FEEDBACK, GOOD NEWS OR BAD NEWS?
Oleh Gantyo Koespradono
Dihadapkan pada kenyataan seperti itu, lazimnya, kita sontak akan berkata di dalam hati: “Saya melakukan kesalahan apa ya?” Wajar jika Anda berpikir seperti itu, sebab dalam kondisi normal, praktis jarang ada atasan (bos) yang memberikan feedback saat bawahannya melaksanakan tugas dengan baik. Selama bawahan bekerja dengan baik, yang bersangkutan tidak pernah mendapatkan feedback berupa “good news.” Sebaliknya jika bawahan melakukan kesalahan, barulah feedback itu datang; feedback yang disampaikan atasan umumnya “bad news.”
Oleh sebab itu, menurut motivator Arvan Pradiansyah dalam acara Friday Spirit di Radio Ramako, Jumat (11 Januari 2008), merupakan hal yang lumrah jika kita terkejut dan berpikir “salah apakah saya” manakala atasan kita tiba-tiba memanggil kita dan akan memberikan feedback.
Kebiasaan seperti itu ternyata juga kerap dipraktekkan di rumah. Amat jarang orangtua memberikan feedback berupa “good news” kepada anak-anaknya yang telah berbuat baik atau berprestasi. Sebaliknya para orangtua baru memberikan feedback (bad news) ketika anak-anaknya berbuat salah (nakal).
Arvan menyarankan, paradigma tentang feedback sebaiknya diubah. Jika kebetulan Anda seorang atasan, jika anak buah Anda telah berprestasi, sebaiknya berikan feedback positif kepadanya. Begitu pula, jika Anda orangtua, seringlah memberikan feedback positif kepada anak-anak Anda.
Sebaliknya jika Anda seorang bahawan, jangan segan-segan minta feedback kepada atasan Anda, sebab menurut Arvan, feedback yang diberikan atasan atau kawan bisa mendatangkan energi tambahan bagi kita. Bahkan jika perlu manfaatkan feedback (umumnya bad news) dari musuh-musuh kita, sebab apa yang dikatakan musuh lebih jujur/objektif daripada sahabat kita.
Bagaimana kalau kita yang akan memberikan feedback? Jika ini yang kita lakukan, saran Arvan, jangan berniat untuk menjatuhkan orang yang akan kita beri feedback, sekecil apa pun niat tersebut. “Jika Anda masih punya niat seperti ini, tunda saja feedback Anda,” kata Arvan.
Pada dasarnya, menurut Arvan, setiap orang itu memiliki sifat baik. Karena itu kalau mau memberikan feedback, jangan membahas orangnya, tapi berfokuslah pada perilakunya. Jangan memberi “label” malas atau bodoh kepada orang yang akan kita beri feedback. Usahakan feedback kita mengandung kata-kata positif dan spesifik, misal pujian “Anda rajin, suka membantu orang lain, tidak perhitungan, dll” untuk anak buah kita.
Mengapa hal itu perlu kita lakukan, sebab pada dasarnya setiap manusia — siapa pun dia — senang dengan pujian. Karena itu usahakan feedback jangan sampai malah membuat tidak nyaman seseorang. Kita juga perlu memerhatikan bahwa feedback secara umum menimbulkan dua efek, yaitu silent (tenang) dan violence (reaktif negatif dan cenderung merusak, dendam), minimal menimbulkan perasaan tidak nyaman.
Sering saat memberikan feedback, kita menggunakan kalimat yang diawali dengan hal-hal positif atas orang yang akan kita beri feedback. Sayangnya feedback yang diawali dengan kalimat positif itu diikuti dengan kata “tapi”. Dalam memberikan feedback, usahakan tidak diikuti dengan kata “tapi”. Misal, “Kamu sebenarnya sudah bekerja dengan baik, tapi …” Kata-kata seperti ini membuat orang yang menerima feedback merasa tidak nyaman.
Kalaupun faktanya masih ada hal yang perlu diperbaiki, menurut Arvan, sebaiknya awali kalimat dengan mengungkapkan hal-hal yang kurang atas orang yang akan kita beri feedback; sementara kata “tetapi” digunakan untuk mengungkapkan hal-hal positif orang tersebut. Singkat cerita, masukkanlah unsur “good news” di akhir feedback.***