, kakak sering menjodoh-jodohkan saya dengan Tuning.

Saya masih ingat, ketika pelajaran kesenian dan tiba giliran saya harus menyanyi di depan kelas, saya menyanyikan lagu yang dinyanyikan Tety Kadi yang kalau tidak keliru berjudul “Ayah dan Ibu.” Saya sengaja tidak menyanyikan lagu “Bintang Kecil” atau “Maju tak Gentar” seperti yang biasa dinyanyikan teman-teman jika disuruh maju oleh guru kesenian.

Syair lagu itu antara lain: “Aku punya ayah// Ayah punya ibu, kusebut nenekku//Aku punya ibu/Ibu punya ayah, kusebut kakekku//

Tuning rupanya tertarik dengan lagu yang saya nyanyikan. Pulang sekolah, begitu keluar dari kelas, buru-buru Tuning mencolek saya dari belakang dan minta syair lagu tersebut. Malu saya dibuatnya dan tidak saya tanggapi.

Tuning sampai sekarang masih bermukim di Belitang. Mendapat nomor HP-nya dari kakak, saya mencoba mengontak Tuning, namun yang bersangkutan sudah lupa. Tuning punya kakak bernama Joko yang pintar bermain gitar. Kakak saya yang perempuan ke mana-mana sering dengan Joko, karena kakak saya punya hobi menyanyi dan sering ngeband bareng.

Dalam grup band, kakak juga menyebut nama Robby. Dengan Robby-lah, cinta pertama kakak saya yang waktu itu duduk di kelas dua SMP tumbuh. Demikian pula Robby. Waktu itu kakak saya termasuk primadona dan diperebutkan banyak pria. Konsekuensinya banyak pria yang kecewa. Ada seorang pria yang cintanya tak disambut kakak marah-marah dan melempari rumah kami dengan batu. Ada-ada saja.

Karena primadona di Gumawang, kakak saya juga pernah main sandiwara di sekolah dan berperan sebagai Kleting Kuning yang diperebutkan oleh Yuyu Kangkang yang jahat dan bertampang menyeramkan. Sandiwara ini dipentaskan berhari-hari, karena penonton harus bayar dalam rangka pencarian dana. Karena kakak yang jadi pemeran utama dalam sandiwara tersebut, selaku adiknya, saya tentunya nonton gratis.

Selaku ABG, kakak saya termasuk “bandel”. Kalau bermain sering tidak mengenal waktu. Untuk mengamankan dirinya, termasuk kemungkinan mendapat omelan dari Ayah, kakak sering mengajak saya jika dia bermain hingga larut malam.

Tugas saya adalah mengamati rumah dari kejauhan. Jika Ayah sudah mematikan lampu Petromaks yang biasa dipasang di ruang keluarga, maka itu pertanda hari sudah malam dan kami harus segera pulang. Namun jika lampu petromaks belum padam, itu pertanda situasinya masih aman. Artinya kakak saya boleh ngobrol bebas dengan teman-temannya.

Rumah dinas Ayah yang kami huni banyak jendela kacanya, sehingga pancaran sinar Petromaks terlihat dari kejauhan, termasuk dari rumah Ujang, Martha dan Ningsih yang letaknya di pertigaan ujung Jl Kapasan. Kakak saya akrab dengan mereka. Nah, dari rumah teman-temannya inilah saya mengawasi rumah kami dari kejauhan untuk melihat pancaran sinar Petromaks.

Saya kerap terlewat mengawasi, tahu-tahu lampu sudah padam dan tidak tahu sudah berapa lama Ayah mematikan lampu Petromaks. Mengetahui itu buru-buru saya berkata kepada kakak: “Mbak…, mulih (Mbak, pulang).”

Dengan hati berdebar-debar kami pulang, sebab sampai di rumah, Ayah pasti marah besar. Dasar anak-anak, keeseokan harinya, peristiwa yang sama terus diulangi. Kami tak pernah mengenal kata jera. Kalau Ayah marah, dia hampir selalu mengancam, “Kamu kapok tidak?” Pertanyaan bernada mengancam itu sering dijawab kakak saya dengan kata “kathok” yang artinya “celana.”

Melalui peristiwa yang serba kebetulan, kakak menemukan kontak dengan Ujang yang kini tinggal di Jakarta. Namun Ujang sering ke Belitang, karena beberapa saudaranya masih di sana.

Beberapa hari yang lalu saya menghubungi Ujang lewat HP-nya. Dia sudah punya cucu dan mendekati pensiun. Dia mengajak kami — jika ada waktu senggang — jalan-jalan ke Belitang. Dalam usia yang tidak muda lagi, entah mengapa kami merindukan Belitang. Mungkin banyak kenangan manis yang kami torehkan di sini.***


Gantyo Koespradono (dikutip dari GEKA-WRITENOW)

1 Comment
  1. Kuyus is cute says

    Hayooo .. sudah saatnya bertandang kesana. Saya saja merindukan masa masa kecil saya bisa sejenak saya tengok. He he …

Leave A Reply

Your email address will not be published.