Win HT (Menanglah HT) dan NasDem si Pengganggu
SEBAGAI orang awam, saya semakin penasaran dengan kiprah partai-partai politik menjelang pemilu yang tinggal menghitung hari. Partai Hanura terus gencar mempromosikan duet Wiranto-Harry Tanoesoedibyo yang sepertinya mantap betul keduanya bakal berpasangan menjadi presiden dan wakil presiden pascapemilu 2014.
Dari 12 partai yang akan bertarung di kejuaraan Pemilu 2014, Hanura tampaknya yang paling gencar berpromosi. Baliho, spanduk, poster, billboard-nya bertebaran hampir di semua kota besar maupun kecil. Saya dapat informasi, spanduk Hanura yang di dalamnya ada gambar Wiranto dan HT (panggilan akrab Harry Tanoesoedibyo) ternyata juga hadir di kota-kota kecamatan.
Mengamati spanduk dan poster Hanura, saya menyimpulkan ada “yang aneh” dengan tulisan yang terpampang di sana, semuanya bertuliskan “Win HT”. Dalam keadaan normal, “Win HT” bisa diartikan sebagai “Wiranto dan Harry Tanoesoedibyo” yang mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden. “Wahai para pemilih, inilah pasangan serasi pemimpin masa depan,” setidaknya itulah tafsir pesan yang hendak disampaikan tim sukses partai ini lewat baliho dan spanduk tersebut.
Namun, buat orang iseng seperti saya, “Win HT” bisa saya terjemahkan sebagai “kemenangan buat HT” atau “menanglah HT”. Sangat mungkin, kata-kata “Win HT” sebenarnya dikandung maksud bahwa HT-lah yang sebenarnya bernafsu memenangkan jadi presiden. Orang sudah sangat mahfum, Hanura bisa berlari kencang, karena mendapat “amunisi” penuh dari HT. Ya, wajar dong kalau dia punya motif menjadi orang nomor satu.
“Sejarah politik” HT saat bergabung di Partai NasDem mencatat bahwa dia punya mimpi menjadi ketua umum di partai yang dimotori dan digerakkan oleh Surya Paloh itu. Bagi HT, mimpinya hanya bisa terwujud jika dia berbantalkan partai baru yang berideologi nasionalisme kebangsaan. Maka bisa dipahami jika setelah gagal kasak kusuk di NasDem, dalam waktu singkat, dia sudah begitu eksis di Hanura.
Ada yang menafsirkan, gaya berpolitik HT sama dengan cara taipan ini dalam berbisnis, juga ketika dia “membeli” atau mengakuisisi perusahaan dan akhirnya menjadi orang nomor satu di perusahaan tersebut. Jika dia sukses “membeli” perusahaan yang katakanlah sudah sekarat, maka dengan mudah ia pun berprinsip “wajib hukumnya bagi saya untuk punya saham mayoritas di partai politik.”
Saya sekarang akan beralih ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Saya perhatikan inilah satu-satunya partai yang sangat percaya diri menggadang-gadang raja dangdut Rhoma Irama sebagai presiden. Lalu siapa wakilnya? Sang ketua umum Muhaimin Iskandar dengan yakin menyebut dua kandidat, yaitu Jusuf Kalla dan Mahfud MD. Kira-kira kedua tokoh ini apakah sudi, ya, disandingkan dengan si Satria Begitar?
Jika keduanya menolak, maka Rhoma Irama pasti akan berkomentar: “Teeerllaluuu.” Sebaliknya, jika Jusuf Kalla dan Mahfud menerima pinangan Rhoma, giliran masyarakat yang mungkin akan berkata: “Teeerrrlllalluuuu.”
Tapi, apa pun situasi dan kondisinya, itu adalah hak PKB untuk mencalonkan siapa pun meskipun belum jelas dalam pemilu legislatif 9 April nanti, suara yang diperoleh partai yang didirikan Gus Dur ini melejit atau melorot.
Sekarang saya coba menengok partai “balita” NasDem. Tahun ini, tepatnya 11 November 2014, partai yang mengklaim dirinya sebagai partai pembawa perubahan ini berusia 3 tahun.
Layaknya anak usia 3 tahun, ia mulai lincah bergerak ke sana kemari, bahkan membuat repot anggota keluarganya. Saat akan diberi susu atau makanan, ia menolak.
Rupanya hal itu juga dilakukan NasDem. Ketika diiming-iming akan diberikan dana Rp 58 miliar untuk biaya saksi, partai ini menolak. Tak urung, sang kakak (PDI Perjuangan) juga ikut-ikutan menolak, padahal partai ini lewat Fraksi PDIP ikut mendukung dan merencanakan agar negara menyiapkan anggaran untuk membayar para saksi partai-partai politik.
Manuver NasDem jelas mengganggu eksistensi partai-partai lain. Dalam hati, mereka pasti akan berkata: “Sialan, tuh NasDem, bikin susah orang lain.”
Aksi NasDem juga membuat gondok Yusril Ihza Mahendra, Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang, yang berniat mengajukan diri sebagai calon presiden lewat Pemilu 2014. Dia mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi agar MK mengabulkan permohonannya supaya pemilu legislatif dan pemilihan presiden disatukan pada 9 April. Jika permohonan Yusril ini dikabulkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) pasti akan kelojotan.
Oleh sebab itu, Partai NasDem melemparkan opini agar para hakim MK bijaksana dalam mengambil keputusan. Jika pun permohonan Yusril diterima, begitu pernyataan Partai NasDem, sebaiknya tidak dilaksanakan pada Pemilu 2014, tapi Pemilu 2019.
Suara NasDem yang masih balita ini rupanya didengar para hakim MK. Para abdi hukum ini pun akhirnya memutuskan gugatan senada yang diajukan Effendi Gozali dan kawan-kawan bahwa pemilu legislatif dan presiden tidak dilaksanakan tahun ini, tapi pada Pemilu 2019.
Menanggapi itu, Yusril pun berang dan menuding Surya Paloh, Ketua Umum Partai NasDem, tidak memahami UUD 1945, otoriter dan fasis. Beruntung, emosi Yusril tidak dibalas dengan emosi.
Partai NasDem juga mulai ngelayap ke halaman rumah tetangga. Berkali-kali partai ini membuat event simpatik ke Jawa Timur. Orang tahu, Jawa Timur adalah basisnya Nahdlatul Ulama (NU) yang diklaim adalah pengikut setia PKB. Ini semasa PKB masih dipimpin Gus Dur. Sekarang? Saya tidak tahu.
Surya Paloh dalam beberapa hari terakhir ini bahkan bertamu keluar masuk pesantren hingga ke Bangkalan Madura. Rupanya warga pesantren tidak begitu alergi melihat sosok Surya Paloh yang penuh brewok yang belum lama ini terpilih sebagai tokoh Indonesia paling pluralis ini, tentunya setelah Gus Dur (almarhum).
Karena keberadaannya mulai mengganggu, maka NasDem pun mulai diganggu-ganggu. Lewat survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) – lembaga survei ini disewa Partai Golkar – Partai NasDem ditempatkan di urutan nomor bontot alias tidak akan masuk parliement electoral threshold.
Survei itu dilakukan mungkin untuk menandingi survei serupa yang dilakukan Litbang Kompas – yang oleh banyak orang dinilai lebih objektif – yang menghasilkan fakta bahwa Partai NasDem masuk dalam 5 besar.
Beruntunglah, Partai NasDem tidak balas mengganggu dan lewat Sekjennya Patrice Rio Capella, partai nomor urut 1 itu hanya menyebut, survei LSI itu sebagai lucu-lucuan di tengah gencarnya partai-partai politik bersolek untuk mengundang simpati publik.
Persisnya seperti apa? Kita tunggu saja 9 April nanti, Anda para pemilih yang menjadi “hakim”. []