Catatan Gantyo

LONCENG KEMATIAN INDUSTRI MEDIA MASSA CETAK

3 364
Catatan Gantyo Koespradono

WRITENOW (Senin 15 Desember 2008): Lonceng kematian industri pers cetak mulai berdentang. Perlahan namun pasti, bunyi lonceng bersuara minor itu berkumandang dari Amerika. Tribune Co, penerbit surat kabar besar Amerika Serikat menyatakan diri bangkrut.

Tribune Co yang menerbitkan Chicago Tribune adalah penerbit pertama di Amerika Serikat yang mengibarkan bendera putih menyusul krisis global yang dampaknya ke mana-mana.

Bisa dipahami jika Tribune Co mengibarkan bendera putih sebagai tanda menyerah, sebab perusahaan ini punya utang 13 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 156 triliun, sehingga tidak mampu lagi memenuhi kewajiban-kewajibannya.

Majalah Newsweek juga diberitakan akan mengurangi jumlah karyawan dan mendesain ulang formatnya sehingga menjadi majalah yang lebih ramping. Dalam format yang baru itu nantinya, sebagaimana ditulis harian The Wall Street Journal, Kamis (11 Desember), foto dan opini akan lebih mendominasi isi Newsweek. Berapa jumlah karyawan yang akan dikurangi belum diketahui dengan pasti.

Krisis global memang membuat AS panik. Perusahaan pertambangan terkenal yang beroperasi di Indonesia diam-diam juga memberhentikan para pekerjanya. Seorang teman, Minggu (14 Desember) memberitahukan bahwa kantor pusat perusahaan itu di Jakarta telah mengistirahatkan 70 karyawannya, dan membuat mereka syok, karena tanpa pemberitahuan.

Sebuah perusahaan asuransi yang juga beroperasi di Indonesia — perusahaan ini sempat berafiliasi ke Lehman Brothers yang bangkrut — diam-diam secara bertahap juga memberhentikan para karyawannya. Cara yang dilakukan perusahaan ini bahkan sangat tidak etis. Sidik jari karyawan yang di-PHK — biasanya untuk keperluan absensi — langsung diblokir. Begitu pula akses komputer. Artinya jika karyawan yang bersangkutan saat akan mulai melaksanakan tugas kantor, komputernya tidak bisa nyala atau tidak bisa diakses, maka itu pertanda yang bersangkutan bakal di-PHK.

Saya tidak tahu persis, apakah model seperti itu yang diberlakukan Chicago Tribune dan Newsweek saat akan mengucapkan “selamat tinggal” kepada para pekerjanya yang kena PHK.

Namun yang pasti bahwa banyak perusahaan media massa cetak yang bakal mati telah diperkirakan banyak pengamat media. Mereka memperkirakan tahun 2020 tidak akan ada lagi koran atau majalah yang benar-benar eksis. Kalaupun masih terbit, oplahnya tidak seperti sekarang. Para pembaca pun lebih terselektif, bukan pembaca umum, tapi anggota komunitas tertentu. Jadi tidak ada koran nasional, tapi koran lokal, bahkan gratisan. Koran hidup berdasarkan uang sumbangan sukarela dari anggota komunitas dan iklan-iklan lokal.

Banyak sebab mengapa industri media cetak tidak lagi eksis. Satu di antaranya adalah harga kertas semakin mahal. Selain itu oleh masyarakat dunia, penggunaan kertas dianggap tidak peduli atau ramah kepada lingkungan.

Kebiasaan masyarakat dalam memilih media untuk membaca dan mencari informasi yang selama ini diperoleh lewat media massa cetak, sekarang pun telah berubah. Masyarakat dunia kini beralih ke internet untuk membaca dan mencari informasi.

Ini bukan lagi gejala, tapi fakta. Mesin pencari paling tersohor di dunia Google sekarang ini telah dimanfaatkan oleh siapa pun sebagai pusat segala informasi. Google telah berfungsi sebagai “mesin kabar” menggantikan “surat kabar.” Dengan memanfaatkan Google, informasi apa pun bisa kita peroleh dalam sekejap, modalnya hanya ujung jari.

Kebijakan yang diambil Newsweek juga dilatarbelakangi dengan fakta-fakta di atas. Kompas, Sabtu (13 Desember) memberitakan, seiring dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi global, sejumlah media harian dan mingguan di AS mulai sibuk mengurangi pengeluaran. Ini juga didorong oleh perubahan kebiasaan para pembaca yang mulai beralih ke internet. Perubahan ini mengakibatkan jumlah iklan menurun.

Koran The Wall Street Journal menyebutkan, Newsweek tengah mempertimbangkan pengurangan jumlah eksemplar tiap pekan hingga mencapai 500.000 atau paling tidak hingga sekitar 1 juta eksemplar. Biasanya, Newsweek setiap pekan mencetak hingga 2,6 juta eksemplar.

Perubahan besar-besaran yang akan dilakukan Newsweek antara lain termasuk perubahan pendekatan penulisan berita dan editorial yang akan dibuat lebih provokatif dan berdasarkan ide kuat, seperti halnya keunggulan majalah Inggris, Economist.

Mengutip media publikasi bernama Mediaweek, The Wall Street Journal menyebutkan, porsi iklan di Newsweek diperkirakan turun hingga 21 persen pada tahun ini. Hal serupa juga terjadi pada majalah Times. Pada tahun ini jumlah iklan yang masuk ke Times turun hingga sekitar 17 persen.

Tahun ini majalah Times telah mengurangi karyawan. Media massa besar di AS yang lain seperti majalah US News & World Report juga kemungkinan akan lebih fokus pada internet.

Penerimaan iklan yang turun praktis melanda semua surat kabar dan media masa lainnya di AS. Bangkrutnya Chicago Tribune juga disebut-sebut karena pembaca koran itu mulai beralih ke internet. Ujung-ujungnya pemasang iklan menangguhkan pemasangan iklan di samping mereka sendiri mengalami dampak resesi ekonomi.

Lonceng kematian industri surat kabar di AS jelas merupakan kabar buruk bagi pekerja pers di Indonesia. Sampai sekarang oplah surat kabar di Tanah Air berjalan di tempat, karena “prestasi baca” masyarakat Indonesia memang buruk. Belum lagi prestasi itu terpacu, teknologi “mesin kabar” sudah merasuk ke sini.

Karena itu bisa dipahami jika mulai tahun depan dan tahun-tahun berikutnya sebagian besar anggaran iklan dialihkan ke media online, bukan lagi ke media cetak.***

3 Comments
  1. plague doctor says

    aku tak tahu harus bersyukur atau malah sebaliknya karena dalam posisiku semakin banyak yang ngiklan di blogku maka akan semakin bagus karena insya allah, aku orang yang jujur :p

  2. percetakan says

    ngeri juga kalo sampai kejadian kayak gitu.
    industri percetakan gulung tikar.
    perusahaan saya apa kabarnya nanti?

  3. Aqiqah Tangerang says

    judulnya bikin serem:)a

Cancel Reply

Your email address will not be published.